Sabtu, 22 Mei 2010

Eps.12 Danjuga & Makaia dalam: "Ningrat!" #2

Di rumah Danjuga, Makaia minta dibikinkan es teh manis, hari ini matahari memang sedang galak.

“Berarti ay bener dong Dan? Kalo menjadikan habib-habib itu superstar emang rada-rada konyol?”.

Danjuga mengaduk gula di larutan teh seraya menjawab. “Yaah.. gua agak skeptis sih, mereka mungkin punya silsilah keluarga yang terus dilestarikan, tapi cerita hidup manusia itu lebih rumit, mengandung banyak misteri dan ‘penyimpangan’ yang tidak diinginkan & direncanakan. Apakah suatu penyimpangan akan dicatat juga? Jadi sori-sori aja kalo gua penuh curiga memandangnya, apalagi soal cerita yang umurnya seribu tahun lebih!”.

“Jadiiii?”, Makaia menyayukan kelopak matanya.
“Gini Mak.. “, Danjuga menaruh segelas es teh manis di hadapan Makaia. “Kita hitung dari zaman Muhammad hidup sampai hari ini ya.. Muhammad hidup di tahun 600an, terpaut kira-kira 1400 tahun sampai hari ini, cobalah tebak, dalam kurun waktu segitu lamanya, apa saja hal yang bisa terjadi coba?”.

Makaia menerawang coba membayangkan, sebelum ia berhasil menjawab, Danjuga menyambung perkataannya.

“Di mana keturunan rasul saat kekuatan Islam mulai melebarkan sayap ke antero jazirah Arab dan Timur Tengah? Lalu Eropa, Afrika, Asia Tengah dan sebagian India? Apa yang terjadi dengan mereka saat terjadi pergantian, penggulingan dan penghancuran antar Dinasti kekaisaran Islam? Tahun berganti tahun, abad berganti abad, sudah berapa banyak keturunan Muhammad hingga hari ini? Apa seluruh dari mereka selalu berhasil mempertahankan keningratan mereka? Dari dulu orang Arab terkenal sebagai pedagang dan penjelajah ulung, mereka pergi ke segala penjuru termasuk ke kepulauan Nusantara sejak berabad lalu lamanya, adakah dari mereka yang keturunan rasul dan menikah dengan orang lokal? 1400 tahun, bisa membuat sebuah keturunan musnah, tambah jaya, atau luntur nggak karuan. 1400 tahun, sebagian dari keturunan itu bisa tertimpa nasib kurang mujur, entah jadi gembel atau penjahat di satu tempat di belahan dunia, 1400 tahun bisa merubah wajah berkarakter Timur-Tengah jadi sangat Melayu!”.

Makaia mengangkat telapak tangannya.

“Ay tahu you mau arahin ay ke mana! You mau bilang kalau.. mungkin saja kita ini keturunan Muhammad!”.

“Well.. siapa yang bisa tahu? Coba aja lu itung, dari seorang Makaia aja dulu, lu punya sepasang ortu, terus masing-masing ortu lu punya sepasang lagi dan seterusnya, lu urutin sampe 500 generasi aja, udah banyak tuh nenek-moyanglu! Kalo ditambah 500 lagi? Mungkin saja kau akan bertemu dengan entah Napoleon, Ieyasu Tokugawa, Jenghis Kahn, sampai.. well.. mungkin Nabi Muhammad.. Wong ada yang bilang kalo Gus Dur sendiri katanya keturunan Rasulullah sendiri kok!”.

“Wow Dan! Wow!”, Makaia terkagum-kagum melihat kemungkinan bahwa ia keturunan rasul.

Ibu Makaia sering bercerita bahwa nenek moyangnya dulu ada juga yang berasal dari India selatan, kini ia tak lagi menganggap itu sekadar omong kosong, karena.. siapa yang tahu?

“Para maharaja Minangkabau jaman dulu, menganggap diri mereka keturunan Alexander Agung..”, imbuh Danjuga. “Siapa tahu?”.

“Jadi nggak relevan lagi dong? Pemujaan terhadap habbib-habbib itu?”, tanya Makaia.
“Yah.. sebagian dari kita kan juga ada yang suka memuja.. entah John Lennon, Kurt Cobain, Bob Marley.. relevan atau nggak, tergantung konteksnya. Gua pikir mestinya kita menilai orang lebih kepada karyanya, kemampuan, dan sumbangsihnya, bukannya berdasar garis keturunan!”. Danjuga melanjutkan, “Menurutlu apa masih relevan kalo seorang pemimpin bangsa memakai embel-embel bahwa dia keturunan raja Majapahit? Apa seseorang bisa dinilai keagungannya karena dia keturunan salahsatu wali songo?”.

