“You self-centered bastard!”.
Itu kata-kata terakhir yang didengar Makaia dari pacarnya tepat sebelum berubah jadi mantan pacar. Belum ada sebulan mereka jalan, sekarang selesai sudah. Bagi perempuan itu, Makaia terlalu egois, bukan ciri orang dewasa sama-sekali.
Tapi dari umpatan terakhir mantan pacarnya itu Makaia jadi memikirkan sesuatu yang jauh, tidak berhubungan sedikitpun dengan sakit hati karena dicampakkan, bukan pula soal introspeksi diri agar hubungan percintaan selanjutnya bisa bertahan paling tidak lebih dari 5 bulan.
Makaia berpikir dalam perjalanannya di bus kota..
Bagaimana jika benar? Kau adalah satu-satunya manusia ‘sungguhan’ di alam semesta?
Bahwa kau adalah pusat dari realitas..
Bahwa segala sesuatu sengaja diciptakan Tuhan untuk membingkai dirimu seorang?
Ayah, ibu, saudara, teman, dan semua manusia lain adalah sebuah program, termasuk semua benda, hewan, bintang-bintang & luas jagat dengan segala isinya ini. Saat kau tertidur mungkin semua itu dinon-aktifkan, begitu kau bangun, program pun lanjut berjalan kembali.
Siapa tahu? Memangnya kau bisa pindah ke sudut pandang orang lain?
Kau kini tentu saja adalah ‘bintang utama’ dari kehidupanmu, tapi bagaimana jika kau MEMANG! Bintang utama dari keseluruhan kehidupan?
Jika kau memutar tubuhmu secara amat-sangat gesit & mendadak, siapa tahu Tuhan terkecoh? Ternyata di belakangmu hanya ada ‘kekosongan’ tanpa ujung.. Eits! Dia sadar, lalu buru-buru ‘mengisi’ ruang hampa itu dengan realita..
Di ujung perjalananmu kelak, Dia akan menjelaskan semuanya, dan kau akan mengerti, nyatanya kau adalah sebuah prototype dari ras manusia yang akan diciptakanNya sesudah itu.. bagaimanapun potensi manusia hanya bisa terlihat dengan ‘arena belajar’ yang mendekati ‘asli’.
Jadi segala tetek-bengek ini bukan sungguhan?
Betapa rumitnya kau pikir, tapi Tuhan memang Maha Scriptwriter!
Akh.. begitulah.. sementara orang-orang di sekitarmu beberapa sudah tiada dengan berbagai alasan, kau bertanya sendiri, “Dunia begitu penuh dengan maut & bahaya.. Bisa saja aku mampus dari dulu.. atau hari ini.. atau sejam lagi..”.
Tapi mungkin saja itu mustahil, sebab jika kau mati, maka semua simulasi ini akan berakhir begitu singkat, dan targetNya belum sempat tercapai.
Jika kau katakan itu pada teman-temanmu, menyiarkannya lewat media massa, maka mereka akan menertawakanmu, menyebutmu gila. Itu suatu kesengajaan, agar kau yakin bukan itu kenyataannya.
Tuhan mencegahmu untuk sadar dan yakin.
Kalau kau bermaksud menulisnya di komputer, mungkin komputermu itu tiba-tiba mati, atau Tuhan memprogram ibumu untuk muncul & menyuruhmu macam-macam, telepon genggammu berbunyi lalu ada yang menawarimu pekerjaan besar, atau tiba-tiba saja ayam berkokok..
Mungkin kau jangan coba-coba tidur dulu, ingatanmu bisa saja dihapus nanti!
Kalau itu terjadi…?!
Yah.. kalaupun itu terjadi, toh semua akan berjalan lagi seperti biasa. Kau dengan kehidupan normalmu yang penuh semangat dan cita-cita. Tak sadar bahwa ada sebuah sistem yang menggunakanmu sebagai kelinci percobaan. Orang yang tahu banyak & sadar dirinya dipermainkan tak akan bisa lagi berguna banyak bagi sistem, ia akan mencoba melawan, seperti buruh yang melakukan aksi mogok kerja. Namun sistem pun akan melakukan upaya keras untuk memperbaiki keadaan, ia akan membebanimu dengan berbagai hal, memasukkan ini-itu ke dalam kepalamu hingga kau percaya pada akhirnya, kau memang harus ‘kooperatif’.
Lagipula kau bisa apa? Kau sendirian, ingat?
Makaia pindah dari bus yang mengarah ke rumahnya ke bus yang mengarah ke rumah kawannya, Danjuga. Kala ia sampai dan menyampaikan pikiran lucunya itu..
“Jadi lu pikir gua cuma program virtual? Gua sebenernya nggak punya perasaan? Nggak punya ‘kehidupan sungguhan'?”. Danjuga mengomel sambil memakai sarung, belum mandi karena nganggur, dan sebagai pemandangan latar; TV dengan gambar game Tekken dalam keadaan ‘pause’. “Lu stress berat ya abis diputusin?”.
Makaia tersenyum sinis.
“Hmm.. okay..”, ujarnya pelan. “Ay juga cuma bercanda kok.. sudahlah.. jangan dipikirkan, ay juga tau kalo you bakal bilang begitu.. iya-iya, ay percaya, tenang, nggak usah ngotot, hei sesama ma-nu-si-a-hahaha..”.
Makin nyeleneh raut muka Makaia, makin sebal Danjuga.
