Sabtu, 29 Agustus 2009

Eps.4# Danjuga & Makaia dalam: "Lihat ke Timur!"


Danjuga lumayan terkejut kala Makaia meneleponnya saat ia baru saja kelar sahur bersama keluarganya.

“Oh, ayolah Mak.. Subuh ini! Subuh!”.
“Nggak bisa!”, ujar Makaia lewat telepon. “You udah bikin ay nggak bisa tidur you! Buku you nih! Sial! Ay ke situ sekarang juga!”.

“Emang lu udah hatam? Cepet amat?”, tanya Danjuga.
“Belon sih, tapi.. ah, udah ah, ay ke situ pokoknya sekarang!”.

Danjuga pasrah, kalau Makaia sedang bersemangat, ia kerap tak berdaya. Kemarin sore ia meminjamkan temannya itu buku berjudul ‘Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama’ karangan Groenen Ofm, ia tak menyangka reaksi Makaia begitu cepatnya.

Makaia datang sambil membawa sebungkus oleh-oleh; martabak telur, sayangnya imsak baru saja lewat, jadi nongkronglah itu martabak di sudut dapur, mungkin jadi jengkel karena ‘dharma’nya belum bisa purna.

Makaia masih memburu sambungan obrolan soal cerita Nuh yang kemarin, bahwa cerita itu hampir seluruhnya serupa dengan kisah mitologi Sumeria dan Hindu. Ia menunjuk satu halaman buku Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, yang menjelaskan bahwa hikayat-hikayat yang menceritakan rentang antara awal dunia sampai moyang bangsa Ibrani/Israel, memang banyak diadaptasi dari kisah-kisah yang sudah ada sebelumnya, dan karena Ibrahim berasal dari Mesopotamia, maka cerita yang ada dalam Perjanjian Lama/Quran sangat dekat dengan mitologi/cerita rakyat di mana sang nabi berasal. Kenapa kisah Nuh pun mirip dengan kisah Manu di Agama Hindu? Mungkin karena peradaban Dravida pun lekat dengan peradaban Sumeria, itu dapat dilihat, sebagai contoh, dari bagaimana desain kota mereka yang mirip dengan desain kota-kota di Sumeria.

“Gua kira lu mau kasih tau gua sesuatu yang baru!”, ujar Danjuga jengkel.
Makaia menundukkan kepala. “Gimana ini? Kok seolah ceritanya hasil plagiat gini?”.
“Hmpf! Sama aja kayak gua pas tau pertama kali!”, seru Danjuga. “Kapalnya goyang kan? Hahaha!”.
“Jangan gitu dong you! Kasih ay penyegaran rohani dong!”.
“Setel aja tuh TV! Ada kuliah subuh!”.

Makaia lalu membuat ekspresi mengiba, sok menangis tanpa air mata.

“Hiks..”.
“Mak.. lu harusnya udah tau alasannya kenapa kisah-kisah yang udah ada sebelumnya diadaptasi kan? Alasannya sama kenapa dulu Quran disampaikan lewat bahasa Arab, 10 Perintah Allah juga dulu pasti disampaikan lewat bahasa Bani Israil, sama pula alasannya Sunan Kalijaga dulu dakwah lewat wayang kulit.. Biar gampang masuknya kan?”.

Makaia belum bergeming, ia butuh penjelasan lebih banyak.

“Kita harus bisa menerima kemungkinan yang nggak biasa Mak, ujung-ujungnya ya biar iman kita pun jadi lebih kuat dan matang. Sebelum Ibrahim memperkenalkan ‘konsep’ barunya soal Tuhan, pasti udah ada dong sistem kepercayaan masyarakat yang lebih tua dan lama, udah ada pula cerita rakyat yang lama, nah, cerita itu diadaptasi biar khalayak yang dituju lebih gampang nelennya!”.

“Tapi kan!”, potong Makaia. “Islam itu agama umat manusia sejak awal!”.
“Yang gampang Mak, anggep aja emang itu bener, bahwa islam ada sejak awal terus orang-orang pada ‘menyelewengkannya’. Itu kalo lu mau mikir yang gampangnya aja!”.

“Emangnya?”.
“Yang sebenernya kita kan nggak tau, kalopun bener ajaran Islam ada sejak awal keberadaan manusia, emang ada bukti tertulisnya? Masalahnya nggak ada! Nah, sejarah menuliskan tentang keberadaan Ibrahim 2000 tahun sebelum masehi, gua bisa bilang konsep dasar Islam muncul ya mulai dari situ!”.

Makaia diam, nampak tak puas.

“Tapi.. ada hal bisa bikin lu seger kayaknya..”.
Makaia langsung melotot, matanya berbinar. “Apa tuh?”, tanyanya semangat.
“Lu tau nggak perjalanan Yesus ke timur? Dari The Lost Years of Jesus karya Elizabeth Clare Prophet?”.
“Ha? Ke timur? Maksudnya? Apa hubungannya?”, Makaia bertanya beruntun.
“Jadi buku itu berisi bukti berupa data-data yang langka tentang periode tahun-tahun yang hilang dari Yesus, di Alkitab kan nggak disebutin ke mana aja dia sejak usia 13 tahun sampe 29 tahun? Dari cerita dia kecil, tau-tau loncat aja pas dia dewasa dan dibaptis oleh Yohanes. Nah, di buku itu disimpulkan kalo Yesus diperkirakan melakukan perjalanan ke timur; India, Nepal, Ladakh dan Tibet untuk belajar Buddhisme. ‘Isa diam-diam meninggalkan orang tuanya dan bersama dengan para pedagang Yerusalem menuju India untuk mempelajari hukum Buddha yang Agung..’, begitu yang disebutkan sebuah dokumen yang umurnya 1.500 tahun!”.

“Nab Isa belajar agama Buddha?!”, Makaia terkejut. “Kok?!”.
“Nabi Muhammad pun pernah bilang kan? Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina!”. Danjuga tersenyum, ia yang tadinya agak malas meladeni Makaia, kini ikut semangat. “Kalau kisah Yesus yan ini benar, maka.. patahlah anggapan orang bahwa ‘ajaran Allah’ hanya turun di Arab atau Timur-Tengah! Ajaran Tuhan turun ke segala penjuru bumi, salahsatunya adalah Buddhisme yang ternyata ikut menyumbangkan pengaruhnya dalam pembentukan fondasi Kristen, dan dengan ini pula..”.

“Islam!”, sambar Makaia.
“Hubungannya sama nabi Ibrahim Mak.. coba lu baca lagi kisahnya.. sebelum dia berdakwah, apa yang dia lakukan?”

Makaia mengingat-ingat.

“Oh! Dia ceritanya berkeliling mengamati alam, meminta petunjuk dari Allah!”.
“Proses ‘berkeliling’ Nabi Ibrahim itu.. apa mungkin cuman sehari-dua hari? Atau tahunan? Ke mana pula ia berkeliling? Sekitar Mesopotamia? Atau malah lebih jauh dari itu?”.

“Shit you Dan.. ow.. shit you Dan..”.
“Gua menemukan lagi beberapa kesamaan antara Islam-Yahudi-Kristen dengan dua agama tua lain, Zoroastrianisme dan Hindu-Brahman..”. Danjuga merendahkan tone suaranya. “Zoroastrianisme adalah agama monotheis, memuja satu Tuhan; Ahura-Mazda, sedangkan Brahman adalah penguasa tertinggi dalam konsep ketuhanan Hindu, Brahman bersifat kekal, imanen, tak terbatas, tak berawal dan tak berakhir, DIa menguasai segala bentuk, ruang, waktu, energi serta jagat raya dan segala isi yang ada dI dalamnya..”. Danjuga melanjutkan. “Waktu SMP gua pernah pinjem buku dari perpus, judulnya ‘Agama-Agama Besar Dunia.. Di situ disebutkan bahwa Brahman dipuja sebagai Sang Hyang Widhi; Dia Yang Esa atau Yang Tunggal.. diceritakan Brahman menciptakan Deva & Asura, Deva atau Dewa diciptakan dari cahaya, sedangkan Asura dari api..”.

“Oh my God!”, Makaia menutup mulutnya dengan empat jari tangan.
“Tenang Mak..”.
“Te-tenang apa Dan?”, tanya Makaia.
“Antara Ibrahim, Zarathustra & konsep Hindu-Brahman, ketiganya hampir sama tua..”.

Danjuga mengambil sehelai kertas dari meja kerjanya, lalu mulai menulis di hadapan Makaia.

“Coba kita liat nih..”.

Makaia memperhatikan dengan serius.

“Keberadaan Ibrahim dapat kita temukan di tahun 2000 sebelum masehi di Sumeria.. Zarathustra tercatat di 1700 tahun sebelum masehi.. dan Hindu-Brahman.. hmm.. kurang-lebih 1500 tahun sebelum masehi? Gua kurang yakin..”.

“Paling tua Nabi Ibrahim dong!”, Makaia nampak girang.
“Stop sampai situ kalo mau Mak..”, Danjuga tersenyum. “Gimana?”.
“Apa lagi yang bisa membantah kalo Ibrahim adalah yang pertama mengenalkan konsep monotheisme? Jelas dia paling tua!”. Ujar Makaia mantap. “Kalo you nggak punya bahan buat nyanggah, ya nggak usah maksa deh Dan! Ay curiga.. jangan-jangan emang hobi you bikin bingung ay!”.

“Kan biar seru Mak!”.

Makaia memonyongkan bibir seraya mencibir Danjuga.

“Ya deh..”, Danjuga garuk-garuk pipi. “Gua juga mentok sampe ke fakta bahwa salahsatu rumpun bangsa yang mengembangkan konsep-konsep monotheisme adalah para Proto Indo-Irani, mereka itu nenek moyangnya orang Persia dan Arya-India. Proto Indo-Irani berasal dari steppa Russia Selatan..”.

“Apa tuh? Nggak ngejelasin apa pun! Haha!”, ledek Makaia.
“Maksudnya ya, jadi bisa kita lihat bahwa mungkin akar konsep monotheisme yang mendasari Hindu-Brahman & Zoroastrianisme sudah ada sejak sebelum orang Arya sampe ke India dan orang Persia sampai di Mesopotamia.. bahwa monotheisme itu benar-benar konsep yang sangat kuno dengan awal yang belum bisa ditetapkan secara pasti..”.

Danjuga nampak bingung sendiri.

“Jadi kira-kira bisa disimpulkan bahwa peta perkembangan fondasi awal Islam..”, Makaia coba menambahkan. “Adalah Timur-Tengah dan Asia Tengah kan? Semitik dan Arya.. Gitu kan Dan?”.

“Gini nih kalo kita nelaah agama sambil melipir ke anthropologi.. Pusing!”.
“Agak bosen juga ay dengernya..”, Makaia menguap, lebar sekali.
“Tapi kan secara nggak sadar lu bisa menerima banyak hal lewat obrolan kita Mak, ye gak? Pikiranlu jadi bisa menjangkau area yang lebih luas dan luwes! Hehe..”.

“Lumayan.. Alhamdulillah Dan.. ay jadi terselamatkan dari ‘kemulukan’..”. Makaia menambahkan. “Bahkan nih.. Ay juga sempet kepikiran kalo Nabi Muhammad pun mungkin melakukan semacam ‘studi’, sebelum akhirnya ia pergi ke gua Hirah. Dia kan pedagang, dan Mekkah adalah kota yang sibuk, disinggahi banyak pedagang dari segala penjuru dunia, nggak mungkin kalo nggak ada yang namanya pertukaran nilai dari situ kan? Ada yang Nasrani, ada yang Buddha, Hindu, Zoroastrian, Pagan setempat atau asing, bahakan mungkin Taoisme dari Cina..”.

“Bukan berarti Quran nggak orisinil kan?”, goda Danjuga.
“Yang bilang begitu, harus baca Quran lagi Dan!”, seru Makaia pasti.

Makaia termenung, ia dengar pagi mulai menyambut seraya suara tukang-tukang sayur sibuk di depan rumah Danjuga. Kicau burung sahut-menyahut, terang jingga menyusup masuk bersama sepoi angin pelan. Hal-hal lazim, hal-hal kecil.. pula mengantarkan pesan Ilahiah.. Ia geli sendiri mengingat-ingat, betapa kadang ia sewot dengan adanya perbedaan, ia sewot juga saat muncul kesamaan-kesamaan.. Beberapa orang mungkin perlu memandang rendah yang lain agar merasa dirinya lebih baik sebagai perbandingan.. Ribut-ribut justru kerap terjadi di antara mereka yang banyak kesamaan; Islam-Nasrani-Yahudi, seperti tiga metromini dengan jurusan yang sama, kebut-kebutan berebut penumpang di jalanan..

Apa ajaran yang lebih sempurna menjamin bahwa orang yang memeluknya adalah yang lebih baik dari yang lain? Sementara tiap umat menganggap ajaran mereka adalah yang paling benar.. Siapa yang kafir? Kita adalah kafir bagi satu-sama-lain.. Atau sebenarnya, kita bisa memilih untuk memandang bahwa di luar segala perbedaan, sesungguhnya kita seiman?

Makaia memancing Danjuga lagi untuk berbincang, ia perlu masukan agar lebih yakin akan pendapatnya..

“Brahman adalah Sang Hyang Widhi..”, Danjuga memulai. “Kalo kita ngomongin Trimurti; Siwa-Brahma-Wisnu, gua sebagai Muslim melihatnya sebagai 3 peran Brahman.. Peran Brahma kala Dia mencipta, Peran Siwa kala Dia menghancurkan, Peran Wisnu saat Dia memelihara. Ketiganya adalah unsur utama dalam siklus semseta/kehidupan; kelahiran-perkembangan-han
cur lalu kembali lagi ke awal..”. Danjuga menggaruk punggung tangan kirinya. “Coba taruhlah seorang ‘Makaia’, kalo di rumah ia berperan sebagai ‘anak’, saat di kampus ia disebut ‘mahasiswa’, saat manggung ia disebut ‘personel band’, saat godain cewek di jalan dia disebut ‘mas-mas tengil’!”.

Danjuga tertawa, Makaia mengepalkan tangan, menggoyang-goyangkannya di udara.

“Kalo gua liat Katolik pun sama..”, lanjut Danjuga. “Adanya peran-peran Tuhan yang dicitrakan dari penyebutan-penyebutan keillahian yang berbeda di dalam ‘satu’..”.

“Kalo agama dengan dewa-dewi yang banyak gimana?”, tanya Makaia.
“Cara gua ngeliat itu sama aja Mak, itu adalah sebutan bagi peran-peran dari ‘Satu’.”. Danjuga mulai menarikan pensilnya lagi ke permukaan kertas. “Misalnya dalam satu agama ada dewi bumi, dewa matahari, dewa perang, dewa musik, dewa kematian dll.. Mirip gak sih sama 99 Nama Allah?”.

“Asma’ul Husna?”, tanya Makaia, belum mudeng.
“Ambil contoh 3 dari 99 deh.. ‘Maha Adil-Maha Pengasih-Maha Perkasa..’ seumpama nama itu masing-masing dipersonifikasi, maka mungkin jadinya seperti; ‘Dewi Keadilan-Dewi Cinta-Dewa Perang..’ 99 Nama Allah menjadi ‘99 Dewa-Dewi!’”.

“Shit you man.. Kok kedengarannya make sense ya meskipun ay tau you sotoy?”. Makaia mengusap-usap dahinya. “Tapi you kayak ngegampangin sesuatu!”.

“Ngapain lagi sih kita musti bikin perbedaan-perbedaan itu jadi ribet Mak, gua bilang; ‘cari benang merahnya, cari jalan tengahnya’!”.

Makaia terdiam, ia seperti tengah memikirkan sesuatu, pertanyaan selanjutnya..

“Kalo kepercayaan primitif?”, tanya Makaia, terdengar seperti pertanyaan jebakan. “Animisme, Dinamisme, Totemisme.. You mau jawab itu personifikasi peran juga?”.

“Lu pengen ngetes gua ya Mak?”.
“Udeh! Jawab! Hayouw!”.

Danjuga salting, biasanya di titik-titik seperti ini dia bisa menghisap rokok.

“Hmm.. Lu pernah nonton film tentang Columbus yang diperanin Gerard Depardeu nggak?”.
“Pernah..”, jawab Makaia. “Dia yang maen jadi Obelix di film Asterix juga kan? Emang napa dah?”.

“Ada adegan saat dia mendeskripsikan masyarakat Indian kepada Ratu Isabella dari Spanyol, dia bilang kira-kira begini..
Columbus : Orang-orang Indian itu hidup bertelanjang, masih seperti saat Tuhan menciptakan mereka
Isabella : Tuhan yang mana dulu nih?
Dan Columbus menjawab..
Columbus : Mereka melihat Tuhan di pepohonan, mereka melihat Tuhan di batu, di sungai, pada hewan-hewan di hutan. Mereka memujaNya lewat ciptaan-ciptaanNya..”.

“Wuiiih!!”, seru Makaia. “Lumayan!”.
“Dari pada Lu-manyun!”, balas Danjuga.

