Sabtu, 22 Mei 2010

Eps.12 Danjuga & Makaia dalam: "Ningrat!" #2

Di rumah Danjuga, Makaia minta dibikinkan es teh manis, hari ini matahari memang sedang galak.

“Berarti ay bener dong Dan? Kalo menjadikan habib-habib itu superstar emang rada-rada konyol?”.

Danjuga mengaduk gula di larutan teh seraya menjawab. “Yaah.. gua agak skeptis sih, mereka mungkin punya silsilah keluarga yang terus dilestarikan, tapi cerita hidup manusia itu lebih rumit, mengandung banyak misteri dan ‘penyimpangan’ yang tidak diinginkan & direncanakan. Apakah suatu penyimpangan akan dicatat juga? Jadi sori-sori aja kalo gua penuh curiga memandangnya, apalagi soal cerita yang umurnya seribu tahun lebih!”.

“Jadiiii?”, Makaia menyayukan kelopak matanya.
“Gini Mak.. “, Danjuga menaruh segelas es teh manis di hadapan Makaia. “Kita hitung dari zaman Muhammad hidup sampai hari ini ya.. Muhammad hidup di tahun 600an, terpaut kira-kira 1400 tahun sampai hari ini, cobalah tebak, dalam kurun waktu segitu lamanya, apa saja hal yang bisa terjadi coba?”.

Makaia menerawang coba membayangkan, sebelum ia berhasil menjawab, Danjuga menyambung perkataannya.

“Di mana keturunan rasul saat kekuatan Islam mulai melebarkan sayap ke antero jazirah Arab dan Timur Tengah? Lalu Eropa, Afrika, Asia Tengah dan sebagian India? Apa yang terjadi dengan mereka saat terjadi pergantian, penggulingan dan penghancuran antar Dinasti kekaisaran Islam? Tahun berganti tahun, abad berganti abad, sudah berapa banyak keturunan Muhammad hingga hari ini? Apa seluruh dari mereka selalu berhasil mempertahankan keningratan mereka? Dari dulu orang Arab terkenal sebagai pedagang dan penjelajah ulung, mereka pergi ke segala penjuru termasuk ke kepulauan Nusantara sejak berabad lalu lamanya, adakah dari mereka yang keturunan rasul dan menikah dengan orang lokal? 1400 tahun, bisa membuat sebuah keturunan musnah, tambah jaya, atau luntur nggak karuan. 1400 tahun, sebagian dari keturunan itu bisa tertimpa nasib kurang mujur, entah jadi gembel atau penjahat di satu tempat di belahan dunia, 1400 tahun bisa merubah wajah berkarakter Timur-Tengah jadi sangat Melayu!”.

Makaia mengangkat telapak tangannya.

“Ay tahu you mau arahin ay ke mana! You mau bilang kalau.. mungkin saja kita ini keturunan Muhammad!”.

“Well.. siapa yang bisa tahu? Coba aja lu itung, dari seorang Makaia aja dulu, lu punya sepasang ortu, terus masing-masing ortu lu punya sepasang lagi dan seterusnya, lu urutin sampe 500 generasi aja, udah banyak tuh nenek-moyanglu! Kalo ditambah 500 lagi? Mungkin saja kau akan bertemu dengan entah Napoleon, Ieyasu Tokugawa, Jenghis Kahn, sampai.. well.. mungkin Nabi Muhammad.. Wong ada yang bilang kalo Gus Dur sendiri katanya keturunan Rasulullah sendiri kok!”.

“Wow Dan! Wow!”, Makaia terkagum-kagum melihat kemungkinan bahwa ia keturunan rasul.

Ibu Makaia sering bercerita bahwa nenek moyangnya dulu ada juga yang berasal dari India selatan, kini ia tak lagi menganggap itu sekadar omong kosong, karena.. siapa yang tahu?

“Para maharaja Minangkabau jaman dulu, menganggap diri mereka keturunan Alexander Agung..”, imbuh Danjuga. “Siapa tahu?”.

“Jadi nggak relevan lagi dong? Pemujaan terhadap habbib-habbib itu?”, tanya Makaia.
“Yah.. sebagian dari kita kan juga ada yang suka memuja.. entah John Lennon, Kurt Cobain, Bob Marley.. relevan atau nggak, tergantung konteksnya. Gua pikir mestinya kita menilai orang lebih kepada karyanya, kemampuan, dan sumbangsihnya, bukannya berdasar garis keturunan!”. Danjuga melanjutkan, “Menurutlu apa masih relevan kalo seorang pemimpin bangsa memakai embel-embel bahwa dia keturunan raja Majapahit? Apa seseorang bisa dinilai keagungannya karena dia keturunan salahsatu wali songo?”.

“Yoi, ay memuja Lennon karena menurut ay karya-karyanya menjaga ay tetap sehat secara batin! hahaha!”, seru Makaia.

Misalkan ada suatu pergerakan Islam yang mencitakan kembali lahirnya imperium Islam nan agung. Lalu bagaimana mata mereka tidak memandang ke arah negeri kita Indonesia? Di sinilah penduduk Muslim terbesar di dunia berada, di sinilah kalau ada, berjuta-juta pasukan Jihad akan dilancarkan dalam suatu ‘perang suci’, Indonesia terkuasai, maka dunia boleh menjerit ngeri!

Namun saat Imperium itu jaya nanti, di manakah posisi kita bangsa Indonesia berada? Setelah tenaga kita dipakai habis-habisan, apakah kita masih bisa meraih posisi penting dalam Imperium agung tersebut?

Bisakah kita dianggap sebagai keturunan sang Rasul pula? Atau paling tidak ditempatkan setara dengan mereka yang men/dideclare sebagai keturunan beliau? Apakah mereka akan menganggap kita sebagai pewaris keagungan Islam yang sesungguhnya? Karena jauh sekali letak kepulauan ini dari tempat turunnya firman Allah, jauh sekali kepulauan ini dari kemilau kebesaran Baghdad.

Ataukah kita tetap dipandang dan diperlakukan seperti warga kelas dua? Yang terus harus jadi pembantu, pion, dan pelajar bawahan para wangsa suci?

Lalu kapan giliran kita Berjaya? Punyakah kita waktu? Punyakah kita daya?

Pada akhirnya, bangsa ini akan terus sendiri, bergelut sendiri, bertempur sendiri, berjuang sendiri, punya kesulitan akut untuk tidak dipandang dan memandang rendah diri-sendiri.

“Kacrut lah!”, Makaia gemas. “Beberapa dari kita cuma membuang mistisme satu dengan mistisme lain! Ganti mitos satu dengan mitos lain! Kesucian, kemungkinan menggapai pencerahan, dan kedekatan dengan keillahian masak dihitung dari background geografis dan keturunan etnis?!”.

Danjuga tertawa.

“Sama aja kayak fenomena; ‘tenaga luar negeri atau lulusan luar lebih dihargai tinggi dari lokal!’”.

“Sayang ya?”, ujar Danjuga. “Suatu ajaran yang begitu ‘luas’, disempitkan sedemikian rupa, dan kita mau aja menelan itu semua! Hahaha!”.

“Udah kayak barang biasa aja dong!”, seru Makaia dengan nada jengkel. “Kayak; ‘Ay lebih milih dikasih Gibson dari Prince’, atau ‘Milih Apple dari Zyrex’.. ngek.. inget dong iklan Maspion; ‘Cintailah produk-produk Indonesia!’”.

