Jumat, 25 September 2009

Eps.7# Danjuga & Makaia dalam: "Hikayat Tanpa Akhir"

Ingatan Danjuga melayang meninggalkan adegan perbincangannya dengan Makaia, ke suatu waktu..

Danjuga duduk sendirian di kamarnya yang remang dikuasai keheningan, asap rokok keluar masuk paru-parunya; putih, pekat seperti hantu kecil bergulung di udara lembab.
Tempo hari ia saksikan kekasihnya, Yangpula, mendoakan para pembunuh dengan begitu lantang, memaksa hatinya yang lemah untuk maju perang. Bahkan Danjuga yang tak punya hubungan sama-sekali pun tak bisa memaafkan mereka, ia ingin neraka memanggang mereka selamanya.

Keadilan..
Keadilan seperti apa yang kita inginkan?
Apa yang kita anggap sebagai keadilan?
Sejauh mana kasih Tuhan?
Apa kita pernah minta dilahirkan?

Danjuga memejamkan mata, di kegelapan ia mencari Tuhannya, terantuk lagi & lagi.. begitu banyak yang menghalanginya.

“Pertemuan seperti apa yang kau inginkan Danjuga?”, tanyanya pada diri sendiri. “Buat apa kau mencariNya seperti ini?”.

Ia iri dengan mereka ‘para tercerahkan’.. ia ingin loncat keluar dari raganya, mengupas jiwanya..

“Dalam sudut pandangMu ya Allahku! Dalam sudut pandangMu ya Alllahku! Apa yang Engaku lihat?”.

Tapi mungkin itu di luar kemampuan Danjuga, ia harus tetap kecewa untuk tinggal dalam penjara sudut pandang fananya sebagai manusia.
Bagaimanapun Danjuga sulit untuk menyerah, senjata terakhirnya malam itu adalah imajinasi, seringkali, itulah yang berhasil menyelamatkannya dari banyak hal.. Maka ia pejamkan lagi kedua matanya..

…..
…..
……….

Muncullah… gambar-gambar…

Jiwa-jiwa manusia yang siap pulang, berjumlah jutaan.. tidak, trilyunan jiwa, timbul dari bawah, kita semua mengambang, perlahan tapi pasti, meluncur terus ke atas…

Kau bisa saksikan semesta di sekelilingmu runtuh terkelupas, seolah telur yang selama ini kita tempati akhirnya menetas, membuka jalan sepenuhnya untuk pulang.

Titik-titik bintang terdistorsi, awan angkasa dan bimasakti bak larut teraduk, galaksi-galaksi mati-hidup kembali-mati-hidup kembali..

Kau saksikan dengan begitu liar & jelas, awal & akhir, semua penciptaan & keruntuhan maha dahsyat, beralangsung amat cepat. Proses jutaan tahun berlangsung setarikan nafas.
Kau mengerti bagaimana semua berlangsung..

Berabad lamanya manusia mencoba membongkar langit, tiba-tiba kini kepalamu dipenuhi jawaban..
Seolah kau lah yang menciptakan semesta raya dengan tanganmu sendiri..
Semua ilmu pengetahuan hadir di pikiran seringan susunan abjad..

Seluruh sejarah, dari semua segi berputar cepat, terhapal di ingatan sejernih embun, seakan kau yang menulis tiap rinci kejadian..
Tiada yang terlewat, tiada yang tertinggal..
Kau bahkan bisa merangkap sudut pandang siapapun, tanpa batas..

Di mana orang-orang yang kau cintai?
Tapi kau tak perlu melihat ke sekeliling, kau tak perlu mencari lagi..
Mereka di sini..
Mereka adalah kau.. kau bukan hanya menemukan mereka, tapi telah menjadi mereka sepenuhnya, bahkan hal terkecil, rahasia yang sebelumnya tak pernah kau ketahui.. Telah kau alami..
Ratusan pengalaman dalam satu.. dan terus bertambah..

Ibumu, ayahmu, seluruh saudara-saudarimu, kawan-kawan baik & kekasih, semua yang paling berharga, yang mendahului, yang terlupakan, dan yang telah tergantikan..
Kita berkumpul lagi selamanya..
Berbincang tiada habisnya..