Eps.3# Danjuga & Makaia dalam: "Mukjizat Saos Tomat"


Siang baru saja lewat, di meja komputer, Danjuga asyik browsing, sementara kawannya, Makaia, selonjoran di karpet, nonton TV sambil makan gorengan, beberapa kali ia mendumal sendiri, akhirnya Danjuga sadar.

“Napa lu Mak?”, tanya Danjuga.
“Taik banget dah TV nih, terutama ya, TPI sama Indosiar! What the fuck man!”.
“Tapi tetep lu pantengin..”.
“Kadang-kadang asik juga sih, ngatain program-program sampah TV, sambil berasa pinteran dikit gitu man, tapi buseeeet! Nggak tau malu bener orang-orang ini! ‘Televisi Pendidikan Indonesia’, apa isinya orang dungu semua? Gantilah jadi ‘Televisi Pandir Indonesia’!”, cerocos Makaia.

“Lagi ada apa emang?”, tanya Danjuga ingin tahu.
“Ben 7! What the fuck! Ini lagi Indosiar, sejak Manohara, Titi kamal nggak lagi jadi TKW Arab, jadinya Malaysia! Ampun!”. Makaia mengecilkan volume TV lalu duduk bersila mengarah ke Danjuga, dengan wajah serius ia berkata, “Kalo suatu hari ay jadi tiran di republik ini, gua penggal-penggalin pala orang-orang ini! Nggak ketinggalan Aldi Taher sama Saipul Jamil! Pake piso mentega, rasain, 3 hari baru kelar eksekusinya!”.

“Kok dua-duanya suaminya Dewi Persik?”, tanya Danjuga geli.
“Kebetulan aja sih, tapi emang tuh cewek magnet laki-laki dari Saturnus mungkin!”. Makaia tersenyum sinis. “Apa coba bagusnya dua orang itu? Wah-wah.. oya, sama Eko Patrio juga sekalian!”.

“Ah udah ah!”, potong Danjuga. “Daripada ngomentarin orang nggak ada juntrungan, mending lu baca nih, Serial Detektif Partikelir Haryo di Facebook! Keren dah!”.

“Itu mah, ay udah baca Dan!”, ujar Makaia. “Kalo gua sukanya sama karakter asisten detektifnya..”.
“Kenapa dia?”, tanya Danjuga. “Nggak ngaruh gitu, tukang ngekor.”.
“Tapi dia bikin seger ceritanya man, hampir seluruh karakter di DPH itu gloomy semua!”.

Danjuga lalu mendendangkan potongan syair lagu ‘Gloomy Sunday’.

“Hiii! Stop you! Serem ah!”, seru Makaia. “Nggak tau you? Banyak orang bunuh diri abis dengerin lagu itu? Penyanyi aslinya aja konon, bunuh diri juga!”.

“Akh! Sotoy lu Mak!”, cibir Danjuga.
“Eh, ngomong-ngomong.. pacar you.. Yangpula, hari ini ke mari nggak Dan? Kok jadi jarang dah dia? Ada masalah you sama doi?”.

“Dia kan lagi skripsi Mak, sibuk.. emang kenapa lu nanya dia?”.

Makaia menyeringai.

“Dia kan jago buat skrip film Dan, ay punya ide nih! Idenya sci-fi gitu deh! Macam Indiana Jones, Tomb Rider, lalala!”.

Danjuga melirik. “Gimana ceritanya? Pasti aneh..”.
“Gua terinspirasi sama obrolan kita tempo hari, jadi ceritanya, dulu, pas Adam-Hawa diturunin ke bumi, ternyata Hawa masih nyimpen satu biji buah khuldi, yang terus dia tanem dan tumbuh di suatu tempat di bumi.. nah! Dari situ ceritanya di mulai, pencarian pohon buah terlarang yang menegangkan, penuh intrik dan tipu daya, juga action ala Michael Bay, orang-orang pada ngejar pohon itu karena dianggap bisa bikin dunia bertekuk lutut!”.

Danjuga cuma diam sebentar, lalu berujar pelan, “Mahal tuh kayaknya…”.

Makaia memble.

“Nggak seru you..”.
“Mending lu bikin novel aja dulu..”, imbuh danjuga. “Macam Da Vinci Code gitu, yah.. berdasar kisah-kisah Quran. Buku satu soal pencarian buah Khuldi, terus kisah Musa..”.

“Tunggu deh!”, potong Makaia. “Gua mendadak jadi kepikir, obrolan kita sebelumnya Dan, soal perumpaan dalam kitab suci..”.

“Yang ngelantur parah itu?”.
“Yoi! Ay belom tanya contoh bentuk perumpaannya apa aja!”, Makaia gemas. “Ada Quran nggak you?”.

Danjuga garuk-garuk kepala. “Di mana ya? Musti nyari dulu..”.
Makaia geleng-geleng. “Ngomongin isi Quran kayak ahli tafsir, tapi subjeknya aja musti nyari dulu entah di mana.. ckckck..”.

Danjuga tersipu. “Ya kita kan memposisikan diri sebagai orang awam, kecuali obrolan kita ini disiarin di TV, radio atau koran..”.

“Kalo internet?”, potong Makaia.
“Menurut gua internet bukan media massa ah..”.
“Ay pikir dia bisa jadi massa, bisa jadi nggak, yah.. jangan aja sampe kayak Prita gitu!”. Makaia bangkit dari duduknya. “Akh, sudahlah, jadi contoh perumpamaannya apa aja Dan?”.

Belum sempat Danjuga menjawab, Makaia sudah bertanya lagi.

“Apa semua nabi di Quran itu sama kayak Adam-Hawa?”.
“Maksud lu?”, Danjuga balik bertanya.
“Kan kata you mereka mungkin bukan individu-individu..”.
“Hmm.. menurut gua, semua yang digambarkan Quran sebelum Ibrahim bukan individu, tapi sejak Ibrahim, semua adalah tokoh nyata yang memang ada dalam sejarah.”.

Makaia mengangguk-angguk. “Karena mereka nggak disebut ya dalam sejarah?”.
“Maksud gua, dari Ibrahim, bukti keberadaan nabi-nabi itu pun bisa diambil juga dari sumber tertulis lain Mak, tapi bukan berarti tokoh-tokoh individu yang dianggap nyata ini bebas dari perumpaan..”.

“Maksudnya?”, tanya Makaia.
“Jangan bilang gua skeptis ya Mak, tapi gua pikir banyak penggambaran-penggambara mukjizat nabi-nabi Quran itu hanyalah analogi, misalnya Musa ‘membelah laut’, artinya ya ‘nyebrang’, bukan berarti lautnya bener-bener dibelah..”.

“Tapi Dan, mukjizat kan dibuat biar umat bisa liat kekuasaan Allah!”, Makaia protes.
“Dan nggak perlu seheboh itu juga kan? Dulu gua pernah bilang kalau mukjizat adalah keajaiban yang..”.
“Make sense!”, sambar Makaia.
“Gua liat di Youtube..", lanjut Danjuga. "Banyak video-video miracle kayak singa ngaum “Allah” lah, awan bentuk tulisan ‘Allah’, sampe noda saos tomat ngebentuk tulisan ‘Allah’, bayangin Mak, saos tomat! Lucu amat orang-orang itu.. Terus liat aja commentnya, perang man! Kata-kataan agama, antar Islam-Yahudi-Kristen, dan pembelaan dari orang Islamnya menurut gua malu-maluin, cuma menunjukkan kalo kita itu bodoh dan klenik.. akhirnya, gua juga ikutan nulis komen, bunyinya: ‘For me, a true God’s miracle is when all Moslems, Christians & Jews can live peacefully side by side!’”.

“Woo-hoow! Itu kayaknya lebih susah dari bikin laut kebelah tuh!”, komentar Makaia.
“Kan lu bilang Mak, kun fayakun! Kalo Allah mau semua bisa jadi dalam sekejap! Mukjizat Yesus bisa ngidupin orang mati, Dia bisa menciptakan jagat raya, bikin kita damai kayaknya nggak sesusah itu lah..”.

“Mungkin.. Allah belum pengen kita berdamai dengan Yahudi?”, ujar Makaia dengan wajah bodoh.

“Terus Dia pengen kita perang satu-sama-lain, bahwa Yahudi itu adalah ‘the ultimate nemesis of all Moslems?’, ckckck.. balik aja lu ke jaman batu! Terus kalo semua Yahudi sudah musnah, apalagi? Yang Kristen? Setelah itu? Kalo semua agama lain habis kita bantai, terus siapa lagi? Mau perang terus sampai mampus? Udah sifat jeleknya manusia, harus menciptakan ‘suatu musuh’ entah apa pun itu!”.

Danjuga tiba-tiba jadi emosi, sebelum dia nyerocos lebih kasar lagi, Makaia buru-buru membekap mulut Danjuga, tapi karena dia melakukannya saat Danjuga masih bicara, maka basahlah tangan Makaia.