“Hahaha! Lu Bedebah gila Mak!”, ledek Danjuga.
“Biarin! Ay lebih milih buat jadi fanatik terhadap apa-apa yang bangsa ay punya!”.
“Wuah! Jadi terusan obrolan kita soal alay nih?!”, Danjuga geli.
“Ay gedek Dan! Gaji pegawai-pegawai kantoran dan buruh-buruh lokal kita kecil banget! Duitnya buat bayar tenaga asing, atau bikin gendut konglomerat-konglomerat! Padahal ay percaya, masalah kecerdasan dan skill mah.. silakan adu sini! Cis!”.

“Lu melenceng nih Mak!”, goda Danjuga. “Balik ke perihal surga dan neraka lagi dong!”.

Makaia diam sebentar lalu meletup, “Kalo ada kapling-kaplingan antar suku-bangsa di surga mah.. mending ay bikin surga sendiri buat bangsa ay! Kalo ada bangsa lain mau masuk silakan! Di sana nggak akan ada strata-strataan! Mau pejabat, mau gembel, mau yang mati muda, mati duda, mau yang keturunan nabi atau turunan lonte kek.. semua boleh masuk! Semua sama! Bersatu dalam Tuhanku Yang Maha Kasih!”.

Danjuga mengangkat gelas es teh manis untuk kawannya Makaia.

Eps.12 Danjuga & Makaia dalam: "Ningrat!" #1

Pada hari minggu yang cerah, Danjuga mengajak pacarnya, Yangpula berjalan-jalan naik bis berkeliling Jakarta, tapi di situ akhirnya ikut pula sobatnya, Makaia, yang jadi obat nyamuk bawel, tiap kali Danjuga memegang tangan Yangpula, atau saat mereka saling merangkul, terus-terus dikomentari, namun Danjuga tak peduli, ia tipe orang yang tak ragu untuk menunjukan cintanya lewat gesture, kata-kata gombal lewat mulutnya memang selalu harus dikeluarkan, kalau tidak, ia bisa migrain sendiri.

Di sebuah perempatan jalan, ketiga sahabat itu melihat billboard besar, mengiklankan sebuah acara doa massal, dengan gambar raksasa seorang lelaki berkaca mata gelap.

“Wallah! Macam rockstar aja doi!”, seru Makaia. “Penting abis gambarnya dibikin gede-gede! Buat ngusir lalet mutan sebesar kambing? Hahaha!”.

Seorang bapak yang duduk di kursi seberang lalu menyahut, “Dia itu habib lho de’, keturunan langsung Rasulullah!”.

Makaia bungkam, mana ia sangka ternyata di bus yang sama ada salahsatu dari fansnya?
Yangpula dan Danjuga tersenyum-senyum melihat Makaia salting.
Dalam perjalanan spulangnya mengantar Yangpula ke rumah, Makaia akhirnya memulai pembicaraan yang sudah tak tahan ia ungkapkan.

“So what gitu kalo dia keturunan Rasul?”, seloronya jengkel.
“Itu artinya Mak, orang itu mewarisi kultur, ajaran, kebijaksanaan, sekaligus kesucian dari Rasulullah sendiri! Hahaha!”.

“Haisy! Ay ragu! Bisa aja doi ngaku-ngaku doang! Iye nggak Dan?”.

Danjuga menyentuh-nyentuh dagunya lalu menjawab, “Gua rasa bener sih dia keturunan Rasul, banyak keluarga-keluarga keturunan etnik Arab atau timur-tengah yang masih menyimpan silsilah klan mereka, yang di puncak kesemuanya ada nama Muhammad di sana, jadi memang ada bedanya antara keturunan Arab biasa dan keturunan ‘darah biru’, yang akan lebih ketat menjaga darah keturunan mereka, jangankan kawin sama pribumi, sama ‘sembarang’ Arab yang nggak ‘selevel’ aja susah Mak.”.

“Wuah, gimana kalo mau kawin sama yang beda agama?”, tanya Makaia.
“Jangan coba-coba Mak!”.

Keduanya lalu tertawa.

“Tapi Dan..”, sambung Makaia. “Ay punya kenalan, dia cewek turunan Arab, dan suatu hari dia pernah curhat tentang betapa kisah percintaannya ditentang dengan keras oleh bo-nyoknya, padahal pacarnya sendiri punya agama kuat, nah, sementara itu, dia punya kakak cowok mau nikah sama cewek Jawa malah boleh-boleh aja!”.

“Marganya apa dia?”, tanya Danjuga.
“Al.. Al-Ka..”.
“Al-Katiri?”.
“Nah!”
“Wuiisss! Ningrat itu!”, seru Danjuga. “Bukan sembarangan!”.
“Lha terus? Dia pacaran sama cowok pribumi kagak boleh, abangnya nikah ama Jawa boleh aja!”.

"Begini Mak.. kalo udah yang begini kenanya mah udah kebijakan adat-istiadat etnis..”, jelas Danjuga. “Dan buat budaya Arab yang secara patriarki sangat kuat, yang gua tau, penyerahan anak perempuan itu, secara kasar seolah seperti tanda subordinasi ke keluarga lain, kalo dia sampai ‘jatuh’ ke tangan keluarga yang nggak ‘selevel’, artinya ada kerusakan pada penjagaan garis keturunan mereka kan? Sementara cowok lebih dipermudah karena, yah.. istri kan pasti ngikut suami!”.

“Ribet yak?”, gumam Makaia.
“Gua mah, males buat ganggu-gugat aturan adat Mak! Yah.. tiap etnis punya aturan sendiri, banyak dari mereka yang sampai sekarang masih memegang teguh pakem-pakem yang salahsatunya menyangkut perkawinan.”.

“Iya sih..”, imbuh Makaia. “Batak juga ketat, Cina juga, sebagian Jawa prefer menikahkan anak mereka dengan sesama Jawa, kalo bisa ditawar ya sepulau lah..”.

“Dan tembok yang lebih sulit lagi untuk ditembus..”.
“Agama!”.

Maka sadar, ucapannya barusan agak menohok leher sobatnya, karena Yangpula pacarnya, beragama Katolik.

Danjuga memberi isyarat kalau ia tak apa-apa, Makaia sedikit merasa tak enak.

“Abis you mengarahkan ay ke situ sih!”, Makaia membela diri.

Danjuga terenyum simpul.

“Kalo menurutlu aturan ‘harus menikah sesama suku’ aja udah berat, apalagi yang lintas agama kan? Nah kalo kita ngomongin adat Arab ningrat, kita akan menemukan motif yang rumitnya dobel, karena terdapat pula unsur agama di sana, yang kalo kita kulik, akan punya hubungan ke Muhammad-sejarah Islam-warisan keningratan peradaban Muslim yang berusia lebih dari 1 millenia!”.

Makaia garuk-garuk kepala.

“Ujungnya Mak..”, lanjut Danjuga. “Di surga nanti, menurut nilai dari beberapa keluarga Arab, akan tetap ada pengelompokan-pengelompoka
n di dalamnya, berdasarkan bibit-bebet-bobotnya.. lu dari klan mana? Ya dengan merekalah sana kau berkumpul di surga sana!”.

“Ha! Menggelikan! Katanya ajaran Muhammad diperuntukkan untuk seluruh alam semesta!”.

Danjuga menempelkan telunjuk di ujung bibir.

“Lu mau nyalahin siapa Mak? Kombinasi antara kultur Arab dalam hal adat dan agama udah terlanjur tumbuh dan berkembang selama ratusan tahun, itu nggak terpisahkan! Dalam sejarah perkembangan Islam, ajaran Muhammad itu bukan lagi pure cuma sekadar perihal pembinaan iman, setalah Islam menjadi kekuatan besar di dunia di masa lalu, maka ada unsur budaya-peradaban soal politik-sosial-ekonomi juga!”.

“Nggak kaget sih ay.. bangsa Yahudi juga begitu, mungkin akan ada embel-embel siapa keturunan Daud atau Sulaiman, saat orang Ethiopia atau Jamaika Rasta ngaku keturunan Sulaiman-Ratu Sheba, emang orang Yahudi mau ngakuin mereka sebagai keturunan Ibrani? Di dunia Hindu juga mengenal sistem kasta, cuma, ay sebel aja, kalo di agama yang ay anut ada pembedaan kasta-kasta juga.. rasanya kurang keren aja..”.

Danjuga tertawa kecil.

“Kenapa you?”, tanya Makaia.
“Nggak.. gua negbayangin aja, kalau Nabi Muhammad bisa hidup lagi sekarang, apa yang bakal dikatakannya soal ‘apa yang ia maksudkan dan harapkan’ dari Islam, mungkin akan mengagetkan dan mengecewakan banyak sekali orang..”.

Makaia dan Danjuga termenung mengira-ngira.

“Mungkin memang doi perlu bangkit lagi dari kematian?”, tanya Makaia.
“Sayang.. dunia jaman kita sama-sekali nggak bersahabat untuk figure macam Muhammad..’, ujar Danjuga. “Coba bayangkan apa yang bakal dilakukan media sama dia? Nabi Mak! amit-amit, nanti dia dekejar-kejar wartawan dan paparazzi, bakal dibuat reality show soal dia, perusahaan-perusahaan yang ngebet memperalat dia untuk nge-boost brand imagenya! Ditayangin videonya di Youtube, diedit macem-macem fotonya, didubing suaranya jadi konyol! Wah! Amit-amit Mak!”.

“Iya.. masih mending dulu orang Quraisy pengen bunuh dia dengan pedang, yang akan dilakukan dunia hari ini bakal lebih parah ya? Pembunuhan karakter!”, sambung Makaia.

“Sebagian dari kita sangat merindukan sosok sang rasul, membutuhkan kehadiran beliau, hingga orang-orang yang dianggap keturunan langsungnya dijadikan panutan cadangan, seolah bahkan di tubuh mereka sendiri masih ada bau suci yang mulia Muhammad, jejak-jejak kenabian yang langka..”.

Makaia mengangkat telunjuknya.

“Ay jadi inget Da Vinci Code lagi! Bahwa the holy grail itu sebenarnya garis keturunan Kristus!”.

Danjuga mengangguk. “Seberapa besar sih arti garis keturunan itu? Sebesar apa pengaruhnya untuk menciptakan pribadi-pribadi yang berkualitas? Gua kok ragu ya?”.

Saking asiknya mereka berbincang, tak sadar kalau rumah Danjuga hampir terlewat.
Danjuga turun dari angkot, Makaia mengikutinya.

“Lu kok ikutan turun? Rumahlu kan masih di sana!”
“Heee! Brengsek you! dialog kita belom kelar!”.

Eps.11 Danjuga & Makaia dalam: "Anjing Menyambut Majikan" #2

“Terus kenapa mereka beralih ya?”, tanya Danjuga.
“Era rock dan alternatif berakhir di penghujung 90an, semangat-semangat musikalitas modern yang sophisticated emang sempet meletup beberapa saat, tapi karena nggak bisa mengena ke masyarakat yang terlalu luas, dengan cepat booming mereka di wilayah mainstream memupus dan tersingkir di wilayah indie lagi. MTV Indonesia mulai nyampah, majalah-majalah remaja makin less educated, radio-radio anak muda merombak ulang terminologinya soal apa yang keren karena kehabisan selera akan humor cerdas bersamaan dengan matinya Lupus, dan.. Sheila on7 akhirnya muncul!”.

“Woooow! Sotoy!”, ganggu Danjuga.

Tapi Makaia cuek, menurutnya kali ini giliran ia mengoceh, karena jelas, dia yang anak band, bukan Danjuga yang filsuf karbitan ngasal itu.

“Lalu tibalah era reformasi! Kebebasan media yang gegap-gempita, era DVD bajakan dan boom internet, setelah kesuksesan Sheila on7, muncul pula Peter Pan, yang disusul Radja, nah, menurut gua jembatannya terletak di antara Peter Pan menjelang ke Radja, di mana orang-orang generasi yang lebih muda dari luar Jakarta mulai meninggalkan Dangdut untuk mencoba musik pop-rock, dengan catatan, bahwa tema dan penggunaan variasi kata dalam lirik-liriknya malah lebih misikin dari Dangdut!”.

“Ha? Maksudnya?”, tanya Danjuga.
“Yah.. you coba peratiin baik-baik, tema musik Dangdut itu luar-biasa kaya, dan lebih detil pula, misal nih, tentang gali lubang-tutup lubang, tentang istri yang mandul, tentang begadang, tentang suami yang nggak pulang-pulang, judi, dan banyak tema percintaan yang diceritakan dengan sangat apik dan dramatis, di sana kadang muncul keterangan soal waktu, tempat, penjelasan soal status sosial, menjadikan Dangdut truly-madly folk!”.

“Bener juga Mak, gua peratiin kosa kata dalam lirik lagu-lagu band-band kacrut itu udah kayak templates aja, itu-itu lagi yang dipake, bosen banget! Temanya juga… hadoooohhh!”.

“Itungan yang gampang nih Dan..”, lanjut Makaia. “Kita tau kalo Naff itu sangat kePadi-Padian, dulu Padi boom banget kan? Dan yang laku itu emang Padi, bukan jiplakannya yang bernama Naff, menandakan selera kita masih ‘di jalan yang benar’, sementara sekarang?”.

“Shit! Naff yang laku!”.
“Itu gambaran yang mudah soal degradasi selera pasar Dan!”.

Danjuga lalu menopang dagunya denga kepalan, ia memberi tanda ke Makaia supaya lanjut.

“Singkat kata, media mengumbar janji bahwa siapapun bisa sukses asal mau mengadaptasi dan menjalani budaya urban yang belum matang itu, siapapun kalo mau, bisa jadi artis, bisa jadi rockstar, nah, you liat lah, band-band yang nongol di Dahsyat!”.

Danjuga mengusap alsinya, kemudian berkata.

“Ada beberapa orang yang menganggap bahwa musik Country adalah Dandutnya Amrik, gua punya perumpamaan selanjutnya bahwa Pop-rock Melayu adalah ‘Hip-Hopnya kita’.. gimana?”.

“Kok?”, tanya Makia tak mengerti.
“Istilah ‘alay’ itu mungkin bisa disamakan dengan istilah ‘nigger’, tapi bukan merujuk pada diskriminasi ras, melainkan kepada diskriminasi kelas sosialnya. Di buku tentang ideologi media dan Hip-hop sebagai kontra hegemoni.. akh! Gua lupa judulnya! Hmm.. ya, di situ diceritakan bahwa awalnya, Hip-Hop itu bukan hanya tentang musik dan pesan-pesan vulgar lewat produk-produk budaya urban Afro-amerika kontemporernya, namun juga tentang muda-mudi kulit hitam yang menciptakan suatu ruang berekspresi di ranah publik lewat show dan konser musik, di mana mereka bisa berkumpul bebas dengan sesama, dari situ aja, sudah membentuk sebuah suara perlawanan terhadap hegemoni.. nah, gua melihat kesamaan fenomena macam itu dengan acara macam Dahsyat, konser-konser Slank dan Iwan Fals, pertandingan Persija..”.