“Yoi, ay memuja Lennon karena menurut ay karya-karyanya menjaga ay tetap sehat secara batin! hahaha!”, seru Makaia.

Misalkan ada suatu pergerakan Islam yang mencitakan kembali lahirnya imperium Islam nan agung. Lalu bagaimana mata mereka tidak memandang ke arah negeri kita Indonesia? Di sinilah penduduk Muslim terbesar di dunia berada, di sinilah kalau ada, berjuta-juta pasukan Jihad akan dilancarkan dalam suatu ‘perang suci’, Indonesia terkuasai, maka dunia boleh menjerit ngeri!

Namun saat Imperium itu jaya nanti, di manakah posisi kita bangsa Indonesia berada? Setelah tenaga kita dipakai habis-habisan, apakah kita masih bisa meraih posisi penting dalam Imperium agung tersebut?

Bisakah kita dianggap sebagai keturunan sang Rasul pula? Atau paling tidak ditempatkan setara dengan mereka yang men/dideclare sebagai keturunan beliau? Apakah mereka akan menganggap kita sebagai pewaris keagungan Islam yang sesungguhnya? Karena jauh sekali letak kepulauan ini dari tempat turunnya firman Allah, jauh sekali kepulauan ini dari kemilau kebesaran Baghdad.

Ataukah kita tetap dipandang dan diperlakukan seperti warga kelas dua? Yang terus harus jadi pembantu, pion, dan pelajar bawahan para wangsa suci?

Lalu kapan giliran kita Berjaya? Punyakah kita waktu? Punyakah kita daya?

Pada akhirnya, bangsa ini akan terus sendiri, bergelut sendiri, bertempur sendiri, berjuang sendiri, punya kesulitan akut untuk tidak dipandang dan memandang rendah diri-sendiri.

“Kacrut lah!”, Makaia gemas. “Beberapa dari kita cuma membuang mistisme satu dengan mistisme lain! Ganti mitos satu dengan mitos lain! Kesucian, kemungkinan menggapai pencerahan, dan kedekatan dengan keillahian masak dihitung dari background geografis dan keturunan etnis?!”.

Danjuga tertawa.

“Sama aja kayak fenomena; ‘tenaga luar negeri atau lulusan luar lebih dihargai tinggi dari lokal!’”.

“Sayang ya?”, ujar Danjuga. “Suatu ajaran yang begitu ‘luas’, disempitkan sedemikian rupa, dan kita mau aja menelan itu semua! Hahaha!”.

“Udah kayak barang biasa aja dong!”, seru Makaia dengan nada jengkel. “Kayak; ‘Ay lebih milih dikasih Gibson dari Prince’, atau ‘Milih Apple dari Zyrex’.. ngek.. inget dong iklan Maspion; ‘Cintailah produk-produk Indonesia!’”.

“Hahaha! Lu Bedebah gila Mak!”, ledek Danjuga.
“Biarin! Ay lebih milih buat jadi fanatik terhadap apa-apa yang bangsa ay punya!”.
“Wuah! Jadi terusan obrolan kita soal alay nih?!”, Danjuga geli.
“Ay gedek Dan! Gaji pegawai-pegawai kantoran dan buruh-buruh lokal kita kecil banget! Duitnya buat bayar tenaga asing, atau bikin gendut konglomerat-konglomerat! Padahal ay percaya, masalah kecerdasan dan skill mah.. silakan adu sini! Cis!”.

“Lu melenceng nih Mak!”, goda Danjuga. “Balik ke perihal surga dan neraka lagi dong!”.

Makaia diam sebentar lalu meletup, “Kalo ada kapling-kaplingan antar suku-bangsa di surga mah.. mending ay bikin surga sendiri buat bangsa ay! Kalo ada bangsa lain mau masuk silakan! Di sana nggak akan ada strata-strataan! Mau pejabat, mau gembel, mau yang mati muda, mati duda, mau yang keturunan nabi atau turunan lonte kek.. semua boleh masuk! Semua sama! Bersatu dalam Tuhanku Yang Maha Kasih!”.

Danjuga mengangkat gelas es teh manis untuk kawannya Makaia.

1 komentar: