Danjuga lumayan terkejut kala Makaia meneleponnya saat ia baru saja kelar sahur bersama keluarganya.
“Oh, ayolah Mak.. Subuh ini! Subuh!”.
“Nggak bisa!”, ujar Makaia lewat telepon. “You udah bikin ay nggak bisa tidur you! Buku you nih! Sial! Ay ke situ sekarang juga!”.
“Emang lu udah hatam? Cepet amat?”, tanya Danjuga.
“Belon sih, tapi.. ah, udah ah, ay ke situ pokoknya sekarang!”.
Danjuga pasrah, kalau Makaia sedang bersemangat, ia kerap tak berdaya. Kemarin sore ia meminjamkan temannya itu buku berjudul ‘Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama’ karangan Groenen Ofm, ia tak menyangka reaksi Makaia begitu cepatnya.
Makaia datang sambil membawa sebungkus oleh-oleh; martabak telur, sayangnya imsak baru saja lewat, jadi nongkronglah itu martabak di sudut dapur, mungkin jadi jengkel karena ‘dharma’nya belum bisa purna.
Makaia masih memburu sambungan obrolan soal cerita Nuh yang kemarin, bahwa cerita itu hampir seluruhnya serupa dengan kisah mitologi Sumeria dan Hindu. Ia menunjuk satu halaman buku Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, yang menjelaskan bahwa hikayat-hikayat yang menceritakan rentang antara awal dunia sampai moyang bangsa Ibrani/Israel, memang banyak diadaptasi dari kisah-kisah yang sudah ada sebelumnya, dan karena Ibrahim berasal dari Mesopotamia, maka cerita yang ada dalam Perjanjian Lama/Quran sangat dekat dengan mitologi/cerita rakyat di mana sang nabi berasal. Kenapa kisah Nuh pun mirip dengan kisah Manu di Agama Hindu? Mungkin karena peradaban Dravida pun lekat dengan peradaban Sumeria, itu dapat dilihat, sebagai contoh, dari bagaimana desain kota mereka yang mirip dengan desain kota-kota di Sumeria.
“Gua kira lu mau kasih tau gua sesuatu yang baru!”, ujar Danjuga jengkel.
Makaia menundukkan kepala. “Gimana ini? Kok seolah ceritanya hasil plagiat gini?”.
“Hmpf! Sama aja kayak gua pas tau pertama kali!”, seru Danjuga. “Kapalnya goyang kan? Hahaha!”.
“Jangan gitu dong you! Kasih ay penyegaran rohani dong!”.
“Setel aja tuh TV! Ada kuliah subuh!”.
Makaia lalu membuat ekspresi mengiba, sok menangis tanpa air mata.
“Hiks..”.
“Mak.. lu harusnya udah tau alasannya kenapa kisah-kisah yang udah ada sebelumnya diadaptasi kan? Alasannya sama kenapa dulu Quran disampaikan lewat bahasa Arab, 10 Perintah Allah juga dulu pasti disampaikan lewat bahasa Bani Israil, sama pula alasannya Sunan Kalijaga dulu dakwah lewat wayang kulit.. Biar gampang masuknya kan?”.
Makaia belum bergeming, ia butuh penjelasan lebih banyak.
“Kita harus bisa menerima kemungkinan yang nggak biasa Mak, ujung-ujungnya ya biar iman kita pun jadi lebih kuat dan matang. Sebelum Ibrahim memperkenalkan ‘konsep’ barunya soal Tuhan, pasti udah ada dong sistem kepercayaan masyarakat yang lebih tua dan lama, udah ada pula cerita rakyat yang lama, nah, cerita itu diadaptasi biar khalayak yang dituju lebih gampang nelennya!”.
“Tapi kan!”, potong Makaia. “Islam itu agama umat manusia sejak awal!”.
“Yang gampang Mak, anggep aja emang itu bener, bahwa islam ada sejak awal terus orang-orang pada ‘menyelewengkannya’. Itu kalo lu mau mikir yang gampangnya aja!”.
“Emangnya?”.
“Yang sebenernya kita kan nggak tau, kalopun bener ajaran Islam ada sejak awal keberadaan manusia, emang ada bukti tertulisnya? Masalahnya nggak ada! Nah, sejarah menuliskan tentang keberadaan Ibrahim 2000 tahun sebelum masehi, gua bisa bilang konsep dasar Islam muncul ya mulai dari situ!”.
Makaia diam, nampak tak puas.
“Tapi.. ada hal bisa bikin lu seger kayaknya..”.
Makaia langsung melotot, matanya berbinar. “Apa tuh?”, tanyanya semangat.
“Lu tau nggak perjalanan Yesus ke timur? Dari The Lost Years of Jesus karya Elizabeth Clare Prophet?”.
“Ha? Ke timur? Maksudnya? Apa hubungannya?”, Makaia bertanya beruntun.
“Jadi buku itu berisi bukti berupa data-data yang langka tentang periode tahun-tahun yang hilang dari Yesus, di Alkitab kan nggak disebutin ke mana aja dia sejak usia 13 tahun sampe 29 tahun? Dari cerita dia kecil, tau-tau loncat aja pas dia dewasa dan dibaptis oleh Yohanes. Nah, di buku itu disimpulkan kalo Yesus diperkirakan melakukan perjalanan ke timur; India, Nepal, Ladakh dan Tibet untuk belajar Buddhisme. ‘Isa diam-diam meninggalkan orang tuanya dan bersama dengan para pedagang Yerusalem menuju India untuk mempelajari hukum Buddha yang Agung..’, begitu yang disebutkan sebuah dokumen yang umurnya 1.500 tahun!”.
“Nab Isa belajar agama Buddha?!”, Makaia terkejut. “Kok?!”.
“Nabi Muhammad pun pernah bilang kan? Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina!”. Danjuga tersenyum, ia yang tadinya agak malas meladeni Makaia, kini ikut semangat. “Kalau kisah Yesus yan ini benar, maka.. patahlah anggapan orang bahwa ‘ajaran Allah’ hanya turun di Arab atau Timur-Tengah! Ajaran Tuhan turun ke segala penjuru bumi, salahsatunya adalah Buddhisme yang ternyata ikut menyumbangkan pengaruhnya dalam pembentukan fondasi Kristen, dan dengan ini pula..”.
“Islam!”, sambar Makaia.
“Hubungannya sama nabi Ibrahim Mak.. coba lu baca lagi kisahnya.. sebelum dia berdakwah, apa yang dia lakukan?”
Makaia mengingat-ingat.
“Oh! Dia ceritanya berkeliling mengamati alam, meminta petunjuk dari Allah!”.
“Proses ‘berkeliling’ Nabi Ibrahim itu.. apa mungkin cuman sehari-dua hari? Atau tahunan? Ke mana pula ia berkeliling? Sekitar Mesopotamia? Atau malah lebih jauh dari itu?”.
“Shit you Dan.. ow.. shit you Dan..”.
“Gua menemukan lagi beberapa kesamaan antara Islam-Yahudi-Kristen dengan dua agama tua lain, Zoroastrianisme dan Hindu-Brahman..”. Danjuga merendahkan tone suaranya. “Zoroastrianisme adalah agama monotheis, memuja satu Tuhan; Ahura-Mazda, sedangkan Brahman adalah penguasa tertinggi dalam konsep ketuhanan Hindu, Brahman bersifat kekal, imanen, tak terbatas, tak berawal dan tak berakhir, DIa menguasai segala bentuk, ruang, waktu, energi serta jagat raya dan segala isi yang ada dI dalamnya..”. Danjuga melanjutkan. “Waktu SMP gua pernah pinjem buku dari perpus, judulnya ‘Agama-Agama Besar Dunia.. Di situ disebutkan bahwa Brahman dipuja sebagai Sang Hyang Widhi; Dia Yang Esa atau Yang Tunggal.. diceritakan Brahman menciptakan Deva & Asura, Deva atau Dewa diciptakan dari cahaya, sedangkan Asura dari api..”.
“Oh my God!”, Makaia menutup mulutnya dengan empat jari tangan.
“Tenang Mak..”.
“Te-tenang apa Dan?”, tanya Makaia.
“Antara Ibrahim, Zarathustra & konsep Hindu-Brahman, ketiganya hampir sama tua..”.
Danjuga mengambil sehelai kertas dari meja kerjanya, lalu mulai menulis di hadapan Makaia.
“Coba kita liat nih..”.
Makaia memperhatikan dengan serius.
“Keberadaan Ibrahim dapat kita temukan di tahun 2000 sebelum masehi di Sumeria.. Zarathustra tercatat di 1700 tahun sebelum masehi.. dan Hindu-Brahman.. hmm.. kurang-lebih 1500 tahun sebelum masehi? Gua kurang yakin..”.
“Paling tua Nabi Ibrahim dong!”, Makaia nampak girang.
“Stop sampai situ kalo mau Mak..”, Danjuga tersenyum. “Gimana?”.
“Apa lagi yang bisa membantah kalo Ibrahim adalah yang pertama mengenalkan konsep monotheisme? Jelas dia paling tua!”. Ujar Makaia mantap. “Kalo you nggak punya bahan buat nyanggah, ya nggak usah maksa deh Dan! Ay curiga.. jangan-jangan emang hobi you bikin bingung ay!”.
“Kan biar seru Mak!”.
Makaia memonyongkan bibir seraya mencibir Danjuga.
“Ya deh..”, Danjuga garuk-garuk pipi. “Gua juga mentok sampe ke fakta bahwa salahsatu rumpun bangsa yang mengembangkan konsep-konsep monotheisme adalah para Proto Indo-Irani, mereka itu nenek moyangnya orang Persia dan Arya-India. Proto Indo-Irani berasal dari steppa Russia Selatan..”.
“Apa tuh? Nggak ngejelasin apa pun! Haha!”, ledek Makaia.
“Maksudnya ya, jadi bisa kita lihat bahwa mungkin akar konsep monotheisme yang mendasari Hindu-Brahman & Zoroastrianisme sudah ada sejak sebelum orang Arya sampe ke India dan orang Persia sampai di Mesopotamia.. bahwa monotheisme itu benar-benar konsep yang sangat kuno dengan awal yang belum bisa ditetapkan secara pasti..”.
Danjuga nampak bingung sendiri.
“Jadi kira-kira bisa disimpulkan bahwa peta perkembangan fondasi awal Islam..”, Makaia coba menambahkan. “Adalah Timur-Tengah dan Asia Tengah kan? Semitik dan Arya.. Gitu kan Dan?”.
“Gini nih kalo kita nelaah agama sambil melipir ke anthropologi.. Pusing!”.
“Agak bosen juga ay dengernya..”, Makaia menguap, lebar sekali.
“Tapi kan secara nggak sadar lu bisa menerima banyak hal lewat obrolan kita Mak, ye gak? Pikiranlu jadi bisa menjangkau area yang lebih luas dan luwes! Hehe..”.
“Lumayan.. Alhamdulillah Dan.. ay jadi terselamatkan dari ‘kemulukan’..”. Makaia menambahkan. “Bahkan nih.. Ay juga sempet kepikiran kalo Nabi Muhammad pun mungkin melakukan semacam ‘studi’, sebelum akhirnya ia pergi ke gua Hirah. Dia kan pedagang, dan Mekkah adalah kota yang sibuk, disinggahi banyak pedagang dari segala penjuru dunia, nggak mungkin kalo nggak ada yang namanya pertukaran nilai dari situ kan? Ada yang Nasrani, ada yang Buddha, Hindu, Zoroastrian, Pagan setempat atau asing, bahakan mungkin Taoisme dari Cina..”.
“Bukan berarti Quran nggak orisinil kan?”, goda Danjuga.
“Yang bilang begitu, harus baca Quran lagi Dan!”, seru Makaia pasti.
Makaia termenung, ia dengar pagi mulai menyambut seraya suara tukang-tukang sayur sibuk di depan rumah Danjuga. Kicau burung sahut-menyahut, terang jingga menyusup masuk bersama sepoi angin pelan. Hal-hal lazim, hal-hal kecil.. pula mengantarkan pesan Ilahiah.. Ia geli sendiri mengingat-ingat, betapa kadang ia sewot dengan adanya perbedaan, ia sewot juga saat muncul kesamaan-kesamaan.. Beberapa orang mungkin perlu memandang rendah yang lain agar merasa dirinya lebih baik sebagai perbandingan.. Ribut-ribut justru kerap terjadi di antara mereka yang banyak kesamaan; Islam-Nasrani-Yahudi, seperti tiga metromini dengan jurusan yang sama, kebut-kebutan berebut penumpang di jalanan..
Apa ajaran yang lebih sempurna menjamin bahwa orang yang memeluknya adalah yang lebih baik dari yang lain? Sementara tiap umat menganggap ajaran mereka adalah yang paling benar.. Siapa yang kafir? Kita adalah kafir bagi satu-sama-lain.. Atau sebenarnya, kita bisa memilih untuk memandang bahwa di luar segala perbedaan, sesungguhnya kita seiman?
Makaia memancing Danjuga lagi untuk berbincang, ia perlu masukan agar lebih yakin akan pendapatnya..
“Brahman adalah Sang Hyang Widhi..”, Danjuga memulai. “Kalo kita ngomongin Trimurti; Siwa-Brahma-Wisnu, gua sebagai Muslim melihatnya sebagai 3 peran Brahman.. Peran Brahma kala Dia mencipta, Peran Siwa kala Dia menghancurkan, Peran Wisnu saat Dia memelihara. Ketiganya adalah unsur utama dalam siklus semseta/kehidupan; kelahiran-perkembangan-han
“Oh, ayolah Mak.. Subuh ini! Subuh!”.
“Nggak bisa!”, ujar Makaia lewat telepon. “You udah bikin ay nggak bisa tidur you! Buku you nih! Sial! Ay ke situ sekarang juga!”.
“Emang lu udah hatam? Cepet amat?”, tanya Danjuga.
“Belon sih, tapi.. ah, udah ah, ay ke situ pokoknya sekarang!”.
Danjuga pasrah, kalau Makaia sedang bersemangat, ia kerap tak berdaya. Kemarin sore ia meminjamkan temannya itu buku berjudul ‘Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama’ karangan Groenen Ofm, ia tak menyangka reaksi Makaia begitu cepatnya.
Makaia datang sambil membawa sebungkus oleh-oleh; martabak telur, sayangnya imsak baru saja lewat, jadi nongkronglah itu martabak di sudut dapur, mungkin jadi jengkel karena ‘dharma’nya belum bisa purna.
Makaia masih memburu sambungan obrolan soal cerita Nuh yang kemarin, bahwa cerita itu hampir seluruhnya serupa dengan kisah mitologi Sumeria dan Hindu. Ia menunjuk satu halaman buku Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, yang menjelaskan bahwa hikayat-hikayat yang menceritakan rentang antara awal dunia sampai moyang bangsa Ibrani/Israel, memang banyak diadaptasi dari kisah-kisah yang sudah ada sebelumnya, dan karena Ibrahim berasal dari Mesopotamia, maka cerita yang ada dalam Perjanjian Lama/Quran sangat dekat dengan mitologi/cerita rakyat di mana sang nabi berasal. Kenapa kisah Nuh pun mirip dengan kisah Manu di Agama Hindu? Mungkin karena peradaban Dravida pun lekat dengan peradaban Sumeria, itu dapat dilihat, sebagai contoh, dari bagaimana desain kota mereka yang mirip dengan desain kota-kota di Sumeria.
“Gua kira lu mau kasih tau gua sesuatu yang baru!”, ujar Danjuga jengkel.
Makaia menundukkan kepala. “Gimana ini? Kok seolah ceritanya hasil plagiat gini?”.
“Hmpf! Sama aja kayak gua pas tau pertama kali!”, seru Danjuga. “Kapalnya goyang kan? Hahaha!”.
“Jangan gitu dong you! Kasih ay penyegaran rohani dong!”.
“Setel aja tuh TV! Ada kuliah subuh!”.
Makaia lalu membuat ekspresi mengiba, sok menangis tanpa air mata.
“Hiks..”.
“Mak.. lu harusnya udah tau alasannya kenapa kisah-kisah yang udah ada sebelumnya diadaptasi kan? Alasannya sama kenapa dulu Quran disampaikan lewat bahasa Arab, 10 Perintah Allah juga dulu pasti disampaikan lewat bahasa Bani Israil, sama pula alasannya Sunan Kalijaga dulu dakwah lewat wayang kulit.. Biar gampang masuknya kan?”.
Makaia belum bergeming, ia butuh penjelasan lebih banyak.
“Kita harus bisa menerima kemungkinan yang nggak biasa Mak, ujung-ujungnya ya biar iman kita pun jadi lebih kuat dan matang. Sebelum Ibrahim memperkenalkan ‘konsep’ barunya soal Tuhan, pasti udah ada dong sistem kepercayaan masyarakat yang lebih tua dan lama, udah ada pula cerita rakyat yang lama, nah, cerita itu diadaptasi biar khalayak yang dituju lebih gampang nelennya!”.
“Tapi kan!”, potong Makaia. “Islam itu agama umat manusia sejak awal!”.