“Di mana orang-orang kalah..”, sambung Makaia. “Youth of Jakarta, yang nggak bisa menikmati kota mereka karena alasan ekonomi, bisa mengekspresikan diri mereka sebebasnya!”.

“Yoi Mak, sekarang bayangin aja, malam minggu aja kita suka pusing mau ke mana, di Jakarta itu nggak ada yang nggak mahal, lha? terus mau ke mana? In the contrary, Dahsyat bukan hanya gratis masuk, kita malah bisa diupah! Nonton Persija ongkosnya beberapa puluh ribu doang! Kalo jadi mereka juga, gua akan ‘balas dendam’ saat bersenang-senang, sekarang.. mereka dicap dengan sebutan baru.. alay..”.

Danjuga dan Makaia mulai sepakat, bahwa dibalik ringannya kata ‘alay’, terdapat makna yang sangat memuakkan dan.. kuno.

“Kita yang nyaman-nyaman aja menggunakan istilah alay, mungkin di bawah sadar menyerah dengan kondisi kesenjangan yang ada sekarang..”.

“Yoi..”, sambut Makaia. “Kayak kita punya solusi aja, buat menjadikan alay sebagai non-alay.. “.
“Dan tanpa punya solusi atau usaha nyata untuk merubah keadaan itu, sementara suka menggunakan istilah yang seolah merendahkan dan menciptakan tembok, maka kita menyetujui adanya ketimpangan, kita ternyata masih segitu feodalnya, kita ternyata belum jauh berkembang sejak merdeka.”.

“Jadi jangan mimpi ya, bisa jadi negara maju? Haha..”. Makia tertawa miris.

Keduanya lalu terdiam, kecut sekali rasanya di dalam benak.

“You know Dan.. ada beberapa hal yang sebenernya ringan, tapi kok rasanya beraaaaaaat banget buat dibahas..”, ujar Makaia. “Pembantu.. apa mereka makan di satu meja dengan kita?”.

Danjuga tersenyum kecut.

“Kita masih perlu belajar banyak Mak.. semoga kita dikasih kesempatan untuk merubah tata-cara feudal warisan mak-bapak kita, bahwa suatu hari kalo udah punya rumah sendiri, kita akan mulai menerapkan kesetaraan dengan saudara kita orang Indonesia, makan semeja dengan pembantu, memberi mereka kamar yang sama baiknya dengan kita, dengan AC yang juga kita nikmati kesejukannya..”.

Makaia meringis.

“Kenapa Mak? Apa ide gua terlalu ekstrim buat lu?”.
“Banyak yang akan berpendapat begitu Dan.. “.

Danjuga tersenyum.

“Wajar sih..”, kata Danjuga. “Bahkan banyak orang yang masih perlu diajari untuk berlaku sopan terhadap pembantu mereka. Manggil pembantu teriak-teriak; “Biiiii!!”. Katro. Nyuruh-nyuruh tanpa ucap terimakasih, dan kalo pulang naik mobil.. “Tiiiin-tiiiin!!”, lalu pembantunya tunggang-langgan nyamperin pager buat buka pintu, udah kayak anjing nyambut majikannya.”.

Makaia tersedak.

“Ay baru sadar juga Dan!”.
“Apa?”, tanya Danjuga.
“Gua di rumah itu sebenranya cuma numpang, yah.. itu kan rumah bo-nyok ay, tapi pembantu kita, dia kerja di situ.. ay jadi mikir ulang aja.. antara dia yang kerja, dan kita yang cuma numpang di rumah orangtua...”.

Danjuga tersenyum.
Makaia menggelang-gelengkan kepala.

“Ay punya temen, dia mengeluh saat pulang dari Singapur, katanya mengalami penghinaan dari petugas airport setelah tahu bahwa temen ay orang Indo.. mungkin.. kita harus berkaca juga dari situ.. kita nggak suka direndahkan dan ingin dianggap setara dengan warga negara lain di dunia, tapi perilaku kita di negara kita sendiri? Sama pembantu, sama mereka yang disebut ‘alay’, kadang sama Cina, sama suadara-saudara kita sendiri.. man.. shit man!”.

Danjuga mengangguk.

“Sebelum kita berhasil menghargai sesama Indonesia, jangan harap kita akan dihargai negara lain.. dan demi Tuhan.. gua harap kita nggak perlu dijajah lagi untuk bisa jadi satu.”.

Eps.11 Danjuga & Makaia dalam: "Anjing Menyambut Majikan" #1

Haha! Anjing! Dasar alay-alay!”, seru Makaia seraya muncul dari pintu, mengejutkan Danjuga yang tengah sebuk mengerjakan tugas kuliahnya di laptop. “Tau nggak Dan, tadi ada SMS nyasar ke HP ay, dan bahasanya man! Anjing! Mungkin warga Saturnus dia.. ‘L d mna, ma bkn W C Bwekazzie’. What the fuck! Alay-alay! Hahaha!”.

Danjuga mengerenyitkan dahi, itu ungkapan halus bagi kawannya bahwa ia merasa agak terganggu, tapi Makaia tidak bisa diharapkan mengerti tanda macam begitu, ia terus mengoceh.

“You know.. harus ay akui, mbak-mbak sekarang makin cakep man! Liat mbak-mbak mall, kadang tukang pulsa, mereka seolah berevolusi, yang kalo diem nggak bakal ketauan, tapi pas ngomong? Wahaaa! Baru ketauan! Sementara cowoknya, makin ganteng kagak, makin norak iye!”.

“Udah?”, tanya Danjuga memotong. “Puas lu Mak?”.
“Ha?”.

Makaia bingung atas reaksi Danjuga.

“Udah puas belom? Ngata-ngatain mereka? ALAY-ALAY itu? yang sering nongol di Dahsyat, yang demen pake baju ‘skater’, atau kemeja flannel dengan tulisan besar di dada? Yang dengerinnya ST12 sama Kangen?”.

“Apaan sih you Dan? Reaksi itu..”.

Danjuga menghembuskan nafas, ia lalu menyalakan rokoknya.

“Terus terang ye Mak, gua kurang suka mendengar dan menggunakan kata ‘alay’, entah kenanya di elu apaan, tapi buat gua, itu terdengar merendahkan.”.

“Well.. they deserves it..”.
“Sekarang gua tanya, kenapa? Karena bahasanya norak? Karena suka centil sama cewek-cewek? Mereka yang nggak pernah mengeyam pendidikan seperti lu, terus lu harapin bakal bertingkah atau berpikir sophisticated macam lu? Kayaknya kurang adil deh Mak. Atau karena musik mereka? Gaya mereka?”.

Makaia diam, ia samasekali tak menyangka kawannya akan bereaksi macam begitu.

“Alay itu definisinya apa sih Mak? Yang bisa gua prediksi, saat lu tau definisinya apa, lu bakal malu sendiri.”.

“Tunggu deh Dan..”.
“Coba kita liat sekarang..”, Danjuga tetap lanjut. “Muka melayu, berpendidikan minim, selera seni rendah, sering nongol di Dahsyat atau konser Slank dan Iwan Fals, kalo Persija tanding suka berbondong-bondong ngerusuh, oh.. satu lagi ya jangan lupa.. mereka miskin.. gitu?”.

“Dear God Dan..”.
“Shame on you..”.