“Ay ngerti Dan..”, ujar Makaia. “Dulu SD ay kan di sekolah Islam, terus suatu siang abis sholat Zuhur berjamaah, dipasanglah layar putih di arah kiblat, terus guru-guru ay muter video penembakan orang Palestina oleh tentara Israel, nah, orang sipil Israel nya pada ketawa-tawa ngeliatnya.. Serem banget nonton film itu. Dulu ay takut banget sama orang Israel yang di film, sekarang, ay justru ngeri ngebayangin.. ‘kok bisa-bisanya guru-guru itu masang video propaganda ke bocah SD, di dalam Mushola pula! Maksud ay, itu bukannya sama aja ya dengan; sekumpulan boca Tionghoa disosdorin video kerusuhan 98, yang isinya pemerkosaan, penjarahan, pembunuhan..”.

Danjuga mengusap dahinya yang berkeringat. “Gila.. Kita didoktrin sejak dini untuk membeci orang-orang yang nggak kita kenal..”.

“Gua juga sering bertanya-tanya..”, timpal Makaia. “Apa iya semua Yahudi jahat? Apa iya semua Malaysia benci kita? Kalau suatu hari kita ketemu seorang Yahudi di jalan gimana?”.

Danjuga & Makaia lalu bengong berdua beberapa saat.

“Kopi nggak Mak?”, tawar Danjuga.
“Sebenernya mungkin kita perlu gaur, tapi kopi yahud juga.”.
“Yahudi juga? Apa musti diaduk dengan kasar dan diseruput penuh amarah?”.

Mereka berdua tertawa keras.
Danjuga menyeduh kopi dua cangkir, kopi hitam untuk dirinya sendiri, sementara dengan krim untuk Makaia.

“Tau nggak Mak, dulu Paus ke berapa gitu, pernah mengharamkan kopi lho.”.
“Ha? Kenapa begitu?”.
“Katanya minuman setan, padahal sih lebih karena maksud ekonomi-politik, karena bisnis kopi dulu dipegang sama Kesultanan Ottoman Turki. Tapi Paus beberapa generasi setelahnya menghalalkan lagi, katanya ‘Sayang dong, minuman seenak ini kok diharamin!”.

Makaia tertawa, saat kopi krimnya sampai di hadapannya, ia pun berkata, “Kopi.. apa jadinya dunia tanpa you?”.

Mereka belum meminum kopi yang yang baru jadi sebab masih terlalu panas, maka Danjuga menawari Makaia rokok.

“Eh, lanjut lagi lah ke pembahasan intelek kita! Hahay!”, serunya sambil menghisap rokok. “Jadi banyak mukjizat nabi-nabi kita yang kemungkinan nggak sefantasi itu ya?”.

“Ya, bagaimana kalau penggambaran yang ‘heboh’ itu agar menandakan bahwa momen-momen yang disebut mukjizat itu memang benar-benar momen yang penting, yang inspiratif, sebagai bahan teladan bagi umat. Pasukan Abrahah yang musnah oleh burung-burung Ababil ketika mereka hendak menyerang Mekkah, Ismail yang digantikan oleh kambing pas bakal disembeleh bapaknya, dan lain-lain..”, Danjuga lanjut, “Mungkin saja itu mirip kalau kita bilang; ‘Anjing! Tadi gua jalan kaki dari Lebak Bulus siang-siang ampir mati rasanya!’, apa rasanya bener-bener kayak mau mati? Nggak juga kan? Atau.. ‘Panas banget tadi siang! Kulit gua sampe gosong gini!’”.

“Bener juga..”, timpal Makaia. “Seperti.. ‘Malam ini, bintang-bintang tersenyum padaku..’, atau ‘Tuhan menyentuhku dengan tanganNya, meredakan amarahku..’. Gitu kan Dan?”.

“Kira-kira begitu lah..”, Danjuga tersenyum. “Jadi kalo lu bilang gua skeptis, itu salah besar, gua cuma mau melihat segala mukjizat & keajaiban Tuhan dengan cara yang beda..”.

“Hmm..”, Makaia mengusap-usap dagunya. “Jadi nasib nabi-nabi pra Ibrahim gimana tuh?”.
“Yang gua paling banyak tau itu kisah Nabi Nuh!”.
“Kenapa dia?”.
“Gua pernah baca, bahwa ras Homo Saphien itu pernah hampir musnah, hampir saja kita semua nggak sampe ke mari!”.

“Masa’?”, Makaia heboh.
“Homo Saphien itu muncul kira-kira sejak 200.000 tahun sebelum masehi di Afrika Timur, di sekitar wilayah itulah, pernah terjadi bencana yang hampir memusnahkan seluruh moyang kita!”.

“Air bah!”.
“Kalo di buku itu dan video Walking With Caveman sih kekeringan parah Mak, tapi penggambaran ‘malapetaka’ sebagai ‘air bah yang menenggelamkan seluruh dunia’ bisa dengan tepat menggambarkan ‘betapa mengerikannya keadaan waktu itu’.”.

Makaia menyalakan satu rokok lagi, jantungnya berdebar mendengar cerita Danjuga.

“Setelah itu, Nuh beranak pinak, ia pun banyak disebut sebagai ‘bapak segenap ras manusia’. Seperti yang kita tau, dari Afrika Timur Homo Saphien menyebar ke segala penjuru bumi.”.

“Kalo dari Afrika, berarti moyang kita item ya? Hehe..”, canda Makaia.

Danjuga menggeleng, lalu menunjuk kulit lengannya sendiri.

“Kalo Adam-Hawa dan Nuh itu adalah individu, dapat hampir dipastikan kalo warna kulit dan mata mereka cokelat, dan rambut mereka hitam.”.

“Gila! Sotoy gila!”, cibir Makaia.
“Hee! Coba lah kau cari tau!”, seru Danjuga. “Yang gua dapet itu, bahwa kulit sawo itu adalah warna yang paling luwes, kalo sehitam orang Afrika, susah untuk bisa terang, dan kulit seputih bule susah juga untuk jadi gelap, nah, kulit warna sawo itu gerbang ke arah mutasi pigmen/warna kulit yang lebih beragam!”.

Makaia memandang Danjuga dengan tatapan curiga, jangan-jangan yang dikatakannya cuma omong kosong.

“Owwkeeyy.. ay percaya you..”.
“Balik ke Nuh, jadi, menurut gua cerita ‘Air Bah’ dan hasil penyusuran sejarah Homo Saphien itu nyambung.”.

Mata Makaia menerawang.

“Terpecahkan sudah rahasia sejak Adam-Hawa sampai Nuh!”, serunya bersemangat.
“Jangan mengklaim diri segitu takaburnya ah!”, ujar Danjuga mengingatkan.
“Tapi.. bagian kisah Nuh soal dia mengikutsertakan hewan-hewan berpasang-pasangan itu apa?”, tanya Makaia, Danjuga jadi salah-tingkah mendengarnya. “Kalo nggak tau nggak usah maksa buat jawab!”.

Danjuga tersenyum. “Emang dari kemaren gua tau bener/salahnya?”. Ia mengambil nafas lalu melanjutkan. “Bagaimana kalau begini.. bagian tentang hewan-hewan itu menggambarkan struggle nenek-moyang kita dulu dalam menyelamatkan diri, dan itu pasti berhubungan dengan lingkungan/alam sekitar mereka, karena keberadaan hewan-hewan adalah ‘kehidupan’, apalagi di masa belum dikenalnya sistem pertanian. Bagaimana perjuangan nenek-moyang kita yang mesti berbagi ‘ruang hidup’ dengan hewan sekitar di masa kekeringan, bukankah ‘seperti berdesak-desakkan dengan mereka di sebuah bahtera kayu nan rapuh, yang mengapung di tengah air bah tanpa ujung’?”.

“Ah!”, Makaia menghentak. “Bagaimana kalau begini? Pembangunan bahtera di atas gunung adalah penggambaran ‘cara baru’, yang bagi pandangan konvensional menyimpang, bisa saja ‘migrasi’, atau ‘penerapan teknik beternak’, yang bagi masyarakat sebelumnya, masyarakat pemburu, adalah hal yang aneh!”.

“Justru, penjinakkan hewanlah yang menyelamatkan sebagian nenek moyang kita dari kelaparan ganas!”, sambung Danjuga. “Atau justru memulai migrasi keluar malah bikin mereka lolos dari maut!”.

“Itu dia!”, sambut Makaia.
Danjuga takjub terhadap kawannya. “Mantep lu Mak!”.

Makaia menggaruk-garuk hidungnya, itulah yang ia lakukan kalau sedang malu-malu justru karena merasa keren.