“Lu bilang tadi ditelepon, lu disebut apa? Self-centered bastard? Ini jauh melampaui istilah itu.. hmm..”.
Makaia seperti tengah Manahan tawa, kalau bukan Danjuga, ia pasti sudah direkomendasikan ke psikiater.
Danjuga tak habis akal, ia pernah beberapa kali mencoba ngobrol dengan orang gila, dan ia tahu caranya agar ‘nyambung’, yakni dengan menyamakan persepsinya. Dengan kata lain, Danjuga harus menjadi ‘gila’ dulu.
“Baik Makaia.. kami menyerah..”, ucap Danjuga perlahan. “Kau tahu rahasia kami.. Kau, tahu terlalu banyak..”.
Makaia terperanjat.
“Shit!”.
“Kini program harus disudahi.. kau adalah produk gagal, manusia adalah proyek gagal!”.
“Tu-tunggu!!”, Makaia ketakutan.
“Kau masih ingin main bukan? Maaf saja.. semua sudah terlambat!”.
“Mam-mama..”.
“Mama?”, tanya Danjuga datar. “Karakter yang kau sebut ‘mama’ itu bukan sungguhan Makaia, kau tahu itu kan?”.
Danjuga tak menyangka Makaia bakal setakut itu, yang kemudian tiarap di lantai dengan kedua telapak tangan menutupi telinganya.
“Terakhir lu bilang; ‘Im gonna play this role so well..’, tai kucing..”, sindir Danjuga.
Tak terjadi apapun, Makaia bangkit dengan sekujur tubuh dibasahi keringat.
“Kalo lu mau mikir kayak gitu ya silakan..”, kata Danjuga. “Tapi selesein dulu dong kontraklu, mainin film ini dengan totalitas! Bego!”.
Makaia mematung, ia berkedip-kedip seperti orang senewen, lalu minta ijin untuk numpang sholat di kamar Danjuga.
Danjuga menyiapkan secangkir kopi & semangkuk camilan eksperimental, gabungan antara nachos & lado kentang buatan ibunya. Ia pikir Makaia mungkin membutuhkan sedikit ‘kasih-sayang’ teman di hari buruknya ini.
Makaia keluar dari kamar Danjuga dengan wajah yang masih basah oleh air wudhu & kedua mata menerawang.
“Ilusi..”, gumanya. “What am I thinking?”.
Danjuga tersenyum menanggapi perkataan Makaia.
“Well dear friend, lu nggak sepenuhnya salah kok..”.
“What?”, Makaia melirik Danjuga penuh arti. “Maksud you? C’mon.. give me a break already. I’m sorry man..”.
“Nggak Mak, gua serius.. semua perkataan ‘ngaco’ lu barusan ada benernya..”.
Makaia diam, ia menunggu.
“Buddha mengajarkan bahwa semua yang ada di dunia fana ini adalah ilusi belaka, makanya di Agama Buddha sangat ditekankan agar kita nggak terikat dengan materi, karena itu cuma ilusi! Ini terdengar sangat nggak enak, tapi bahkan keluarga & orang-orang yang kau kasihi pun termasuk ilusi!”.
“Cih..”, Makaia tersenyum sinis. “Biar you bilang itu tanpa mengurangi rasa hormat terhadap mereka pun, susah untuk nggak mengurangi ‘nilai’ mereka di mata you Dan. Bener-bener nggak enak kedengerannya..”.
“Bagi sebagian orang memang rasanya terlalu egois, menjadi biksu atau biarawati itu mungkin dirasa sangat egois; mengejar pencerahan diri dengan meninggalkan semuanya.”. Danjuga melanjutkan. “Banyak orang yang menganggap, bahkan Siddharta Gautama adalah figur egois yang mencari terang dengan mengabaikan tugasnya sebagai calon raja, suami & ayah.”.
“Muhammad bisa tuh.. nggak meninggalkan keluarga demi pencerahan..”, komentar Makaia.
“Boleh aja sih dibandingin..”, balas Danjuga. “Tapi inget, nggak ada yang sempurna, masing-masing dari mereka punya kelebihan dalam ceritanya. Yah.. Buddha bisa menyelesaikan ceritanya tanpa perang penuh darah seperti ceritanya Nabi Muhammad kan?”.
“Tipikal Danjuga..”, ucap Makaia. “Selalu pengen jadi oposisi..”.
Danjuga tertawa.
“Well.. Mak.. kalo kita balik lagi, semua yang kita omongin ini adalah ilusi, jadi percuma untuk menjadi fanatik terhadap suatu ilusi..Lu tau apa yang bakal kita dapat kalo berusaha mengejar ilusi?”.
“Sakit hati & penderitaan..”.
“Wuiddih! Cepet juga jawabannya?”.
Makaia mendaratlkan pantatnya di sofa, merenungkan sesuatu.
“Persis keadaan ay sama dia..”.
“Sama dia?”, tanya Danjuga.
“Bilasaja..”.
Danjuga tersenyum. “Ooh.. si mantan super lu itu?”.
“You tau kan kayak apa perasaan ay sama Bilasaja?”
“Kalo dari sebuah adegan di mana lu hampir melompat keluar dari bus yang tengah berpacu kencang sih.. Ya, rasanya gua tau.”.