Wajah Makaia memerah, ia merasa agak terpojok.

“You kerasukan ya?”, tanyanya. “Kenapa jadi ay yang dibombardir begini?”.

Danjuga menarik nafas, yang keluar dari mulut dan hidungnya adalah asap nikotin.

“Karena banyak dari kita yang suka menggunakan ‘kata itu’ dan menganggapnya lumrah, bukan berarti kita harus ikut-ikutan arus kan Mak?”, tanya Danjuga, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Gua nggak setuju untuk ikut menganggapnya asik untuk dipakai, gua keberatan dengan ‘nilai’ yang ada di balik penggunaannya. Lu nyadar nggak sih, apa yang kita perbuat itu hanya menciptakan tembok pemisah? Dan dengan kenyataan bahwa definisi alay itu melibatkan pula unsur diskriminasi kelas sosial-ekonomi, hanya bikin gua malu, sangat-sangat malu..”.

Makaia termenung mendengarkan tiap kata Danjuga, meski begitu, dalam hati ia sedikit senang, mungkin ini adalah perbincangan ‘berat’ selanjutnya dengan sang sahabat.

“Alay-alay itu saudara kita sendiri Mak.. mungkin terdengar klise ya?”.
“Nggak kok Dan, you bener, sangat-sangat bener.. ay minta maaf ya..”
“Sebenernya nggak perlu minta maaf ke gua Dan, tapi rasa menyesal itu bagus sih.. ck.. alay itu macam istilah ‘nigger’ buat saudara kita sendiri.. “.

“Alay kan.. singkatan dari ‘anak layangan’..”.
“Yah.. ‘Aborigin’, kata itu datang dari ‘Ab-Origin’, ‘Ab’ di sini sama seperti yang dipakai dalam ‘Abnormal’.. nah, lu tebak sendiri maksudnya apa.. Mirip juga dengan pemakaian istilah ‘Bushman’ untuk orang pribumi Kalahari di Afrika Selatan..”.

“Oh, orang-orang yang di film ‘God Must Be Crazy ya?”.
“Nah.. yang satu itu artinya orang semak..”.
“Lha? Terus?”.
“Bukan karena arti kata secara harfiahnya Mak yang jadi soal, tapi kekuatan merendahkan yang ada di balik istilah itu sendiri yang taik.”.

“Terus apa yang kita pelajarin selama ini? Demokrasi? Persamaan & kesetaraan derajat? Mana? Terserah orang mau bilang gua lebay, kalo mereka sebut orang-orang itu alay, maka gua pun lebih baik jadi alay daripada mereka yang hipokrit macam begitu!”.

“Shhht.. Dan..”, Makaia melekatkan jari telunjuk di bibirnya. “Jangan segitu kerasnya dulu, ide you mungkin masih terlalu hard buat mereka yang terbiasa berpikir seperti.. yah.. seperti ay..”.

“Iya, gua ngerti sih Mak, sorry ya, tiba-tiba aja gua meletup saat lu dateng sambil bengak-bengok begitu..”.

Makaian cemberut.

“Emang, selalu ay yang jadi tumbal target awal you!”.

Danjuga tertawa bersahutan dengan Makaia.

“Gimana ya kalo.. ehm.. misalnya gua ditakdirkan jadi..”
“Alay?”, sambung Danjuga, membuat Makaia tersipu malu sambil mengangguk.
“Well..”, Danjuga menyentuh-nyentuh dagunya sendiri. “Terus terang, gua sangat bisa bilang, bahwa setengah dari yang gua punya sekarang, lebih dari setengahnya tinggal gua nikmatin sejak gua lahir, maksud gua, buyut gua dulu orang terpelajar di desa, kakek gua pengusaha sukses, mak gua juga orang terpelajar yang berkecukupan, lalu lahir gua, Danjuga, cowok Jakarta kelas menengah yang bisa menikmati akses informasi cukup dan sekolah di institusi pendidikan yang secara nasional oke.. saat lu membandingkan diri dengan mereka yang nasibnya nggak lebih baik dari lu, apa yang bisa dibanggain coba?”.

“Well.. sebagian orang mungkin suka begitu biar ngerasa diri mereka lebih baik aja, karena mungkin nggak ada lagi yang bisa dibanggain dari dirinya sendiri selain ‘nasib mujur’.. itu tamparan buat diri ay juga lho..”.

Danjuga tersenyum.

“Suatu hari.. di panas yang terik..”.
“Sadiiiiss… pujangga kita rupanya..”, ledek Danjuga.

Makaia memberi isyarat biar Danjuga tenang, ia lalu melanjutkan, “Suatu hari di panas terik, ay naik bus ke sebuah perumahan elit di daerah Pluit, niatnya, mau janjian sama temen-temen kampus di sports center, di sana ada kolam renang di pinggir pantai, ada pool bilyard, ada restoran dilengkapi bar, ach.. asoy lah pokoknya.. tapi saat ay masuk lewat gerbang depan perumahan, dua orang satpam memandang ay dengan tatapan curiga, dari atas-ke bawah-ke atas lagi untuk memastikan. Si satpam yang mukanya melayu sama kayak ay, bertanya; “Mau ke mana?”. Ay lalu jawab; “Mau ke sports center pak.”. Diam sebentar si satpam songong, kemudia bertanya lagi sinis; “Mau apa?”.”.

Makaia lalu menampakan wajah kesal komikal.

“Ya mau apa lagi di sports center?! Mau buang limbah nuklir?! Mau ngebangkitin mayat Lenin?!”.

Danjuga cekikan membayangkan tiap hal yang diilustrasikan kata-kata sobatnya.

“Itulah!”, lanjut Makaia. “Itulah titik di mana ay bisa merasakan perasaan ‘orang-orang kalah’ yang ‘dengan sangat menyesal ay hina tadi’! The fuck with it man!”

Mereka berdua lalu terdiam sesaat sebelum Danjuga tersenyum.

“Sebenarnya sangat menarik untuk membahas fenomena ini, well.. the history of alay if we may say.. dari mana mereka datang? Karena kita biasa menggunakan istilah ‘anak kampung’ untuk merujuk ke kelompok sosial yang kurang-lebih sama.. gua pikir keberadaan mereka mulai ‘mengganggu’ karena media lokal kita telah dipenuhi oleh mereka.”.

Makaia mengangguk.

“Bisa nggak sih kita bilang kalo sejarah kebangkitan mereka dimulai sejak reformasi?”.
“Reformasi?”, tanya Danjuga.
“Yah.. kita kan udah pernah mengalami era 90an Dan, dan kita bisa liat tuh, jaman itu, belum ada tuh band-band macam Radja atau ST12, yang dulu mewakili kelas menengah ke bawah urban Jakarta adalah musik Dangdut, dan kalo yang sudah beralih ke musik rock, mereka mendengarkan banyak rock Malaysia, rock barat macam Guns n’ Roses, dan tentu saja jangan lupa, Iwan Fals dan Slank!”.

“Hmm.. ya.. gua inget!”.
“Paling nggak Dan, selera musik mereka dulu, menurut gua lebih baik, dan buat cowok-cowoknya, sangat manly!”.

Eps.10 Danjuga & Makaia dalam: "Tuhan yang Itu.."

Makaia menyelesaikan guratan terakhir pada kertasnya dan..

“Nah! Mantep nggak Dan?”

Danjuga memandangi gambar lukisan Makaia, seorang iblis bersarung dengan secangkir kopi di tangan kiri, dan planet bumi kecil melayang di atas telapak tangan kanannya.