Di sampingmu..
Sebuah jiwa dengan wajah yang amat kau kenal..

Ingat?

Ingat betapa kau membenci orang itu dulu?
Kau yang tahu bagaimana ia telah menyakitimu, mengkhianati kepercayaanmu, membuatmu terhina & kehilangan diri begitu jauh..

Orang-orang itu berjalan bersamamu sekarang..
Ke tempat yang sama..
Kau yang sekarang bukan cuma mampu memaafkan.. Maaf terasa semudah kedipan mata..
Kau tersenyum karena wajah-wajah yang dulu kau benci kini nampak terlalu indah..
Bola-bola mata itu sejernih milik bayi yang baru dilahirkan, bersih, polos..

Kau tertawa riang!
Puas dan kenyang oleh kegembiraan.
Apa yang telah terenggut dulu.. sekarang telah dikembalikan sepenuhnya, dengan nilai beribu ganda!

Dan kau mengerti ketika wajah itu tersenyum..
Mengapa? Apa alasan perbuatannya dulu?
Kau mengerti.. dan semua terasa amat sederhana.. sepele..

Kau melakoni diri mereka, melalui kegelapan lewat sudut pandang yang sama..
Kau menjerit ngeri & iba..
Betapa nyatanya, jiwa-jiwa ringkih itu tak membutuhkan hukuman, mereka lebih membutuhkan belas kasihan & pengetahuan...

Di sini, sekarang, kala penjara paradigm fana luluh keping-demi-keping.. yang ada cuma hasrat paling hakiki..

“Kau takut?”, tanyamu.
Ia menggeleng.

Trilyunan jiwa bernyanyi bersama, suaranya membahana..
Musik paling indah yang pernah kau dengar, dimainkan dari pintu masuk menuju ‘segalanya’..
Syair-syair dengan bahasa yang tak kau kenal..
Pernahkah kau dengar sebelumnya?
Terdengar begitu akrab, dan bagaimana kau hapal tiap lajunya?

Kau menangis laksana air bah..
Kau tahu lagu ini!

Jatuh cinta jutaan kali.. Bercinta jutaan kali.. Patah hati jutaan kali.. Lahir kembali jutaan kali.. Mati jutaan kali.. Tercerahkan jutaan kali..

Kau mengerti! Aku mengerti sekarang!
Dan kau ingin lebih lagi!
Kau ingin mendengar, kau ingin melihat, kau ingin merasa & mengecapnya..
Kau ingin mengerti!

Lihat betapa muara cahaya itu kini hampir tak memiliki batas di hadapanmu!
Warna-warna apa itu? Tahukah kau apa namanya?
Semua jiwa meluncur menujunya..
Semua kepercayaan, semua generasi, semua kehidupan, yang pendosa, yang mencari, yang pergi & menetap, malaikat & iblis, semua warna, semua bentuk, semua sifat, semua bau, semua hasrat..

Kita semua menyanyikan lagu yang sama..
Tak terbatas nafas.
Waktu & ruang menyusut..

Kita pulang! Kita kembali!

“Aku siap!”, serumu.
Dan semua mendengar perkataanmu.

Melalui segalanya..
Merasakan segalanya..
Melampaui segalanya..
Yang telah, yang kini & yang belum..
Selalu ada yang selanjutnya, selalu akan ada yang baru..
Karena kau adalah yang lama, kau adalah yang baru.. Kau adalah hikayat tanpa akhir..

Jadi?
Kau ingin segalanya?


Kini.. kau telah menjadi segalanya.

Eps.6 # Danjuga & Makaia dalam: "Self-Centered Bastard"

“You self-centered bastard!”.

Itu kata-kata terakhir yang didengar Makaia dari pacarnya tepat sebelum berubah jadi mantan pacar. Belum ada sebulan mereka jalan, sekarang selesai sudah. Bagi perempuan itu, Makaia terlalu egois, bukan ciri orang dewasa sama-sekali.