“Ilusi.. Itu yang ay kejar.. berharap menemukan orang yang sama lewat kedua mata itu..”. Makaia memegangi kepalanya. “Tapi dia bukan lagi orang yang sama, bukan seperti orang yang pernah sayang sama ay selama setahun sebelumnya, matanya seperti lubang hitam yang menghisap semua harapan ay.. Bilasaja yang dulu itu sudah mati, dan gobloknya, ay tetep berusaha mencari dia lewat ‘sosoknya yang sekarang’, yang nggak lagi ay kenal..”.
Danjuga mendengarkan, meski ia sudah dengar curhat Makaia tentang Bilasaja beribu kali sebelumnya.
“Ay tau rasanya, tau bener..”.
Danjuga mengambilkan kopi & camilan untuk kawannya seraya berkata. “Lihat.. dulu lu bilang, lu bisa lihat Tuhan lewat mata Bilasaja..”.
“Dia memang sumber inspirasi..”.
“Bahkan sampe sekarang pun dia masih ngasih lu inspirasi..”.
“Lewat perih?”.
“Dan bisa lebih mengerti kehidupan dari sisi yang lain lagi.. Well.. masih untung dia diambil orang, gimana kalo dia diambil Tuhan?”.
Makaia menerima cangkir kopi & mangkuk camilan, ia taruh di pangkuannya dan berujar. “Ay nggak tau deh gimana itu rasanya..”.
“Nggak mungkin lu tau kalo belom kejadian bener. Cewek gua Yangpula, dia yang pernah ngerasain itu..”
Makaia nampak terkejut.
“Yangpula?”.
Danjuga mengangguk lalu duduk di sebelah Makaia.
“Pacar dia yang sebelumnya, meninggal dikeroyok. Belom puas bikin dia babak-belur, mereka menghantam dadanya dengan sepeda motor sampe hancur.. Gua merinding cuma dengan ngebayangin, gimana Yangpula harus ikut ngubur pacarnya dulu..”.
Makaia meradang.
“Ngentot!”, desisnya. “Kenapa orang-orang itu?!”.
Danjuga diam, ia tak menanggapi umpatan Makaia.
Makaia mengehmbuskan nafas panjang sebelum menyeruput kopi suguhan Danjuga, ia kemudian berkata, “Jadi malu ay, kalo inget betapa cengengnya ay dulu, karena ditinggal Bilasaja..”.
Danjuga tersenyum kecil sebelum menyambung, “Harusnya gua yang lebih malu lagi karena pernah berpikiran kotor..”.
Makaia memandangi wajah kawannya, bertanya-tanya tanpa kata.
“Gua pernah mikir, kalau saja dia nggak meninggal, Yangpula tentu nggak bakal sama gua hari ini..”.
Makaia mengerenyitkan dahi seperti pantatnya tertusuk jarum pentul.
“Apa ini yang disebut hikmah?”, tanya Danjuga. “Kadang gua mempertanyakan, apa cara kerjaNya yang misterius bisa selalu kita benarkan?”.
“Kalau pun benar semua itu ilusi..”, timpal Makaia. “Semua rasa itu bukanlah bohongan..”.
“Ya.. rasa itulah maksudnya..”.
“Merasakan cinta? Itu kan yang you bilang tempo hari?”.
Danjuga mengangguk.
Makaia lalu mencoba mencicipi camilan ala Danjuga; nachos-lado kentang, lidahnya yang menari, tapi otaknya ikut berusaha mencitra.
“Asing.. nggak umum, tapi lumayan lah.. Yang ay bingung, kalo semua ini ilusi, jadi yang bener apa dong?”.
Danjuga berangsur kembali terlihat segar.
“Yang nyata adalah Si Boss lah.. isn’t that obvious?”.
“Alah! Udah tau ay, you bakal jawab begitu.. so tipikal you!”.
“Semua agama juga kayaknya bilang begitu deh, bahwa kehidupan sesungguhnya dimulai justru setelah kita mati! Syekh Siti Jenar bahkan bilang kalo menjalankan syariat itu nggak diperlukan dalam kehidupan yang sekarang, tapi malah berlaku di kehidupan selanjutnya!”.
“Owallah!”, seru Makia. “Aneh banget! Bukannya seharusnya kita malah mestinya bebas kalo udah ‘lewat’?”.
Danjuga tampak seperti menahan tawa, sesuatu yang amat tak disukai Makaia, karena artinya Danjuga punya argumen ‘seru’ yang bakal mematahkan anggapan-anggapan Makaia.
“Apa iya bebas?”, tanya Danjuga. “Kalo semua bebas mah, ya nggak ada dong yang namanya neraka?”.
“Maksud ay bebas itu ya.. udah abis, selesai gitu!”.
“Jadi nggak ada lagi jalan untuk memperbaiki amal? Nggak ada lagi kesempatan?”.
“Oy! Kesempatannya udah ada! Dan beberapa orang nggak memanfaatkan kesempatan mereka!”.
“Jadi cuma sampe situ kasih-sayangNya?”.
“Doa anak-anaknya bisa bantu!”.
“Kalo seseorang itu nggak punya siapapun? Taruhlah penjahat sebatang-kara yang kejam tak-berampun, nggak ada yang mendoakan, justru ribuan yang mengutuk?”.
“Ada neraka sebagai wahana purgatory! Yang akan menyucikan dia!”.
“Bukankah semua pemain fim pasti akan mendapatkan fee mereka? Meski peran yang mereka mainkan itu ‘karakter antagonis’?”.