“Lu pengen ngeledek gua aja niat amat pake gambar karikatur segala..”.
“Hey! It’s a compliment! Tribute buat ‘kesesatan’ yang tidak tersembuhkan dari seorang Danjuga sang bid’ah! Hahaha!”.

Makaia sebelumnya bercerita tentang mimpinya, di mana Danjuga, kawannya, adalah raja iblis dari neraka, yang ingin agar semua manusia menyembahnya.

“Kalo gua ini raja iblis, ngapain amat gua menjelma jadi seorang Danjuga coba?”.
“Yah.. sekarang you emang pengangguran, tapi si anak setan di film The Omen juga kan nggak gitu aja jadi presiden Amrik, bisa aja suatu hari you jadi orang besar! Hahaha!”.

“Yang terakhir gua aminin ye Mak..”.
“Atau mungkin..”, sambung Makaia lagi. “You emang sengaja jelma jadi temen ay, biar bisa menggoda iman seorang calon messiah.. Wahaaa!!”.

“Kalo lu messiah Mak.. Berarti Lucifer owner Alfamart..”.

Makaia hampir tertawa lagi sebelum ia menyadari suatu kejanggalan.

“Kok owner Alfamart?”.

Danjuga geli sendiri, ia pun tak menyangka bisa mengeluarkan kata-kata demikian.

“Nggak.. Mak.. gua tuh pernah bikin lelucon soal Alfamart, bahwa di bawah tiap gedung Alfamart terdapat portal dunia-neraka, suatu hari nanti, portal itu akan terbuka, dan dunia akan dikuasai waralaba iblis!”.

Makaia garuk-garuk.

“Aneh..”, kata Makaia. “Kenapa nggak bikin sekte-sekte penyembah setan aja sih?”.
“Ah.. kalo gua ini raja iblis Mak, gua nggak akan bikin sekte-sekte serem begitu; pesta orgy dan pengorbanan bayi, kelewat serem atuh! Pasti nggak akan banyak orang yang akan tertarik, sementara misi utama iblis adalah ‘menyesatkan’ sebanyak-banyaknya manusia..”.

“Ah! Ay tau! Kalo ay jadi Lucifer..”
“Daripada messiah, mungkin yang barusan lebih cocok buat lu..”, potong Danjuga.
“Setan!”. Makaia melanjutkan. “Kalo ay Lucifer, ay akan menjelma jadi ustadz! Hahaha!”.
“Tapi usahakan jangan ada celah Mak, maksud gua, pergunakan ‘tools’ yang sudah ada dan diakui oleh kebanyakan umat.. jangan lencengkan ayatnya, tapi lencengkan esensi dan eksekusi ajarannya, dengan cara yang sangat halus dan sangat sulit disangkal..”.

“Wow.. Dan.. kayaknya you udah mikirin banget ya masalah ini?”.
“Untuk mengalahkan musuhmu, kenalilah mereka terlebih dahulu, salahsatu caranya adalah ‘memposisikan’ dirilu menjadi ‘sang musuh’.. Iblis..”.

“Yoi.. kecoh mereka.. sambil terus membuat mereka sangat percaya, bahwa mereka melakukan hal yang benar.. byahahaha!”. Makaia membuat gaya tawa jahat sambil memegangi perutnya dengan kedua tangan.

Danjuga mengacungkan telunjuknya.

“Intinya, tampillah sebaik dan sebagus mungkin, pakailah make-up dan topeng yang enak di mata, pakai kata-kata yang enak di telinga dan nyaman di hati.. You know.. sudah ribuan tahun lamanya manusia membuat diri mereka mawas akan ancaman iblis dengan berbagai cara; menceritakan kisah-kisah mengerikan, mencirikan perilaku iblis, mencitrakan mereka dengan gambar sosok-sosok mengerikan.. dan lain-lain, lu pikir, apa mereka akan ‘tampil’ dengan ‘gaya’ yang serupa dengan segala penggambaran sebelumnya?”.

“Nyamuk yang sekarang nggak akan mampus semudah dulu dengan obat pembasmi yang sama..”, kata Makaia.

Danjuga tersenyum.

“Ada sebuah ‘perangkat’ yang sangat efisien.. perangkat yang punya kekuatan amat-sangat kuat, senjata iblis yang belum terkalahkan sampai sekarang.. nilai moral bisa berubah, hukuman mati yang sekarang diterapkan bisa jadi dihapus di kemudian hari, cloning mungkin bisa dilazimkan suatu saat, homoseksual bisa saja diterima di manapun kelak.. tapi dia.. ckckck.. tetap konsisten..“.

“Heh..”, Makaia penasaran. “Apa sih nih? Lagak you mulai sok epic lagi deh..”.
“Kalo gua adalah raja Iblis, gua akan bermanifestasi menjadi.. uang..”.

Makaia kehilangan semangatnya.

“Haa?”, kelopak matanya turun. “Uang?”.

Ternyata reaksi itulah yang diharapkan Danjuga.

“Tuh! Sulit kan untuk diterima? Tapi coba dengarkan kawan.. Iblis punya misi untuk mengecoh manusia, menyesatkan tanpa harus membuat ‘perang’dalam nurani mereka. Kesuksesan utama iblis adalah saat manusia menyembahnya, dan uang punya potensi besar untuk dipuja..”.
Danjuga melanjutkan, “Sekarang, kita cari persamaan antara Tuhan dan uang!”.

Danjuga membuat semacam perumpamaan persamaan antara Tuhan dan uang, yang bisa membuat uang ‘maha kuasa’ dan setara denganNya, di sini, kata ‘tuhan’ dapat dengan mudah diganti dengan kata ‘uang’, coba saja..

...‘Tuhan’ mengikatmu tiap waktu, memberimu makan, apa pakaianmu, ia menentukan di mana kau lahir dan tinggal, di mana kau menuntut ilmu..

Jodoh itu di tangan ‘tuhan ‘.. ia adalah tempat kau bergantung dan menggantungkan harap..

‘Tuhan’ menentukan dengan siapa kau bergaul, ia membuat hatimu tenang saat bepergian.. ‘tuhan’ menjagamu..

Ia adalah tujuanmu saat kau bekerja, ia telah menjadi alasanmu hidup dan bernafas..

‘Tuhan’ yang menentukan seberapa besar kekuasaanmu.. ia adalah ukuran kesuksesan manusia.. nilai manusia..

‘Tuhan’ membuatmu bahagia.. saat ia meninggalkanmu kau akan merasa susah..

Ia dapat menghancurkan satu jiwa, keluarga, bahkan satu negara..

Apa kau bisa membunuh ‘tuhan’? Aku kira tidak..

Tambahkan lagi kalau mau..

Saat Nabi Musa kembali setelah Tuhan menurunkan 10 Commandements padanya, ia menemukan bangsa Israel telah berpaling dari Allah ke penyembahan sapi emas.

“Lu inget kan Mak, soal pembicaraan kita tentang ‘analogi’ dalam kitab suci?”, tanya Danjuga.
“Inget..”, jawab Makaia. “Jangan-jangan lu mikir sapi emas itu analogi juga?”.
“Bisa aja sih.. karena dari penyembahan Yahweh ke penyembahan sapi emas, gua mencurigai adanya kejanggalan.. maksud gua, apa yang menyenangkan dari sapi emas? Sampe bisa bikin bangsa Israel menggilai dan menyembahnya.. man! Apa kita pikir mereka sekonyol itu? Orang Israel itu tinggal ratusan tahun dengan bangsa Mesir yang berperadaban canggih lho!”.