“Yang gampang Mak, anggep aja emang itu bener, bahwa islam ada sejak awal terus orang-orang pada ‘menyelewengkannya’. Itu kalo lu mau mikir yang gampangnya aja!”.
“Emangnya?”.
“Yang sebenernya kita kan nggak tau, kalopun bener ajaran Islam ada sejak awal keberadaan manusia, emang ada bukti tertulisnya? Masalahnya nggak ada! Nah, sejarah menuliskan tentang keberadaan Ibrahim 2000 tahun sebelum masehi, gua bisa bilang konsep dasar Islam muncul ya mulai dari situ!”.
Makaia diam, nampak tak puas.
“Tapi.. ada hal bisa bikin lu seger kayaknya..”.
Makaia langsung melotot, matanya berbinar. “Apa tuh?”, tanyanya semangat.
“Lu tau nggak perjalanan Yesus ke timur? Dari The Lost Years of Jesus karya Elizabeth Clare Prophet?”.
“Ha? Ke timur? Maksudnya? Apa hubungannya?”, Makaia bertanya beruntun.
“Jadi buku itu berisi bukti berupa data-data yang langka tentang periode tahun-tahun yang hilang dari Yesus, di Alkitab kan nggak disebutin ke mana aja dia sejak usia 13 tahun sampe 29 tahun? Dari cerita dia kecil, tau-tau loncat aja pas dia dewasa dan dibaptis oleh Yohanes. Nah, di buku itu disimpulkan kalo Yesus diperkirakan melakukan perjalanan ke timur; India, Nepal, Ladakh dan Tibet untuk belajar Buddhisme. ‘Isa diam-diam meninggalkan orang tuanya dan bersama dengan para pedagang Yerusalem menuju India untuk mempelajari hukum Buddha yang Agung..’, begitu yang disebutkan sebuah dokumen yang umurnya 1.500 tahun!”.
“Nab Isa belajar agama Buddha?!”, Makaia terkejut. “Kok?!”.
“Nabi Muhammad pun pernah bilang kan? Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina!”. Danjuga tersenyum, ia yang tadinya agak malas meladeni Makaia, kini ikut semangat. “Kalau kisah Yesus yan ini benar, maka.. patahlah anggapan orang bahwa ‘ajaran Allah’ hanya turun di Arab atau Timur-Tengah! Ajaran Tuhan turun ke segala penjuru bumi, salahsatunya adalah Buddhisme yang ternyata ikut menyumbangkan pengaruhnya dalam pembentukan fondasi Kristen, dan dengan ini pula..”.
“Islam!”, sambar Makaia.
“Hubungannya sama nabi Ibrahim Mak.. coba lu baca lagi kisahnya.. sebelum dia berdakwah, apa yang dia lakukan?”
Makaia mengingat-ingat.
“Oh! Dia ceritanya berkeliling mengamati alam, meminta petunjuk dari Allah!”.
“Proses ‘berkeliling’ Nabi Ibrahim itu.. apa mungkin cuman sehari-dua hari? Atau tahunan? Ke mana pula ia berkeliling? Sekitar Mesopotamia? Atau malah lebih jauh dari itu?”.
“Shit you Dan.. ow.. shit you Dan..”.
“Gua menemukan lagi beberapa kesamaan antara Islam-Yahudi-Kristen dengan dua agama tua lain, Zoroastrianisme dan Hindu-Brahman..”. Danjuga merendahkan tone suaranya. “Zoroastrianisme adalah agama monotheis, memuja satu Tuhan; Ahura-Mazda, sedangkan Brahman adalah penguasa tertinggi dalam konsep ketuhanan Hindu, Brahman bersifat kekal, imanen, tak terbatas, tak berawal dan tak berakhir, DIa menguasai segala bentuk, ruang, waktu, energi serta jagat raya dan segala isi yang ada dI dalamnya..”. Danjuga melanjutkan. “Waktu SMP gua pernah pinjem buku dari perpus, judulnya ‘Agama-Agama Besar Dunia.. Di situ disebutkan bahwa Brahman dipuja sebagai Sang Hyang Widhi; Dia Yang Esa atau Yang Tunggal.. diceritakan Brahman menciptakan Deva & Asura, Deva atau Dewa diciptakan dari cahaya, sedangkan Asura dari api..”.
“Oh my God!”, Makaia menutup mulutnya dengan empat jari tangan.
“Tenang Mak..”.