“Mother-father! Maksud you apaan sih?! Ini kopi masih panas Dan! Mau ay guyur you! Jangan bikin kesal pria yang sedang patah hati ya! Bunuh diri aja bisa, apalagi bunuh orang!”.
Danjuga mengangkat kedua telapak tangannya sejajar dengan wajah.
“Ampun!”, serunya sambil cengengesan. “Gua cuma mempertanyakan sistem sosial di akhirat kelak!”.
“Gila you! Di akhirat kok ada sistem sosialnya?”.
“Emang sih kita nggak pernah diajarin mata pelajaran sistem sosial akhirat, tapi dari yang bisa kita dapet lewat ajaran agama kan jelas emang ada yang macam begitu. Bahkan digambarkan adanya stratifikasi sosial di paling ujung kisah kita nanti!”.
“Ha?”. Makaia makin bingung.
Danjuga mengambil secarik kertas & menggambar sebuah piramid.
“Lihat, pembagian kasta penghuni surga & neraka ini deh..”, ujar Danjuga. “Bahkan sampai sini pun masih ada pembagian kasta buat kita lho.. nggak asik bener!”.
Di kertas itu tergambar sebuah piramid ‘tingkatan sosial’ sederhana ala Danjuga:
1. Higher Heavens
2. Lower Heavens
3. Upper Infernos
4. Lower Infernos
“Dan di paling bawah.. kalo lu percaya, ada yang namanya ‘Eternally Citizens of Hell’! Uuuwwiihh! Syerrremm..!”.
Mangap Makaia melihat gambar Danjuga, mengapa tak pernah ia pikirkan sebelumnya?
“Coba, menurutlu kenapa bisa begini keadaannya?”, tanya Danjuga pada Makaia.
“Mungkin memang Tuhan memberi kita masing-masing tempat yang ‘pantas’?”.
Danjuga mengangguk kemudian melancarkan pertanyaan lagi. “Tapi bisa nggak kita naik level kalo udah sampe situ? Maksud gua dari ‘Lower Heavens’ ke ‘Higher Heavens’?”.
Makaia garuk-garuk dagu lalu menjawab, “Hmm.. kayaknya nggak bisa lah ya? Lagian kalo ay udah dapet satu ‘flat’ di surga, itu juga udah sukur, pake mau naik tingkat segala?”.
“Lu percaya kalo setelah ‘masa hukuman’ di neraka selesai, orang bisa naik ke surga?”, tanya Danjuga lagi.
“Ya, bukannya emang begitu ya?”.
“Lha? Yang di neraka aja bisa naik ke surga, kenapa yang di surga nggak bisa naik ke surga tingkat lebih tinggi?”.
“Aduuh..”, keluh Makaia. “Ya mungkin harus berbuat baik dulu kali!”.
“NAH!”, seru Danjuga mendadak, mengejutkan Makaia. “Persis yang dibilang Syekh Siti Jenar! Kalo di surga menjalankan syariat dengan baik maka kita bisa naik ke surga yang lebih tinggi gitu? Hahaha!”.
“Bangsat!”, umpat Makaia. “Iya deh.. you menang lagi..”.
“Eits! Gua belom selesai.. masih banyak pertanyaan yang mesti lu jawab Mak!”.
“Jiah! Ngapain ay jawab kalo tiap kali salah melulu? Tiap kali ditepis melulu? Kalo bener pun, you bakal muncul dengan jawaban yang sama-sekali beda! Setan!”.
“Duuh.. ngambek nih ye?”, goda Danjuga. “Ya udah, nggak gua terusin deh..”.
Tapi Makaia tak tahan, ia harus akui, ini memang menyenangkan.
“Lanjut deh, buruan!”.
Danjuga tersenyum senang sekaligus menahan geli melihat kawannya yang memang mudah
terpesona oleh banyak hal.
“Gua pengen tanya.. apa di surga masih ada batasan-batasannya? Atau kita bebas melakukan apapun? Melampiaskan hasrat yang nggak bisa kita salurkan di bumi? Gimana tuh Mak?”.
“Aduuuhh.. gimana ya? Kalo gua sih pengennya bebas!”.
“Dalam penggamabaran surga, terutama yang dirangsang adalah yang dekat dengan perut & selangkangan, selanjutnya hasrat kita akan harta & takhta. ‘Kita akan dijanjikan berpuluh bidadari sexy! Sungai susu mengalir tanpa henti! Istana di mana kita adalah satu-satunya raja di sana, blahblahblah.. Gua sih kurang yakin deh, apa kita nggak bakal bosen ya? Man! Kita hidup di tempat itu selama-lamanya! Setelah 10.000 tahun, apa bakal semenyenangkan saat pertama?”.
“Mungkin ‘rasa bosan’ akan dihapus?”, Makaia mencoba.
“Buat gua, rasanya kok terdengar seperti ‘jalan pintas’ karena kurangnya kreatifitas dalam mempackage surga sebagai eternal amusement park ya?”.
“Akh kalo begitu mungkin surga itu ya.. sebebasnya keinginan kita ya? Gimana cara kita biar nggak bosen ‘selama-lamanya’ tinggal?”. Makaia menatap langit-langit. “Di seratus tahun pertama ay pengen jadi rockstar legendaris yang manggung sambil melayang, disaksikan penghuni surga lain. Seratus tahun berikut ay pengen menjalani petualangannya Frodo di Lord of the Rings! Terus..”.