“Teruuuusss…”, Makaia tak sabar.
“Gimana kalo gini..”, lanjut Danjuga. “Sapi emas; sapi + emas.. dua-duanya adalah penggambaran tentang harta-benda. Sebelum sistem uang seperti yang sekarang, gua yakin keduanya adalah ‘uang’ bagi masyarakat mereka.. emas masih digilai sampe sekarang, masih dijadikan penjamin uang kertas dan koin.. sementara sapi ternak menghasilkan daging, susu, kulit, lemak untuk mentega, tenaga untuk membajak dan angkutan..”.

“Jadi!”, sambar Makaia. “Nabi Musa pas pulang, menemukan umatnya tenggelam dalam bisnis! Nimbun uang sampe lupa sama Allah! Mungkin suatu keadaan di mana ‘apa-apa uang’-‘ujung-ujungnya duit’! Money is our past, it’s our present, and It’s the future!”.

“Yes brother!”, imbuh Danjuga. “Dan itu bisa sangat memabukkan dan meracuni, sampe tergambar dalam cerita tentang ‘Harta Qarun’.. bagaimana ‘Tuhan menenggelamkan Qorun dalam hartanya sendiri’..”.

Makaia diam berpikir, saat ia membuka kata-kata, suaranya sedikit bergetar.

“Tapi Dan.. kita kan nggak mungkin hidup tanpa.. well.. sulit hidup tanpa uang uang kan?”.
“Yah.. Mak.. gua juga nggak mau munafik, gua juga butuh duit kali! Yang kita omongin tadi pasti banyak yang akan nganggep itu klise.. but hell.. we should always be aware of things right? Jangan berhenti berpikir! sampe-sampe kita membenarkan apa yang salah untuk dapet duit.. dengan argumen seperti..”.

“Yah.. gimana lagi dong boss? Jaman susah.. ‘, sambar Makaia. “Emang begitu sistemnya.. Dasar penyembah setan! Byarahaha!”.

“Kasar lu Mak ah!”, Danjuga geli. “Pasti banyak yang tersinggung denger lu tuh!”.
“Iya Dan.. ay juga ngerti kok! Antara mana yang bener? Uang adalah setan? Atau uang adalah senjata favorit setan? Bagaimanapun uang dapat digunakan untuk berbuat kebaikan kan?”.

Danjuga menggaruk hidungnya lalu berkata, “Tapi kalo gua jadi Iblis, penggunaan uang untuk kebaikan nggak akan bikin gua gerah lho.. gua nggak akan menganggap misi gua gagal, yah.. penggunaan uang demi kebaikan memang berlawanan dengan ideologi gua.. tapi hal itu bisa membuat senjata gua.. wich is money.. tetap sulit untuk disangkal.. itulah yang membuatnya tetap ‘mahakuasa’ bagi manusia!“.

Obrolan berlanjut sampai Danjuga & Makaia seolah memposisikan diri mereka sebagai duo iblis, yang merancang penggunaan uang sebagai senjata penghancur manusia, bagaimana kepentingan akan uang lebih diutamakan bahkan bagi keselamatan planet bumi sendiri..

Tuhan yang itu mungkin tanpa kita sadari telah mengisi segala sisi hidup kita lebih dari yang kita sadari.. tuhan yang itu mungkin telah membuat kita bersujud di hadapannya tanpa harus bersujud secara raga. Kita mau berpikir sebentar, namun tuhan yang itu menabraknya tanpa henti dengan membawa bukti bahwa ia tidak bisa dipisahkan dengan realita.

Pertemuan duo iblis diakhiri dengan Danjuga yang minta pinjam uang pada Makaia..

Eps.9 Danjuga & Makaia dalam: "Redox-Sun"

Hujan baru saja berhenti, Makaia tiba-tiba punya ide untuk menggelar terpal di atas genting, dilapisi tikar dan walah! Ia bersama Danjuga bisa tiduran di sana, menikmati sore hari yang sejuk, memandangi langit mulai menjjingga saat matahari berhasil menampakkan dirinya lagi dari balik mega.

“Udaranya lagi England nih boss..”, ujar Makaia, Danjuga hanya nyengir sambil memejamkan mata.

“Bisa lupa gimana kacrutnya urusan kita di bawah sini kalo di atas asoy begini ya?”.

Danjuga tetap tidak merespon kata-kata Makaia.

“Oy.. you tidur you? Tolong diberi repon dong kawan you ini!”.
“Kalo gua ngomong..”, ucap Danjuga. “Pasti yang keluar urusan pengen ngejegal pendapatlu lagi Mak.. kenapa nggak kita nikmatin aja langit? Ya kalo lu mau ngomong terserah..”.

“Terlalu hening itu kadang bikin merinding tauk!”
“Makanya nikmatin pelan-pelan, masak lu nggak bisa denger musik senjanya sih? Sayup anak-anak kecil lagi pada kejar-kejaran, suara angin menghembus pepohonan, tunggu sebentar aja, deru pesawat bisa kedengeran lewat..”.

“Heheh.. asoy..”, Makaia tersenyum. “Ay contek lagi ah kata-kata you buat bikin lagu..”.

Danjuga menghisap rokoknya lalu ditiupkannya asap ke langit lalu.. “Nih, gua tambah awan lagi!”.

Makaia melihat Danjuga berakali-kali menghembus asap rokok ke langit, yang nampak menjadi awan halus dengan pergerakan cepat menabrak gugus mega sungguhan, di kepalanya ia lihat awan berikutnya yang dihembus Danjuga berwarna hitam, sesampainya di langit, awan hitam itu mengeluarkan petir menyambar-nyambar, selanjutnya, ia lihat matahari jingga keluar dari mulut Danjuga, bentuknya bulat sempurna. Dengan cepat matahari itu membelah kumpulan awan hitam berpetir, mencerahkan warna mereka, menimbulkan pelangi.

Makaia lalu mengangkat gelas air di sebelahnya, ia tangkap matahari jingga itu dengan gelas, dan di dalam air, matahari itu melarut mengeluarkan buih-buih.. shhhh!! Kini sumber warna jingga langit adalah gelas Makaia yang berisi air larutan matahari. Makaia meminumnya, sekujur tubuhnya kini bercahaya jingga.

Makaia kembali ke dunia nyata sembari tersenyum mengangkat gelas air.

“Cheers! Untuk semuanya!”.



…Terimakasih untuk Sundea dan Matahari, kawannya..

Eps.8 Danjuga & Makaia dalam: "Suatu Malam di Pub"

Malam itu, Danjuga sedang mencoba mengakali pintu kulkasnya yang makin ‘enggan’ ditutup, saat sebuah pesan masuk ke handphonenya.

Dari Makaia, mengajak minum bir bersama, segera. Danjuga langsung meneleponnya balik.

“Lu beli aja bir, terus bawa ke mari..”, katanya. “Gua lagi ribet nih ngakalin pintu kulkas, udah kagak mau ditutup nih!”.

“Ay nggak bisa minum di situ..”, ujar Makaia.
“Terus lu mau minum di mana?”, tanya Danjuga. Menempelkan handphone ke telinga dengan bahunya.

“Ay lagi mengarah ke pub nih, ayo dong temenin!”.
“Buset dah! Ke pubu? Mahal tauk! Nggak ada duit gua Mak! Gegayaan banget lu minum di pub!”.

“Bawel you! Ay bayarin sini! Mau apa nggak?”.
Danjuga diam lalu berkata, “Ada sesuatu yang serius kedengarannya?”.