“Te-tenang apa Dan?”, tanya Makaia.
“Antara Ibrahim, Zarathustra & konsep Hindu-Brahman, ketiganya hampir sama tua..”.
Danjuga mengambil sehelai kertas dari meja kerjanya, lalu mulai menulis di hadapan Makaia.
“Coba kita liat nih..”.
Makaia memperhatikan dengan serius.
“Keberadaan Ibrahim dapat kita temukan di tahun 2000 sebelum masehi di Sumeria.. Zarathustra tercatat di 1700 tahun sebelum masehi.. dan Hindu-Brahman.. hmm.. kurang-lebih 1500 tahun sebelum masehi? Gua kurang yakin..”.
“Paling tua Nabi Ibrahim dong!”, Makaia nampak girang.
“Stop sampai situ kalo mau Mak..”, Danjuga tersenyum. “Gimana?”.
“Apa lagi yang bisa membantah kalo Ibrahim adalah yang pertama mengenalkan konsep monotheisme? Jelas dia paling tua!”. Ujar Makaia mantap. “Kalo you nggak punya bahan buat nyanggah, ya nggak usah maksa deh Dan! Ay curiga.. jangan-jangan emang hobi you bikin bingung ay!”.
“Kan biar seru Mak!”.
Makaia memonyongkan bibir seraya mencibir Danjuga.
“Ya deh..”, Danjuga garuk-garuk pipi. “Gua juga mentok sampe ke fakta bahwa salahsatu rumpun bangsa yang mengembangkan konsep-konsep monotheisme adalah para Proto Indo-Irani, mereka itu nenek moyangnya orang Persia dan Arya-India. Proto Indo-Irani berasal dari steppa Russia Selatan..”.
“Apa tuh? Nggak ngejelasin apa pun! Haha!”, ledek Makaia.
“Maksudnya ya, jadi bisa kita lihat bahwa mungkin akar konsep monotheisme yang mendasari Hindu-Brahman & Zoroastrianisme sudah ada sejak sebelum orang Arya sampe ke India dan orang Persia sampai di Mesopotamia.. bahwa monotheisme itu benar-benar konsep yang sangat kuno dengan awal yang belum bisa ditetapkan secara pasti..”.
Danjuga nampak bingung sendiri.
“Jadi kira-kira bisa disimpulkan bahwa peta perkembangan fondasi awal Islam..”, Makaia coba menambahkan. “Adalah Timur-Tengah dan Asia Tengah kan? Semitik dan Arya.. Gitu kan Dan?”.
“Gini nih kalo kita nelaah agama sambil melipir ke anthropologi.. Pusing!”.
“Agak bosen juga ay dengernya..”, Makaia menguap, lebar sekali.
“Tapi kan secara nggak sadar lu bisa menerima banyak hal lewat obrolan kita Mak, ye gak? Pikiranlu jadi bisa menjangkau area yang lebih luas dan luwes! Hehe..”.
“Lumayan.. Alhamdulillah Dan.. ay jadi terselamatkan dari ‘kemulukan’..”. Makaia menambahkan. “Bahkan nih.. Ay juga sempet kepikiran kalo Nabi Muhammad pun mungkin melakukan semacam ‘studi’, sebelum akhirnya ia pergi ke gua Hirah. Dia kan pedagang, dan Mekkah adalah kota yang sibuk, disinggahi banyak pedagang dari segala penjuru dunia, nggak mungkin kalo nggak ada yang namanya pertukaran nilai dari situ kan? Ada yang Nasrani, ada yang Buddha, Hindu, Zoroastrian, Pagan setempat atau asing, bahakan mungkin Taoisme dari Cina..”.
“Bukan berarti Quran nggak orisinil kan?”, goda Danjuga.
“Yang bilang begitu, harus baca Quran lagi Dan!”, seru Makaia pasti.
Makaia termenung, ia dengar pagi mulai menyambut seraya suara tukang-tukang sayur sibuk di depan rumah Danjuga. Kicau burung sahut-menyahut, terang jingga menyusup masuk bersama sepoi angin pelan. Hal-hal lazim, hal-hal kecil.. pula mengantarkan pesan Ilahiah.. Ia geli sendiri mengingat-ingat, betapa kadang ia sewot dengan adanya perbedaan, ia sewot juga saat muncul kesamaan-kesamaan.. Beberapa orang mungkin perlu memandang rendah yang lain agar merasa dirinya lebih baik sebagai perbandingan.. Ribut-ribut justru kerap terjadi di antara mereka yang banyak kesamaan; Islam-Nasrani-Yahudi, seperti tiga metromini dengan jurusan yang sama, kebut-kebutan berebut penumpang di jalanan..