“Oke.. oke..”, potong Danjuga. “Terus apa batesan-batesan dari keinginan liar kayak gitu?”.
“Ya nggak ada lah! Orang udah di surga, masih juga ada batesan, percuma dong beramal baik di dunia?”.
Danjuga lalu diam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa you?”.
“Ck,ck,ck.. jadi ini yang disebut ikhlas karena Allah?”, cibir Danjuga. “Gua curiga, jangan-jangan orang-orang alim itu bertaqwa & beramal saleh karena mengharapkan ‘yang nggak-nggak’ di surga kelak..”. Ia merubah suaranya, alisnya ia naikkan sedemikian rupa. “Ah, aku sih biar masih muda, nggak akan melakukan sex bebas kayak orang-orang sesat itu.. biar nanti aku bisa ngewe sepuasnya sama puluhan bidadari! Hiye-he-he-heh! Atau.. Ah, aku sih sering-sering ngasih sodakoh ke orang miskin, biar nanti dijadikan orang paling tuajirrr di seluruh surga! Atau.. kenikmatan duniawi sih aku jauhin, biar nanti di surga aku lampiasin gila-gilaan!”.
“Sumpah you najis banget tau nggak?”, ujar Makaia. “Emang gila you ya?”.
“Lu bilang nggak ada batesannya? Gua nggak ngebayang betapa chaosnya keadaan surga kalo begitu policy yang diterapkan..”. Danjuga kini mengerenyitkan dahinya seraya melanjutkan penggambarannya soal surga chaotic. “Gimana kalo ada yang pengen mindahin semua yang di neraka ke dalem surga? Gimana kalo ada yang iseng pengen surga hancur-lebur? Gimana kalo ada yang mau membunuh Tuhan?”.
“Stop!”, sembur Makaia. “Kebangetan you! Tuhan itu Maha Kekal! Dia nggak bisa dibunuh!”.
“Kalo ada yang minta dijadikan Tuhan? Dengan seluruh ciptaan alternatifnya sendiri?”.
“Oke! Surga ada bates-bates tertentunya deh!”.
Makaia tersengal meski bukan dia yang paling banyak bicara.
“Mak..”, ujar Danjuga pelan. “Maksud gua.. gimana seandainya, surga itu nggak seperti yang kita inginkan? Gua cuma mencoba melihat kenyataan bahwa imajinasi & keinginan manusia itu hampir nggak ada batasnya.. ada istilah ‘in your wildest dream’.. kita ini lebih rakus dari babi yang paling rakus, dan saat kita sampai di keadaan utopis di mana katanya semua keinginan dijanjikan akan terwujud, maka..”.
“Dear Lord Danjuga! Kalo kita sampai di surga kelak.. elemen-elemen buruk kita akan dihapus! Dan kita akan menjadi sebaik-baiknya keberadaan!”.
“Jadi kita akan kehilangan freewill kita? ‘onderdil’ kita akan dipereteli? Keluwesan kita akan dikurangi? Kita akan jadi malaikat?”.
“Nah!”.
“Kalo nanti lu masuk surga Mak.. lu pengen satu rumah sama siapa?”, tanya Danjuga.
“Ya sama keluarga ay lah!”.
“Yang akan lu jadikan permaisuri dalam istanalu siapa?”.
Makaia tersipu, yang terbayang dalam kepalanya sudah tentu mantan supernya.
“Yah.. Mungkin si Bilasaja..”.
“Itu kalo dia mau!”, kata Danjuga, membuat Makaia melotot. “Kalo dia maunya sama cowoknya yang sekarang gimana?”.
Kalau bukan dalam keadaan sadar, Danjuga sudah pasti dihajar wajahnya oleh Makaia.
Sudah biasa bagi Makaia, kalau Danjuga menanyakan sesuatu, lalu mementahkan jawaban apapun yang dilancarkan Makaia. Tapi kali ini Makaia menganggap Danjuga agak keterlaluan..
“Sekarang ay balik tanya sama you Dan!”, Makaia hampir sampai di batas sabar. “Maksud you apa nih? Kalo mau ngajak ribut yuk di luar! Baru juga kelar lebaran.. Gua curiga, jangan-jangan you yang lagi depresi karena ditinggal keluarga you pada mudik!”.
Danjuga berusaha keras menahan tawa, nyaris ia gagal.
“Makaia kawanku..”, ujarnya. “Gua cuman pengen ngajak lu mikir lagi lebih jauh.. karena mungkin saja, hasrat lu yang paling besar justru nggak terkabul.. Semua orang punya doa masing-masing, banyak di antara doa itu adalah permohonan untuk ‘disatukan’ kembali dengan mereka yang terkasih; Anak, istri, suami, orangtua, teman, kekasih.. lalu bagaimana kalo nggak ada keselarasan di antara keinginan-keinginan tersebut?”.
Makaia diam, amarah belum sebelumnya padam.
“Taro lah ada tiga jiwa perempuan surga yang pengen lu jadi suami surgawi mereka, terus siapa yang bakal memenangkan lu? Apa kau akan diduplikasi? Atau digilir? Atau akan diadakan sebuah sayembara memperebutkan Makaia? Gimana dengan keinginan si Makaia sendiri? Kalo kita akan jadi seperti malaikat flat yang nggak punya emosi, yah.. kemungkinan besar kita tak akan lagi menginginkan apa yang dulu kita mohon-mohon semasa hidup..”.