Tapi Makaia tak menjawab, hubungan pun terputus begitu saja.
Danjuga menyelesaikan pekerjaannya dengan wajah Makaia terbayang di pikiran, ia lalu berganti pakaian lalu pergi menyusul Makaia dengan skuternya.
Ada apa gerangan dengan temannya itu?

Danjuga sampai di pub, udara sejuk AC di dalam menerpa wajahnya lembut, musik slow rock terdengar mengalun, hampir tenggelam oleh riuh suara TV yang menyiarkan pertandingan sepak bola liga Inggris live.
Beberepa bule berpakaian rapi duduk-duduk berbincang di meja kayu, sekawanan perempuan berbaju kantor nampak asyik bersenda gurau dengan masing-masing Blackberry di tangan kanan & rokok putih di kiri.

Pandangan Danjuga menyusuri bar yang kala itu agak sepi, ia pun dapat menemukan Temannya seketika, duduk sendirian sambil sesekali menyeruput bir dari gelasnya.

“Washeppen dear friend?”, tanya Danjuga seraya duduk di kursi samping Makaia.
“Wuih, dateng juga you?”, ucap Makaia, berusaha nampak terkejut.
“Seorang teman tumben ingin menraktirku minum di pub.. ada yang terlihaat aneh saat; ‘sebelum kawan minumnya datang pun dia sudah menghabiskan satu pitcher sendirian..”.

Danjuga menunjuk pitcher bir yang hampir tandas di dekat siku Makaia.

“Abis lama you..”, kilah Makaia. “Lagian kenapa kalo orang minum sendirian? Liat tuh bule, asik-asik aja minum sendirian..”.

Seorang bapak-bapak berambut jagung agak salah tingkah ketika Makaia menunjukknya.

“Apanya yang asik?”, tanya Danjuga. “Dua gelas bir-secangkir kopi item.. mau ke mana itu si oom?”. Danjuga tertawa kecil. “Satu orang.. minum sendirian di bar.. nggak tau sih ya, tapi buat gua mah itu sedih banget keliatannya..”.

“Tadinya malah gua mau minum sendirian di Circle K.. ngemper..”, kata Makaia.
“Oh please.. jangan lakukan itu..”.

Keduanya tertawa kecil.

“So?”. Danjuga menyalakan rokoknya dan menagih.
“Ya.. jadi..”.
“Lho kok curhat? Mana bir gua?”.
“Ngentot..”, gumam Makaia sebal. Ia lalu meminta satu pitcher bir lagi pada bartender.
“Nah, sekarang baru deh cerita..”, ujar Danjuga. “Kenapa nih? Masalah internal band? Atau perempuan? Family matter kah?”.

Makaia menghembus nafas agak menghentak kemudian berkata, “Kadang.. dalam tidur, pikiran kita sendiri tega nyakitin perasaan..”.

Danjuga mencoba mengira-ngira maksud Makaia sambil menyeruput bir, segar sekali, renyah..

“Mungkin karena tempo lalu kita sempet ngomongin Bilasaja..”, lanjut Makaia.
“Ooh.. ternyata dia lagi..”, imbuh Danjuga sambil tersenyum. “Kenapa dia?”.

Makaia memijit-mijit pangkal hidungnya.

“You know.. katanya orang yang suka membicarakan mimpinya adalah orang yang membosankan, yang kehidupan nyatanya nggak cukup menarik untuk diceritakan..”.

“Sudahlah Makaia.. muntahkan saja seberapapun sakitnya dadamu kawan!”.

Makaia menarik nafas & menhembusnya cepat.

“Adegan Bilasaja bercinta dengan pacarnya, man, what the fuck! Even the blowjob scene. Came out of nowehere as clear as empty glass!”.

Danjuga terpana mendengar tiap kata Makaia.

“Pertanyaan sebenernya..”, tambah Makaia. “Kenapa hati ay masih segitu perihnya?”.
“Lu tau jawabannya Mak..”.

Tanpa berkata apapun Makaia mengiyakan.

“Just like us in our past..”, ujarnya lagi. “She & her boyfriend must have been..”.
“Cukup man..”, cegah Danjuga sambil menepuk punggung Makaia.

Mereka berdua terdiam, mencoba menikmati bir yang kini terasa lebih masam lagi di lidah.

“Have you done it with Yangpula?”, tanya Makaia tiba-tiba.

Danjuga tersenyum.

“Beberapa scene yang mungkin bisa mengarahkan kami ke ‘sana’, dalam keheningan yang teduh.. tapi.. belum..”.

Makaia bicara dengan mulut menempel di bibir gelas. “Beberapa dari kita bisa jaga diri, beberapa dari kita yakin sudah siap.. tapi ternyata.. harga yang harus dibayar untuk kesenangan seperti itu begitu mahal.. Pantes Tuhan mengharamkan itu..”. Makaia tertawa kecil di ujung kalimatnya.

“Harga have sex beda sama make love kan?”, tanya Danjuga. “Yang kedua lebih mahal.. seperti heroin, lebih ‘murni’ pasti lebih tinggi harganya..”.

“Dari semua kenangan ay sama Bilasaja.. kalau ay bisa menghapus itu dari waktu.. adalah saat kita melakukannya.. I mean.. itu sesuatu yang indah, detik-detik menyenangkan.. tapi.. kita harus betul-betul siap.. bahkan saat ay pikir sudah merasa siap, teranyata satu hal lagi tertinggal dari pertimbangan dulu..”.

Danjuga membiarkan kata-kata keluar dari mulut Makaia seperti air terjun tiada habisnya.

“Masalah dosa.. masalah resiko penyakit.. masalah resiko kalo-kalo Bilasaja hamil.. kata-kata apa yang bakal ay bilang seaindainya kita berdua kegep di tengah-tengah.. semua udah dicheck-list!”.

Makaia mengambil nafas sebelum melanjutkan.

“Satu yang ketinggalan..”, ucapnya pelan.
“Ketika semua itu berakhir.. apa kita bisa membayangkan, membiarkan dia melakukan itu dengan orang lain?”.

Setitik air mata jatuh bebas ke ke meja kayu bar, disusul yang lain bertubi.

“Let it out man..”, kata Danjuga seraya menusap punggung kawannya. Makaia menaruh wajahnya di wadah lengannya yang bertumpuk, terisak tertahan.

Danjuga tidak pernah mengatakannya pada Makaia, ia belum melakukan hubungan sexual dengan Yangpula meski sebenranya ia ingin sekali, walau banyak sekali kesempatan, alasannya adalah ini.. pengalaman kawannya yang hancur seperti ini.
Beberapa lelaki merasa tak merugi, mereka berpikir, yang penting sudah merasakan enaknya.. Beberapa lelaki tidak merasakan perubahan berarti, tentu saja, sebelum dan sesudah, bentuk penisnya akan tetap sama.

Makaia adalah satu dari yang lainnya.. Makaia seperti gadis-gadis dalam film yang merana karena ditinggalkan ‘orang pertama’.
Lelaki dengan penisnya.. kadang merasa tak terkalahkan.. jalan pikiran penis memang sangat sederhana, ia adalah senjata purba warisan nenek moyang kita..
Kenapa manusia memerlukan tata cara & prosesi rumit untuk melaksanakan ‘penyatuan betina-jantan’?
Sejak nenek moyang kita memakan ‘Buah Khuldi’ dulu, sex jadi tidak sesederhana semestinya..

Kau siap? Pastikan saja..