Apa ajaran yang lebih sempurna menjamin bahwa orang yang memeluknya adalah yang lebih baik dari yang lain? Sementara tiap umat menganggap ajaran mereka adalah yang paling benar.. Siapa yang kafir? Kita adalah kafir bagi satu-sama-lain.. Atau sebenarnya, kita bisa memilih untuk memandang bahwa di luar segala perbedaan, sesungguhnya kita seiman?
Makaia memancing Danjuga lagi untuk berbincang, ia perlu masukan agar lebih yakin akan pendapatnya..
“Brahman adalah Sang Hyang Widhi..”, Danjuga memulai. “Kalo kita ngomongin Trimurti; Siwa-Brahma-Wisnu, gua sebagai Muslim melihatnya sebagai 3 peran Brahman.. Peran Brahma kala Dia mencipta, Peran Siwa kala Dia menghancurkan, Peran Wisnu saat Dia memelihara. Ketiganya adalah unsur utama dalam siklus semseta/kehidupan; kelahiran-perkembangan-han
Danjuga tertawa, Makaia mengepalkan tangan, menggoyang-goyangkannya di udara.
“Kalo gua liat Katolik pun sama..”, lanjut Danjuga. “Adanya peran-peran Tuhan yang dicitrakan dari penyebutan-penyebutan keillahian yang berbeda di dalam ‘satu’..”.
“Kalo agama dengan dewa-dewi yang banyak gimana?”, tanya Makaia.
“Cara gua ngeliat itu sama aja Mak, itu adalah sebutan bagi peran-peran dari ‘Satu’.”. Danjuga mulai menarikan pensilnya lagi ke permukaan kertas. “Misalnya dalam satu agama ada dewi bumi, dewa matahari, dewa perang, dewa musik, dewa kematian dll.. Mirip gak sih sama 99 Nama Allah?”.
“Asma’ul Husna?”, tanya Makaia, belum mudeng.
“Ambil contoh 3 dari 99 deh.. ‘Maha Adil-Maha Pengasih-Maha Perkasa..’ seumpama nama itu masing-masing dipersonifikasi, maka mungkin jadinya seperti; ‘Dewi Keadilan-Dewi Cinta-Dewa Perang..’ 99 Nama Allah menjadi ‘99 Dewa-Dewi!’”.
“Shit you man.. Kok kedengarannya make sense ya meskipun ay tau you sotoy?”. Makaia mengusap-usap dahinya. “Tapi you kayak ngegampangin sesuatu!”.
“Ngapain lagi sih kita musti bikin perbedaan-perbedaan itu jadi ribet Mak, gua bilang; ‘cari benang merahnya, cari jalan tengahnya’!”.
Makaia terdiam, ia seperti tengah memikirkan sesuatu, pertanyaan selanjutnya..
“Kalo kepercayaan primitif?”, tanya Makaia, terdengar seperti pertanyaan jebakan. “Animisme, Dinamisme, Totemisme.. You mau jawab itu personifikasi peran juga?”.
“Lu pengen ngetes gua ya Mak?”.
“Udeh! Jawab! Hayouw!”.
Danjuga salting, biasanya di titik-titik seperti ini dia bisa menghisap rokok.
“Hmm.. Lu pernah nonton film tentang Columbus yang diperanin Gerard Depardeu nggak?”.
“Pernah..”, jawab Makaia. “Dia yang maen jadi Obelix di film Asterix juga kan? Emang napa dah?”.
“Ada adegan saat dia mendeskripsikan masyarakat Indian kepada Ratu Isabella dari Spanyol, dia bilang kira-kira begini..
Columbus : Orang-orang Indian itu hidup bertelanjang, masih seperti saat Tuhan menciptakan mereka
Isabella : Tuhan yang mana dulu nih?
Dan Columbus menjawab..
Columbus : Mereka melihat Tuhan di pepohonan, mereka melihat Tuhan di batu, di sungai, pada hewan-hewan di hutan. Mereka memujaNya lewat ciptaan-ciptaanNya..”.
“Wuiiih!!”, seru Makaia. “Lumayan!”.
“Dari pada Lu-manyun!”, balas Danjuga.