“Sekarang ay tambah yakin kalau Quran memang made in heaven!”, seru Makaia pasti.

Danjuga memalingkan wajah sambil tersenyum malu, ia menggaruk kecil pipinya, menggoda Makaia, membuatnya perlahan-lahan jadi curiga, Danjuga memperlihatkan jelas kalau dia ingin mematahkan pendapat Makaia barusan.

“Apa?”, tanya Makaia.
“Apanya yang apa?”.
“Muke you! Apa-apaan tuh?”, Makaia menunjuk-nunjuk wajah Danjuga.

Danjuga diam sebentar, menarik nafas sambil memejam mata, lalu tersenyum.

“Setelah ini, gua yakin bakal abis dikatain sama lu Mak.. skeptislah, apalah.. lucu.. padahal dulu lu gua kira pemadat Mak..”.

Wajah Makaia makin nampak sebal. “Ay kira you dulu atheis, tapi ternyata you takut setan!”.

Danjuga tertawa.

“Ya udah, ay nggak bakal ngatain you skeptis deh! Jadi?”. Makaia tak sabar. “Apa yang mau you timpalin dari komentar bahwa Quran was made in heaven?”.

“Gua nggak mau nyalahin lu karena bilang begitu, yang gua nggak setuju itu, adanya pembedaan sepihak soal ‘agama langit dan agama bumi’, menurut gua harusnya hanya ada agama langit, atau semua agama adalah agama bumi sekalian!”.

“Karena?”, kejar Makaia.
Danjuga memandang Makaia sejenak tanpa berkata, sebelum, “Dulu, kenyataan yang gua dapet ini hampir bikin iman gua goyah Mak. Nyatanya ada banyak kesamaan kisah ‘Air Bah Nuh’ dengan beberapa kisah dari agama/kebudayaan lain, dan saking samanya, lu bisa jadi bertanya-tanya; ‘Ini siapa yang jiplak siapa ya?’”.

Makaia mengerenyitkan dahi.

“Ada banyak mitos kuno yang mengisahkan tentang ‘banjir’ atau ‘bah’, tapi gua ambil dari sekitar timur tengah dan sekitarnya ya..”, Danjuga lanjut. “Kita tahu kisah Nuh itu berasal dari daerah Kanaan/Palestina/Israel, akar budaya Ibrani yang nenek moyangnya bernama Ibrahim. Ibrahim sendiri, kita tahu dia dulu migrasi dari satu tempat bersama keluarganya menuju ‘tanah yang dijanjikan’, nah Mak, tempat asal Ibrahim itu di mana?”.

“Arab?”, Makaia asal tebak.
“Ibrahim nemu Arab dan bangun Ka’bah kan belakang-belakangan, yang katanya Ismail akhirnya menetap di situ..”.

“Yaudah.. jadi dari mana asal Ibrahim?”, tanya Makaia.
“Kampung asal Ibrahim itu katanya dari Sumeria, lebih spesifik lagi disebut suatu kota bernama Ur, pada masa kerajaan Babilonia sekitar tahun 2000 sebelum masehi, yang pasti agak dekat dengan pemerintahan Raja Hammurabbi..”.

“Yang terkenal dengan tablet hukumnya itu?”, sambar Makaia. “Hammurabbi yang itu?”.
“Yes! Dan kalo kita pelajarin gaya hukum dan agama orang Sumeria, ternyata banyak ada kesamaan dengan akar Taurat atau Perjanjian Lama, yang di kemudian hari jadi akar Quran pula!”.

“Taurat nyontek agama orang Sumeria?”, tanya Makaia heboh.
“Lu tuh ya Mak.. kadang-kadang suka kasar banget ya? Lu yang bakal bikin kita dipenjara karena tuduhan penistaan agama kayaknya..”.

“Abis.. you ngarahin ay ke argumen kayak gitu sih..”, ujar Makaia pelan.
“Biar lebih damai..”, imbuh Danjuga. “Pertama-tama kita harus meyakinkan diri dulu, bahwa sumber wisdom dari akar Taurat memiliki asal yang sama, asal dari langit seperti yang tadi lu bilang Mak, bahwa moyang awal kita di Afrika dulu pun sudah dilimpahi wisdom yang di kemudian hari melahirkan Taurat. Dan kita juga tau bahwa peradaban Sumeria dianggap sebagai peradaban tertua di dunia, dari situ kita bisa percaya bahwa ‘akar’ itu memang berkah.”.

“Ay bener-bener bingung, you ngomong muter-muter Dan!”.
“Gua nggak bisa mengungkapkan dengan bahasa ilmiah Mak, gua juga bingung sendiri nih..”.
“You mau bilang, apa yang dilakukan Ibrahim, mungkin adalah suatu ‘penyempurnaan’ atau ‘pengembangan’ agama Sumeria yang punya akar langit?”.

Danjuga nyengir. “Kira-kira seperti itu! Kata-kata ‘yang punya akar langit’ barusan, kalo diilangin jadi agak mengganggu kan buat lu Mak?”.

“Sudah pasti..”, ujar Makaia dengan mata memicing. “Terus mana cerita Sumeria yang mirip Nuh?”.

Danjuga memulai cerita pertama..

“Sumeria.. Alkisah, Dewa Enki menyampaikan pada Ziusudra, bahwa ia akan mengirimkan air bah ke bumi. Dewa Enki lalu memerintahkan Ziusudra untuk membangun bahtera, agar ia lolos dari petaka dan menjadi moyang dari manusia berikutnya. Setelah air bah reda, Ziusudra mempersembahkan kurban pada An, dewa langit, dan kepada Enlil, pemimpin para dewa. Di akhir cerita, Ziusudra diberkati kehidupan kekal di Dilmun, sebuah tempat yang dianggap surga di Bumi...”.

Makaia tercengan mendengarnya. “Anjrot! Mirip bangad!”.

“Next story.. came from later Sumerian text, mitologi dari Babilonia… Alkisah, Gilgamesh tengah mencari keabadian, ia mengejar seseorang yang bernama Utnapishtim di Dilmun. Utnapishtim lalu memberitahu Gilgamesh tentang rencana para dewa untuk melenyapkan seluruh kehidupan, bahwa Utnapishtim diperintahkan untuk membangun semacam bahtera, agar ia beserta keluarga, harta dan segenap hewan ternaknya bisa terselamatkan. Setelah air bah terjadi, para Dewa memberkati Utnapishtim dengan keabadian.

“Ah, kan Sumeria sama Babilonia emang nggak terlalu beda Dan, itu mah jelas warisan!”.
“Kalo peradaban Dravida di Pakistan tau nggak lu?”, tanya Danjuga.
“Ciaellah!”, seloroh Makaia. “Peradaban Dravida adalah peradaban pra Arya di India kan? Emang napa?”.

“Jadi.. disebutkan pula bahwa peradaban Dravida itu punya hubungan erat dengan peradaban Sumeria..”.

“Terus?”, tanya Makaia.
“Lu tau legenda ‘Manu’ nggak?”.
Makaia menggelang. “Legenda Hindu ya?”.
Danjuga mengangguk. “Kita mulai ya... Alkisah..”.
“Tunggu!”, cegah Makaia, ia lalu beranjak ke kulkas, menuangkan air dingin ke gelas dan meminumnya begitu nikmat. “Achhhh!”. Begitu selesai, ia buru-buru kembali ke karpet. “Lanjut!”.

“Alkisah.. seorang lelaki bernama Manu, suatu hari mencuci tangannya di tepi sungai, saat seekor ikan datang ke telapak tangannya, ikan itu memohon agar Manu tidak memakannya, agar nyawanya diselamatkan. Ikan itu bernama Matsya, yang sebenarnya adalah avatar/penitisan Wisnu yang pertama ke bumi. Manu kemudian menaruh Matsya di sebuah kendi, namun ikan itu membesar dengan sangat cepat dan nggak lagi muat di kendi, Manu pindahin ke bak, eh.. beberapa saat kemudian membesar lagi, karena udah nggak muat di bak, Manu memindahkan lagi Matsya ke sungai, ia bahkan membesar terus sampai Manu akhirnya harus memindahkan Matsya ke laut. Karena kerja keras dan kebaikan hati Manu, maka Matsya memperingatkannya soal air bah yang akan segera tiba, dengan itu Manu membangun bahtera. Saat banjir datang, Manu lolos dari malapetaka, bahkan ia dipandu oleh Matsya menuju puncak Himalaya, satu-satunya daratan yang tidak tenggelam, di mana kemudian, Manu menambatkan bahteranya di sana, menunggu air bah mereda. Manu adalah moyang manusia dalam Hindu, sama seperti Nuh buat kita..”