Makaia tersenyum nynyir seraya berkata, “Now! Membicarakan surga itu seharusnya menyenangkan! Tapi ngomongin surga sama you itu parah banget rasanya tau nggak? Bisa bikin orang terarah jadi atheis!”.
“Mungkin ada bagusnya juga sih.. Karena menurut gua, setulus-tulusnya manusia, salahsatu yang teratas adalah ketulusan para atheis! Mereka nggak mengaharapkan surga atau embel-embel pahala kala berbuat baik! “.
“Yeah.. mereka berbuat jahat karena nggak percaya ada neraka juga?”, timpal Makaia.
“Gua pikir lebih baik daripada berbuat jahat justru demi Tuhan & satu petak tanah di surga!”. Danjuga mengusap dahinya agak keras seperti sedang diserang nyeri. “Orang-orang yang mabuk dan merasa paling benar.. mereka yang bakal paling kecewa jika nanti masuk surga, saat ketemu lagi dengan orang-orang yang mereka kutuk, orang-orang yang ‘harusnya masuk neraka’.. Mereka bakal bilang, ‘Betapa tidak adilnya? Kenapa mereka masuk surga juga?’.. Aneh.. justru surga yang mereka idam-idamkan, menjadi neraka bagi hati & pikiran mereka yang tak puas..”.
“Dan..”, seloroh Makaia. “You bisa bikin orang takut buat masuk surga.. Orang takut mati sebagian karena takut neraka, siapa juga yang suka? Sebagian karena terlalu cinta dunia. Tapi kalau sampai orang takut mati karena khawatir surga mungkin malah akan ‘menyiksa’ mereka? Sepertinya nggak ada harapan ya?”.
“Well..”, Danjuga beringsut ke arah kipas angin listrik di dekat TV lalu menyalakannya. “Tak perlu khawatir lah.. yang penting kan nggak masuk neraka..”.
Angin menghembus rambut Danjuga.
“Yah.. kebanyakan orang pasti udah takut duluan sama neraka dan mikir seperti itu..’, sambung Makaia. “Mereka nggak bakal sempet lagi mempertanyakan seperti apa surga kelak?”.
Danjuga tertawa kecil lalu berkata, “Tau nggak kayak apa? Kayak gembel diciduk lalu dikasih pilihan; ‘Mau dipenjara atau ditempatkan di rumah susun pemerintah?’. Secara psikologis orang punya kecenderungan memilih yang kedua. Tapi seperti apa keadaan rumah susun yang dijanjikan?”.
“Beberapa orang bilangnya sih Dan; ‘Sudah, tak perlu tanya, ada hal-hal yang sebenarnya tak perlu kau pertanyakan!’… Payah tuh.. budak-budak ‘budaya bisu’..”.
“Masalahnya ya..”, sambung Danjuga lagi. “Ini bukan lagi masalah hidup & mati, ini masalah kita akan hidup selamanya di satu tempat.. Lu tau kan Mak, seperti apa yang disebut ‘selamanya’?”.
“Ya nggak ada ujungnya..”, jawab Makaia. “Teruuuuuuuuuuuuuuuuuuuuussssssssssssss……”.
“To be an immortal in this planet could be so much painful. But to live forever in an eternal sky where there’s no pain at all, could be even worse..”. Danjuga bersyair.
“We human, wasn’t build to live in such utopian state. And from any myths of our beginning, no one of them are conflictless. That’s not only because we do love conflicts, conflicts too, are within our blood from the very beginning..”, Makaia menyambung syair Danjuga.
“Akan sangat berbahaya..”, kata Danjuga. “Kalau makhluk mencinta konflik macam kita ditempatkan di sebuah lingkungan semacam surga, bisa rusak!”.
“Kan ay bilang sebelumnya, kalau kita bakal dijadikan sebagus-bagusnya makhluk!”.
“Hmm..”, Danjuga mengelus-elus dagunya. “Apa untuk jadi yang seperti itu harus dicelup ke neraka dulu? Pasang satu orang yang hampir sempurna menjalankan amalnya di dunia, dia udah punya free pass ke surga, tapi kan dia masih punya ‘bakat’ bosan, pikiran jahil.. apa kalo gitu artinya dia perlu dicelup juga di neraka sebelum masuk ke surga? Atau nanti aja lah, kalo pikiran-pikiran aneh itu muncul baru dicelup ke neraka?”.
Makaia tertawa.
“Mana ada yang kayak gitu! Udah masuk surga pake dicelup lagi ke neraka!”. Makaia geleng-geleng kepala, ia pikir Danjuga mungkin sudah mulai agak bodoh.
Dia tak tahu saja kalau itu jebakan batman.
“Yang dibersihin di neraka itu ya dosa-dodsanya.. tapi ‘pengurangan kemerdekaan’ mah itu udah otomatis!”.
Danjuga tersenyum, seketika Makaia sadar merasa ‘terjebak’. Hanya saja ia tak tahu terjebak soal apa.
“Kalo ‘penyucian’ otomatis itu bisa dilakukan..”, ujar Danjuga pelan menanjak. “Berarti keberadaan neraka tidak relevan lagi!”.
“Kenapa begitu?!”.
“Kalo yang calon surga bisa otomatis disucikan, kenapa yang calon neraka nggak otomatis disucikan juga? Itu Nggak adil. Menurut gua kalo udah begitu, maka menjalani masa hukuman di neraka sudah tidak diperlukan lagi. Kalo udah seperti malaikat, ngapain juga dihukum kan?”.