Makaia bengong mendengar cerita Danjuga.

Eps.2# Danjuga & Makaia dalam: "Sampul Belakang DVD"


Sambil memakai sarung, Danjuga sedang menukarkan uang dengan sebungkus rokok, siang lumayan terik membuat semua orang jadi salah tingkah. Dari belakang seseorang mendekat, Makaia rupanya.


“Dan!”, ujar Makaia terus mencolek pundak Danjuga, yang agak kaget melihat wajah Makaia yang sudah muncul sejak siang begini.

“Ay masih kepikiran sama pembicaraan kita kemarin..”.
“Yang mana nih? Yang soal Paul McCartney mati sejak lama, atau..”.
“Itu juga sih.. tapi maksud ay yang tentang Adam-Hawa & buah teralarang itu-tuh!”.
“Ooh.. iya, kenapa? Lu punya argumen pembantah? Atau mau nuntut gua karena menistakan agama? He, gua nggak mau ngedoktrin siapa pun lho ya, gua cuma berbagi!”.

“Takutan amat you? Ay juga tau, omongan you kemaren setengahnya pepesan kosong!”.

Keduanya terbahak, lalu segera memutuskan untuk masuk ke dalam rumah Danjuga. Di dalam, Makaia mengajukan pertanyaan tentang seberapa besar presentase analogi/perumpamaan yang terkandung dalam Quran.

“Sebelum itu, kita harus percaya dulu sama kitab sucinya, baru bisa lanjut..”, ucap Danjuga serius. “Ini berlaku juga soalnya, buat kitab-kitab suci dari agama lain. Nah, sebagai muslim, lu percaya sama Quran nggak?”.

Makaia membuat ekspresi meledek. “ya-iyalah ay! Malah ay meragukan you!”.

“Oke, lu percaya Quran sebagai?”
“Buku kebenaran!”, seru Makaia lantang. “Pegangan hidup, peta menuju surga..”.
“Yang di dalamnya berisikan segala ilmu dan rahasia di alam semesta?”, sambar Danjuga.
“Nah, yang entuh juga!”.
“Gua bisa bilang Mak, bahwa presentase analogi yang ada dalam Quran itu banyak banget! Gua nggak tau sih, tapi mungkin lebih dari setengah!”.

Makaia terdiam, matanya menatap Danjuga lekat.

“Kenapa begitu ya? Padahal kan Tuhan nurunin biar dia jadi pegangan hidup, tapi kok isinya analogi melulu?”.

“Bagaimana kalau begini…”
“Ay suka deh kalo you udah ngeluarin kata-kata itu..”, ucap Makaia merayu.
“Super gay..”, desis Danjuga. “Balik! Bagaimana kalau, Quran memang rangkuman dari hidup? Semua ada di situ, tapi lu nggak bisa cuma bergantung dari dia doang!”.

“Kenapa?”, tanya Makaia.

“Rangkuman tetep rangkuman Mak! Ibarat lu beli DVD, kan ada sinopsis di cover belakangnya kan? Nah, lu bisa tau secara besar ceritanya tentang apa dari situ, tapi tetep Mak, lu musti nonton filmnya sampe abis biar tahu endingnya kayak apa, dengan kata lain, lu musti jalanin juga hidupnya, dan dari situlah jawabannya bakal lu temukan, sekeping-demi-keping..”.

Makaia melenguh, “Kurang keren you hari ini, itu mah ay juga tau, masa’ iya ada orang yang kerjanya baca Quran mulu tapi nggak ngejalanin hidup?”.

“Maksud gua ya.. kalo lu patokannya sinopsis doang, terus nggak mau liat yang lain, yah.. payah deh.. padahal jelas pasti lebih ribet bikin film dibanding nulis sinopsis di belakang cover. Satu lagi, sinopsis juga memberikan semacam teasing element, entah bentuknya kata-kata hiperbola, atau kalimat-kalimat pengecoh.. Biar ke-twist kitanya gitu.. Yang tadinya dipikir baik ternyata buruk, yang tadinya buruk taunya baik, yang keliatannya keren banget ternyata mati di tengah dan nggak ngaruh amat-amat..”.

“Stop sampai situ you!”, Makaia mengangkat telapak tangannya. “You mau bilang kalau sebagian isi Quran adalah kebohongan? Kegep you sekarang!”.

“Mak.. jadi lu anggap Quran itu nggak ada celanya?”, tanya Danjuga pelan, matanya dingin. “Quran adalah kebenaran mutlak begitu? Darinya segala jawaban bisa terjawab?”.

“Y-ya-iya lah! Apalagi? Ay muslim!”.
“Apalagi lu tanya? Bagaimana dengan Tuhan?”.
“He?”. Makaia bingung.

“Bukankah Dia sumur dari segala kebaikan dan kebenaran. Sadar nggak sih, kalau beberapa orang itu sudah menyekutukan Allah dengan kitab suci mereka? Agama mereka?”.

Mendelik mata Makaia.

“Mereka yang menolak untuk melihat ke arah lain, mereka yang menganggap bisa memahami Tuhan hanya lewat perangkat-perangkat cerita, firman, ritual, agama, dan lainnya, adalah mereka yang membatasi diri dalam menggunakan anugerahNya, mereka itu cetek..”.

“Serem you Dan, you bikin ay scared man!”. Makaia gemetar.

“Yang bikin serem itu Mak, betapa pesona kitab suci kadang malah menjauhkan manusia dari Tuhan..”.
“Gimana bisa?”, tanya Makaia.

“Orang Islam, kayak lu misalnya, percaya bahwa Quran tidak pernah terganggu keasliannya, ia tetap murni sejak awal kan? Terus kita bilang.. Quran adalah kebenaran. Astaghfirullah.. kita sudah jadi sombong karenanya, dari situ kita mencela agama lain, betapa mereka tidak murninya.. kita sudah sombong Mak!”.

“Tapi dan.. Quran adalah kata-kataNya! FirmanNya!”, sanggah Makaia.

“Yang disampaikan lewat bahasanya manusia Mak, ‘bahasa’ yang kapasitasnya cuma seukuran bak mandi nggak akan bisa menampung ‘maksud ‘yang luasnya seperti samudera!”.

Danjuga menyalakan rokonya yang tadi baru dia beli.

“Gua mau bilang.. bahwa apapun yang dijatuhkan ke dunia manusia, mau tidak mau akan terkena hukum dualisme, negatif-positif, begitu pula dengan Quran.. Orang-orang itu bilang Islam dan Quran adalah mukjizat dan hadiah tanpa cela, seolah Islam tak bisa dan tak pernah menyumbangkan keburukan pada dunia. Sekarang gua tanya, berapa banyak hal baik yang diakibatkan lahirnya Islamnya Muhammad?”.

Makaia garuk-garuk. “Banyaklah..”.
“Salah lu! Jawabannya; luar-biasa banyak! Seakarang lagi, berapa banyak keburukan, efek dari adanya Islam?”.

Makaia terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Sama banyak.. tapi! Itu kan karena orangnya! Bukan agamanya!”.

“Iyalah Mak..”, kata Danjuga. “Kebaikannya juga emang siapa yang ngamalin? Kan orang-orangnya juga..”.

Makaia gugup, ia mulai mengigit kukunya.

“Gua mau bilang Mak..”, lanjut Danjuga. “Yang memiliki kemutlakkan terhadap kebenaran cuma Dia, nggak ada yang lainnya, bahkan jika itu adalah Quran..”.

“Dan.. jadi bimbang nih ay.. apa dong yang membuat Islam spesial dari agama lainnya?”.

Danjuga tersenyum, ia bangkit dari duduknya, pergi ke dapur untuk menyeduh dua cangkir kopi, kali ini, Makaia bisa menyeruput dari cangkirnya sendiri.

“Thanks man..”, ucap Makaia ketika kopinya datang.
“Hmm.. seseorang pernah bilang, tiada jalan selain Islam, Quran dan Hadist menuju surga, gua langsung nggak setuju, betapa nggak demokratisnya, padahal Allah sendiri Maha Demokratis!”, ujar Danjuga kesal. “Kalo nggak, dia pasti udah jadiin manusia seperti malaikat, nggak punya freewill sejak awal kan?”.

Danjuga menyeruput kopinya, Makaia mengikuti.

“Jadi kalo orang meluk selain Islam pun, bakal sama-sama kita juga dong nanti, di surga?”.
“Kalo iya kenapa? Bukannya menyenangkan ya? Sama-sama kita di surga, masa’ lu nggak seneng orang lain juga seneng? Together forever! Hahaha!”.

"Come together! Right now! Over me!", Makaia menyanyikan lagu the Beatles. "Eh! mampus gua! ntar mendiang Paul McCartney denger deh!".

Makaia & Danjuga masih berdiskusi, tentang Quran, wuih! Berat amat? Mereka lagi berbincang tentang kemungkinan adanya unsur analogi dan kemungkinan adanya unsur pengecohan dalam Quran.. Sensitif..

“Yah nggak Dan.. jadi berasa nggak sekeren itu aja deh ay!”.
“Kan tadi gua udah bilang, kadang-kadang bahkan agama jadi menjauhkan kita dari Tuhan, kita malah jadi menyombongkan diri, nah, itulah yang gua maksud dengan unsur pengecohan dalam kitab suci, bukannya kebohongan!”.

Danjuga berdehem, “Kita sok tau ya dari tadi?”.
“Kurang ilmu tapi belagak ngomongin topik yang berat-berat!”, sambung Makaia.
“Jadi.. mau distop aja apa gimana nih?”
“Ah! Udah! Lanjut aja! Persetan! Kita kan jagoan!”, Makaia tertawa. “Biar aja kita dibilang orang gila! Muhammad, Plato, Ibrahim, juga dulu dibilang edan dan meracuni pikiran, tapi lihat mereka sekarang!”.

“Yah.. nggak segitunya juga kali kita Mak!”.
“Nggak Dan.. kadang-kadang suka gedeg ay, sama serangan-serangan ke orang Ahmaddiyah!”.
“Kenapa?”.
“Orang-orang Islam itu seolah lupa sama asal mereka yang mungil, asal mereka yang tadinya di bawah banget, lihat perlakuan mereka terhadap orang Ahmaddiyah, persis perlakuan Quraisy kepada umat Islam awal di Mekkah!”.

“Anjrot! Bener juga lu!”, tanggap Danjuga. “Sama kayak orang Mesir ke Bani Israil jaman Musa, sama kayak bani Israil ke Yesus Ksritus juga..”.

“Nabi isa!”, koreksi Makaia.
“Apalah arti sebuah nama kawan..”.
“Hmm.. kalo diliat.. seringkali tokoh protagonis berubah jadi antagonis setelah mereka besar, setelah mereka jadi mayoritas.. Eh!”.

“Kenapa Mak?”.
“Jadi lupa tadi, terus apa dong spesialnya Islam?”.
“Kalo itu, tanyalah ke dalam diri lu sendiri, di situ kau akan menemukan jawaban.. kalo akhirnya lu nggak dapet apa menariknya.. ya pindah aja!”, canda Danjuga.

“Bisa dipenggal ay sama bokap-nyokap!”, seru Makaia.
“Wuih! Jadi itu alasan lu meluk Islam? Bokap-nyokaplu ternyata tuhannya?”.
“Sialan you! Tapi.. iya juga sih, ay Islam karena mereka Islam, kalo mereka Buddha, pasti ay juga ikut Buddha, tapi kok banyak banget yang pada belagu bilang Islam is the best padahal dari lahir udah Islam ya? Kayak nyari aja mereka!”. Makaia berpikir. “Nah! Pacar you, si Yangpula kan Katolik! Gimana tuh? Orang kayak you mah pasti entar ngikut agama cewek you ya? Hahaha!”.

“Deket juga jawabannya sama yang baru aja lu bilang.. Islam bagi gua memang warisan, dan meski bukan satu-satunya jalan bagi gua untuk menuju Tuhan, terus-terang gua suka agama gua, gua cinta, kalo gua punya mesin waktu, gua akan pergi ke zaman Muhammad dan mencium kakinya, tapi doi pasti nolak, karena itu dia anggap sebagai perilaku mempertuhankan, dan dia bakal bilang, ‘Ente mau jerumusin Ane ke neraka jahanam? Miskin inti Muslimah!’ Haha! Ya, bagi gua Islam adalah identitas diri gua, yang bakal gua bawa sampe mati!”.

Makaia berdecak.

“Kalo lu tanya siapa gua Mak, gua akan bilang; Saya Danjuga, seorang Muslim! seorang Indonesia! Seorang manusia! Dan aku akan mati dengan tangan tanpa ikatan!”.

“Jiyaellah! Yang terakhir liriknya Morissey!”, komentar Makaia. “Kita balik dong ke awal, tentang analogi dalam Quran!”.

“Ngelantur ya kita?”, canda Danjuga. “Hmm.. intinya, Quran itu menggunakan metode-metode advertising yang jenius!”.

“Nah lho?”, Makaia kaget. “Kok ngelantur lagi nih? ke advertising?”.
“Yoi Mak, dia turun awalnya dengan menggunakan bahasa setempat, dan isinya bisa klop banget! Masih relevan sampai sekarang, tapi pasti lebih relevan lagi dengan kondisi jaman di mana ia diturunkan! Terus..”.

Danjuga tiba-tiba batuk.

“Kebanyakan udut you!”, ledek Makaia. “Lanjut!”.
“Coba bayangkan kalo semua hal, rahasia dunia ditaruh di Quran plek-plekkan tanpa analogi dan penyingkatan gila-gilaan? Bakal setebal apa bukunya? Satu komplek perumahan tuh gedenya Quran!”.

Makaia geli membayangkan perkataan Danjuga.

“Dan betapa nggak enak dibacanya!”, sambung Danjuga. “Lu bayangin orang Arab jaman dulu disodorin tentang rumus fisika, kimia, matematika ple-plek, biologi, DNA ini-DNA itu, bahwa manusia berovolusi dari kera.. makin ditimpukin Nabi Muhammad dah! Apa itu? Nggak menarik! Bikin pusing! Mual-mual dah pada! Makanya pake banyak analogi yang enak dibaca, yang indah-indah..”.

“Shit! You’re right.. metode advertising jenius, penerapan teknik media literatur super!”. Makaia kagum. “Subhanallah..”.

“Tapi tetep..”, Danjuga menambahkan. “Quran tidak bisa dijadikan pegangan mutlak, kita kan dibekali dengan potensi imajinasi dan akal pikir yang besar toh? Kalo kita menyia-nyiakan itu, apa bukannya mubazir? Belajarlah dari mana saja, apa saja, kalo kata Mas Noey.. eh, itu kan namanya?”.

“Siapa?”, tanya Makaia.
“Vokalisnya Letto..”, jawab Danjuga.
“Oh anaknya Emha Ainun Najib? Emang dia bilang apa?”.

“Di majalah Rolling Stone dia pernah bilang.. ‘Kalo mau nyari sesuatu yang spiritual mah.. dari tai kambing pun, lu bisa dapet!’”.

Eps.1# Danjuga & Makaia dalam: "Adam, Hawa & Buah Terlarang"

Danjuga suatu ketika berkata pada Makaia, bahwa kini ia percaya betul dengan teori evolusi manusia, homo saphiens berasal dari bentuk yang lebih sederhana.

“Jadi menurut you kita bener turunan monyet?”, cibir Makaia.
“Kera?”, tanggap Danjuga. “Ya. Lu emang nggak?”.
“Ay milih lebih percaya sama Quran aja ah! Teori evolusi manusia bikin ay ngerasa nggak segitu kerennya lagi!”, ujar Makaia.

“Hei! Gua juga percaya sama Quran!”, seru Danjuga.
“Oheiiy! Pilih salah satu bru! Tabrakan tuh!”, balas Makaia. “Kecuali.. you anggap Adam-Hawa itu monyet!”.

“Nggak.. bukan begitu, itu terlalu kasar kawan..”, ujar Danjuga. Ia lalu menyalakan rokoknya dan menyeruput kopinya pelan. “Kalo lu terus nangkep apa yang ada di Quran secara mentah dan sempit, maka Quran akan terus kalah sama science yang punya modal pembuktian empiris! Iman memang bagus, tapi itu tidak cukup untuk membuat anak-anak kita kelak stay di agama kita ini.. dan seperti band tua yang nggak mau kehilangan penggemar dan terus pingin nambah penggemar baru, maka..”.

Air muka Makaia berubah kaget.

“Youuu!! Mau ngerubah-rubah kitab suci you?! Bid’ah you!”.
“Makaia.. kitab suci yang diturunkan Tuhan ke Muhammad itu udah paling bener menurut gua, tidak akan pernah perlu revisi atau koreksi.. yang harus diubah itu cara kita melihatnya, memahaminya..”.

Makaia mengerutkan kening, ia masih curiga pada Danjuga.

“Bayangkan kemajuan iptek di masa anak-cucu kita kelak.. jika ada bukti lebih banyak lagi bahwa manusia memang keturunan kera, lalu kau mau bagaimana? Kekeuh sambil teriak-teriak dengan Quran di tangan? Percuma..”.

Danjuga menyeruput kopinya lagi.