“Hey Danjuga!”, seru Makaia. “Bagaimanapun, dosa di masa hidup itu nggak hilang biarpun suatu jiwa sudah ‘dirubah’. Ibaratnya, seorang pembunuh boleh amnesia, tapi korbannya tetep mati kan? Apa dengan penghapusan ingatan, suatu tindak kejahatan bisa di-undo?”.
“Apa penyucian itu harus dilakukan hanya dengan penyiksaan?”.
“Wah-wah.. ini maksudnya apa ya?”.
Danjuga diam, ia duduk di karpet dengan kepala tertunduk. Butiran keringat perlahan muncul di dahinya.
“You kenapa you? Kayak tiba-tiba cepirit gitu?”, tanya Makaia khawatir. “Apa jangan-jangan busyet you?”.
“Busyet?”, tanya Danjuga.
“Dari bahasa Sunda, ‘busyiat’ artinya ‘sungguh-sungguh-trully berak di celana’!”.
Danjuga tertawa keras, dari keadaan gundah, Makaia menariknya mendadak ke suasana yang lain.
“Ya udah..”, ujar Makaia lagi. “Terus kenapa you begitu gundah e?”.
Danjuga menelan ludah seperti menelan gumpalan lumpur pekat.
“Ini lebih berat ngomongnya dari yang terbayang sebelumnya.. Seperti ngaku abis bunuh orang rasanya..”.
“Apa sih?”,tanya Makaia makin penasaran.
“Gua nggak percaya ada neraka..".
Makaia sulit untuk menganggap Danjuga serius ketika ia berkata tak percaya adanya neraka.
“Waktu SMA ay pernah kenal seorang anak yang berusaha keras untuk jadi edan..", ujar Makaia. "Segala macam yang aneh-aneh dia masukin ke paru-paru & perut, bahkan ke pembuluh darahnya. Ada pula yang berusaha keras jadi bad boy, memperbanyak jam terbang ribut, perawanin anak orang, sama kebut-kebutan. Satu lagi, ada yang berusaha keras untuk keliatan ‘edgy’, ada yang bilang dirinya atheis, ada yang hanyut sama Marilyn Manson dan bilang dirinya Anti-Kristus, ada yang bahkan memuja alien. Ay menemukan satu lagi model begitu tepat di depan ay, tapi dengan wujud orang dewasa..”. Makaia memegang bahu kiri Danjuga. “You nggak perlu bilang yang aneh-aneh untuk mendapatkan perhatian, lagian nggak usah ngomong apa pun you udah terlihat cukup aneh kok..”.
“Gua serius Mak..”. Danjuga menepis tangan Makaia dari bahunya. “Gila lu, ngapain gua cari perhatian dengan begini?”.
“Ya you stop lah ngomong yang nggak-nggak! Bentar lagi jangan-jangan you bilang kalo you bisex lagi? Atau malah bilang suka sama anak kecil?”.
“Kok lu menyetarakan perbedaan pandangan ekstrim dengan penyimpangan sexual? Bisex masih oke ya.. tapi fedofil?”.
“Jadi you serius? Nggak percaya surga & neraka?”.
“Hei! Gua percaya ada surga!”.
“Percaya surga tapi neraka nggak?”. Makaia bingung. “Doesn’t make any sense man!”.
“Oke, kalo nggak mau gua sebut surga, pakailah istilah lain; Nirwana atau keadaan Moksa!”.
Makaia diam, ia masih berusaha mencerna jalan pikiran Danjuga.
“Orang yang bilang nggak percaya Tuhan tapi takut sama setan tentu kedengeran lucu, tapi kita bisa saja percaya Tuhan tanpa percaya setan. Begitupula, menurut gua, nggak akan timpang meski kita percaya Tuhan tanpa percaya adanya neraka..”.
“Kenapa gitu?”, tanya Makaia. “Kan semuanya harus ada ‘keseimbangan’; jahat-baik, terang-gelap, surga-neraka..”.
“Terus lu mau menyandingkan Tuhan dengan siapa?”.
“God.. vs.. Satan?”.
Danjuga tertawa lebar.
“Itu sama sekali nggak sepadan Mak! Semua memang harus seimbang.. semua harus ada pasangannya, harus ada lawannya. Tapi kalo kita bicara ‘Tuhan’, kita akan mentok di situ.. karena Dia adalah absolut, Dia adalah ‘equilibrium’ itu sendiri!”.
Makaia mulai paham, itu terlihat dari matanya yang melebar.
“Satu orang pernah bilang ke gua, neraka harus tetap ada untuk menjaga keadaan equilibrium semesta. Tapi neraka suatu hari akan kehilangan fungsinya, kala semua ‘terpidana’ selesai menjalani masa hukuman. Lalu setelah itu apa? Karena bagi gua nggak mungkin Tuhan mampu menghukum satu jiwa pun dengan vonis ‘terbakar di neraka jahanam selama-lamanya..’”.
“Sebab Dia begitu Pengasihnya?”, sambang Makaia.
Danjuga mengangguk setuju.
“Dengar.. kalo lu perhatiin omongan gua yang jauh sebelum ini, gua pernah bilang, semua aktor akan diupah, meski itu peran antagonis sekalipun. Jangan bilang mereka cuma meninggalkan hal yang buruk dengan permainan peran tersebut, karena..”.
“Ya..”, ujar Makaia. “Mereka adalah para penggelap ‘kamar’..”.