“Coba cari benang merah antara kisah Adam-Hawa dengan teori evolusi manusia empirik..”.

Makaia berpikir, agak lama, lalu menjawab. “Dari surga Adam-Hawa turun, mereka lalu bertemu dengan manusia-manusia kera, keturunan mereka berperang, manusia kera musnah.."

“Itu sudah bagian yang ke berapanya tauk!”, potong Danjuga. “Jadi lu masih percaya kalau manusia turun dari langit? Bahwa manusia berasal dari tempat asing? Bukan dari bumi ini? Nggak make sense!”.

“Namanya mukjizat Tuhan bru! Kun fayakun! Lagipula keren banget kan kalo bener?”. Seru Makaia.

“Buat gua yang namanya mukjizat itu adalah keajaiban-keajaiban yang make sense! Dan nggak ada keajaiban yang lebih indah daripada keajaiban yang make sense.”.

“Ha?”, Makaia bingung. “Ngomong apa you?”.
“Bagaimana jika sebenarnya seperti ini.. Adam dan Hawa bukanlah pencitraan dari individu-individu, melainkan personifikasi dari sebuah fase/masa/kondisi..”

“Maksudnya?”.
“Lu inget nggak kata-kata guru agama kita dulu? Bahwa yang namanya utusan Tuhan atau nabi itu bukan Cuma dari golongan manusia, tapi juga tanda-tanda alam..”.

“Lha terus?”
“Jadi suatu kondisi/fase yang bernama Adam-Hawa bisa dianggap nabi atau utusan Tuhan untuk memberi kita petunjuk betapa hebatnya Dia..”.

Makaia makin bingung, kini ia yang menyalakan rokok dan menyeruput kopinya Danjuga.

“Adam-Hawa ada di surga sebelum turun ke bumi kan?”, Tanya Danjuga.
“Semua juga tau, itu macam pertanyaan yang nggak perlu dijawab ya?”
“Sekarang gimana kalo surga yang disebut dalam Quran bukanlah surga secara fisik, namun penggambaran dari sudut pandang/persepsi?”.

Makaia mengangkat telapak tangannya, ia berkata.. “Manusia hidup dalam dunia asumsi..”.

“Itu kata-katanya Itachi Uciha pas mau berantem sama Sasuke kan?”, Tanya Danjuga sambil nyengir. “Gua tanya nih sama lu.. Sudut pandang seperti apa yang bisa dianggap sebagai sudut pandang surga? Sudut pandang tanpa beban, sudut pandang bebas hanya berdasarkan insting, tanpa tetek-bengek, tanpa masalah kompleks seperti duit, kekuasaan, blahblahblah...”.

“Idiih… itu nggak boleh tuh kalo you lagi wawancara penelitian.. pertanyaan yang diarahkan!”, protes Makaia. “Ya, gua tau maksud you apa, ay juga sering ngarep jadi burung, bisa terbang bebas ke manapun, atau jadi kelinci, ngewe di manapun, kapanpun, atau jadi laron, hidup singkat, mati setelah puas menikmati cahaya… MATI SETELAH PUAS MENIKMATI CAHAYA! Anjrot! Keren tuh buat lirik lagu!”.

“Betul kawanku Makaia, gua setuju, sudut pandang surgawi adalah sudut pandang hewan: bentuk yang lebih sederhana dari manusia..”.

“Hmm..”, Makaia menggaruk dagunya. “Adam-Hawa berada di sudut pandang surgawi sebelum turun ke bumi.. Dari hewan, lalu ke ‘bumi’ sudut pandang manusia..”.

“Dan tiba-tiba saja, semua jadi berbeda bagi Adam-Hawa, nggak lagi senyaman dulu, semua kok sekarang apa-apa ribet ya?”, balas Danjuga.

“Soalnya kepala mereka yang sekarang berubah, jadi makin rumit!”, sambung Makaia lagi.
“Terus Mak, apa yang membuat Adam-Hawa diturunkan ke bumi?”
“Tiada yang lain lagi selain buah terlarang itu! Buah Khuldi?”
“Dan apakah itu Buah Khuldi?”
“Jakun! Hahaha!”.
“Susah-susah nungguin Firman Tuhan, terus para nabi itu dapet riwayat soal kenapa cowok berjakun?”.

“Becanda ay Dan! Hmm.. Buah Khuldi itu penggambaran soal nafsu seks dan perut! Hahaha!”.
“Binatang lain juga punya, itu mah basic instinct atuh Mak! Kalo nggak ada, bumi tak akan berputar!”.

“Terus apa dong?”, tanya Makaia.
“Apa yang nggak dipunya hewan lain selain manusia?”.
“Akal pikiran? Itu Buah Khuldi?”.
“Kalo akal pikiran, manusia kera juga udah punya! Menurut gua buah Khuldi adalah.. imajinasi!”.
“Jadi sebenernya Buah Khuldi itu nggak ada?”, tanya Makaia. “Itu kenapa you sebut dia sebagai imajinasi?”

Danjuga & Makaia membicarakan soal Buah Khuldi. Saat Danjuga mengatakan bahwa menurutnya Buah Khuldi adalah imajinasi, Makaia protes, ia berpikir mungkin Danjuga temannya memang sudah skeptis terhadap Quran.

“Bukan gitu!”, sanggah Danjuga. “Maksud gua bukan Buah Khuldi adalah imajinasi, tapi dia adalah perumpaan dari kemampuan kita melihat apa yang tak terlihat, membaca apa yang tak terbaca, menyimbolkan sesuatu!”.

“Imajinasi adalah hal yang bagus Dan! Kenapa dia membuat Adam-Hawa dihukum turun ke bumi?”.

Danjuga menyeringai. “Mak, gua nggak melihat itu sebagai hukuman, karena memang sejak awal Tuhan bilang kan? 'Aku akan menjadikan manusia sebagai khalifahKu di bumi-mi-mi!'”.

“Kurang ajar you, pake echo segala..”.
“Yah maksud gua kurang lebih di Quran Allah berkata demikian lah! Berarti konspirasi setan membujuk Hawa pun sudah diatur! Bingung nggak lu? Nggak mungkin Tuhan kecolongan ada setan nyusup ke surga!”.

“Pas diturunin ke bumi palingan Adam mikir: Lha? Gini doang? Ini mah dari awal juga gua udah tau bakal diturunin jadi khalifah! Hahaha!”. Makaia terkakak keras, padahal barusan dia protes waktu Danjuga bikin echo suara Tuhan.

"Di Discovery Channel..", lanjut Danjuga. "Pernah ada program soal evolusi manusia, Walking With Cavemen, di narasi akhir dikatakan bahwa bahan terakhir penciptaan manusia, dalam hal ini Homo saphien, adalah imajinasi! Itulah mengapa kita bisa berkesenian, melihat awan kok mirip kelinci, merancang suatu penemuan, bahkan mencitrakan Tuhan dengan gambar, sebutan nama, dan lain-lain! Itulah hal yang bikin kita paling berbeda dari yang lain! Karena imajinasi nyatanya merangsang dan mempengaruhi jalannya hal-hal lain yang ada dalam diri kita, dari yang basic-basic, sampai akal-pikiran kita tadi!".

“Nah..”, lanjut Danjuga. “Kalo kita baca Kartun Riwayat peradaban jilid 2 dan buku Mapping Human, kita tau bahwa seluruh homo saphien itu berasal dari satu perempuan, kromosom bahan baku manusia perempuan yang ada duluan, baru abis itu kromosom cowok..”.

“Padahal yang diciptain duluan Adam ya?”
“Tapi..”, Danjuga mengangkat telunjuknya. “Yang makan Buah Khuldi siapa duluan coba?”.
“Shit!”.
“Yes dear friend! It was our mother Eve!”.

Makaia tergagap sebelum akhirnya ia bisa mengeluarkan kalimat, “Mereka berdua dipisahkan begitu sampai di Bumi.. mungkin bukan jauh dalam artian tempat, tapi dalam artian waktu!”.

Danjuga tersenyum mendengar kawannya itu paham apa yang ia pikirkan.

“Subhanallah..”, ucap Danjuga pelan.
“Si Boss memang keren.. super keren! Gua jadi pengen ngulik-ngulik Quran lagi nih!”.
“Ngobrol sama gua bisa bikin lu saleh Mak! Hahaha!”.

Makaia belum percaya dengan pikiran Danjuga, sementara Danjuga sendiri tidak punya maksud untuk mempengaruhi orang lain, ia cuma ingin berbagi. Ia sendiri sadar apa yang ia pikirkan belum tentu hal yang paling benar, ia tahu, bahwa ini adalah proses dalam pencariannya terhadap Sang Pencipta, tempat di mana suatu hari nanti ia akan pulang dan mendapat jawabannya.