“Kamar gelap tempat kita tinggal menunggu ‘Dia Sang Pembawa Lampu’..”, lanjut Danjuga.
“Tapi sori Dan..”, potong Makaia. “Ay tetep sulit menerima ‘ketiadaan neraka’.. Gimana mungkin kejahatan-kejahatan yang kadang ‘gila-gilaan’ itu nggak mendapatkan ganjaran yang pantas?”. Giginnya bergemeletuk, beradu antara geraham atas & bawah. “Sedikit terdengar seperti ‘peringanan pikiran’ bagi mereka yang terlalu takut membayangkan neraka, yang malas untuk beramal & membenarkan kelakuan buruknya hanya dengan menganggap; di akhir nanti cuma surga yang menunggu, Kita bisa melakukan seenaknya? Absurd!”.
“Nah, lu bisa bayangkan kan? Gimana jadinya kalo di dalam kitab suci cuma dijanjikan surga.. tanpa neraka untuk ‘rambu’ pengancam..”.
“Nggak Dan!”, Makaia seperti tiba-tiba meletup. “Tega-teganya you berpikiran seperti itu!”.
Danjuga terkejut.
“Bayangkan mereka yang anak perempuannya diperkosa di depan mata!”, luap Makaia. “Bayangkan mereka yang direnggut hak-haknya oleh pihak yang lebih berkuasa! Bayangkan teroris-teroris bedebah itu! Bayangkan seseorang yang seumur hidupnya menderita karena fitnah! Bayangkan genosida! Bayangkan para produsen & pengedar drugs! Bayangkan perasaan cewek you Yangpula, waktu tahu pacarnya dikeroyok & mati karena dadanya dihantam motor! You bisa ngomong gitu karena you nggak pernah ada di posisi mereka!”. Makaia menatap Danjuga tajam, sesaat ia merasa jijik dengan sahabatnya. “Jika Tuhan Maha Pengasih, Tuhan akan mengasihi mereka yang terzalimi dengan menghukum para pendosa itu dengan layak! Jika Tuhan masih mengampuni mereka, semoga Dia bisa mengampuni diriNya sendiri..”.
Makaia menyudahi kalimatnya dengan gemetar pelan di seluruh tubuh. Ia baru sadar sudah mengatakan hal yang tak terbayangkan.
“Astaghfirullah.. Ngomong apa ay barusan?”.
Danjuga menunggu beberapa saat, lalu tersenyum ke arah Makaia.
“Sejak awal, ini bukan cuma ‘seperti apa pendapat Danjuga’, tapi juga ‘bagaimana pendapat Makaia’. Karena masing-masing dari kita nggak akan benar-benar sama di kepala & di hati, meski seagama pun, apa masing-masing umat bakal seluruhnya sepakat sebegitu persisnya? Keimanan itu adalah suatu hal yang sangat pribadi, bahkan kadang.. terlalu pribadi untuk dibagi.. Tiap kita adalah self-centered bastards & self-centered bitches jika menyangkut yang namanya ‘iman’..”.
Makaia menerbitkan senyum, meski kecil, ‘bunyinya’ menggaung melingkungi ruang.
“Lu mau tau apa yang dibilang Yangpula soal para pengeroyok cowoknya dulu?”, tanya Danjuga ringan.
Makaia melempar pandang teduh.
“Suatu malam, di pelukan gua..”, Danjuga bercerita. “Yangpula menangis deras, dia bilang dia teringat sama pacarnya.. Dia mengeluhkan; “Betapa sulitnya untuk menjadi seorang yang kuat..”. Gua bilang, “Nggak perlu..”. Tapi Yangpula bersikeras, ia ingin menjadi orang kuat bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk dia yang telah pergi, ia bahkan ingin menjadi lebih kuat dari yang pernah ia pikirkan. Yangpula bersikeras, ia mendoakan para pengeroyok itu, agar Tuhan mengampuni dosa mereka, agar Tuhan melimpahi mereka dengan kebahagiaan, mengajari mereka cinta-kasih, agar mereka bisa mengajarkan itu pula kepada anak-anaknya kelak.. “.
Makaia terpaku setengah percaya mendengar cerita Danjuga tentang Yangpula. Sementara Danjuga tak tahan menahan air matanya.
“Kalo memang benar nggak ada yang namanya neraka, kalo lu nggak punya lagi alasan untuk takut..”, imbuh Danjuga. “Apa lu bakal melakukan kejahatan?”.
Makaia berpikir.
Selain neraka di ujung sana, apa lagi yang mencegah kita untuk melakukan keburukan?
Pertanyaannya.. apa kau mampu?
Tuhan Maha Pemaaf, itu sudah jelas, tapi apa kau mampu memafkan dirimu sendiri?
Danjuga percaya ketiadaan neraka, kenapa ia tak berbuat seenaknya?
Danjuga bukan orang yang takut dengan Tuhan, setelah kematian nanti, tak ada yang bisa menakutinya lagi, ia bukan orang yang takut, ia cuma orang yang bersyukur dan ingin terus bersyukur selama ia mampu. Bersyukur baginya adalah menjaga segala yang baik yang Tuhan limpahkan. Sederhana saja.
Suatu malam dalam hening ia pernah membayangkan, karena cuma itu yang bisa ia lakukan untuk menggambarkan sebuah adegan panjang, yang begitu indah, tentang bagamana semua ini berakhir..