Tapi dari umpatan terakhir mantan pacarnya itu Makaia jadi memikirkan sesuatu yang jauh, tidak berhubungan sedikitpun dengan sakit hati karena dicampakkan, bukan pula soal introspeksi diri agar hubungan percintaan selanjutnya bisa bertahan paling tidak lebih dari 5 bulan.

Makaia berpikir dalam perjalanannya di bus kota..

Bagaimana jika benar? Kau adalah satu-satunya manusia ‘sungguhan’ di alam semesta?
Bahwa kau adalah pusat dari realitas..
Bahwa segala sesuatu sengaja diciptakan Tuhan untuk membingkai dirimu seorang?
Ayah, ibu, saudara, teman, dan semua manusia lain adalah sebuah program, termasuk semua benda, hewan, bintang-bintang & luas jagat dengan segala isinya ini. Saat kau tertidur mungkin semua itu dinon-aktifkan, begitu kau bangun, program pun lanjut berjalan kembali.

Siapa tahu? Memangnya kau bisa pindah ke sudut pandang orang lain?

Kau kini tentu saja adalah ‘bintang utama’ dari kehidupanmu, tapi bagaimana jika kau MEMANG! Bintang utama dari keseluruhan kehidupan?
Jika kau memutar tubuhmu secara amat-sangat gesit & mendadak, siapa tahu Tuhan terkecoh? Ternyata di belakangmu hanya ada ‘kekosongan’ tanpa ujung.. Eits! Dia sadar, lalu buru-buru ‘mengisi’ ruang hampa itu dengan realita..

Di ujung perjalananmu kelak, Dia akan menjelaskan semuanya, dan kau akan mengerti, nyatanya kau adalah sebuah prototype dari ras manusia yang akan diciptakanNya sesudah itu.. bagaimanapun potensi manusia hanya bisa terlihat dengan ‘arena belajar’ yang mendekati ‘asli’.

Jadi segala tetek-bengek ini bukan sungguhan?
Betapa rumitnya kau pikir, tapi Tuhan memang Maha Scriptwriter!

Akh.. begitulah.. sementara orang-orang di sekitarmu beberapa sudah tiada dengan berbagai alasan, kau bertanya sendiri, “Dunia begitu penuh dengan maut & bahaya.. Bisa saja aku mampus dari dulu.. atau hari ini.. atau sejam lagi..”.
Tapi mungkin saja itu mustahil, sebab jika kau mati, maka semua simulasi ini akan berakhir begitu singkat, dan targetNya belum sempat tercapai.
Jika kau katakan itu pada teman-temanmu, menyiarkannya lewat media massa, maka mereka akan menertawakanmu, menyebutmu gila. Itu suatu kesengajaan, agar kau yakin bukan itu kenyataannya.
Tuhan mencegahmu untuk sadar dan yakin.

Kalau kau bermaksud menulisnya di komputer, mungkin komputermu itu tiba-tiba mati, atau Tuhan memprogram ibumu untuk muncul & menyuruhmu macam-macam, telepon genggammu berbunyi lalu ada yang menawarimu pekerjaan besar, atau tiba-tiba saja ayam berkokok..
Mungkin kau jangan coba-coba tidur dulu, ingatanmu bisa saja dihapus nanti!
Kalau itu terjadi…?!
Yah.. kalaupun itu terjadi, toh semua akan berjalan lagi seperti biasa. Kau dengan kehidupan normalmu yang penuh semangat dan cita-cita. Tak sadar bahwa ada sebuah sistem yang menggunakanmu sebagai kelinci percobaan. Orang yang tahu banyak & sadar dirinya dipermainkan tak akan bisa lagi berguna banyak bagi sistem, ia akan mencoba melawan, seperti buruh yang melakukan aksi mogok kerja. Namun sistem pun akan melakukan upaya keras untuk memperbaiki keadaan, ia akan membebanimu dengan berbagai hal, memasukkan ini-itu ke dalam kepalamu hingga kau percaya pada akhirnya, kau memang harus ‘kooperatif’.
Lagipula kau bisa apa? Kau sendirian, ingat?

Makaia pindah dari bus yang mengarah ke rumahnya ke bus yang mengarah ke rumah kawannya, Danjuga. Kala ia sampai dan menyampaikan pikiran lucunya itu..

“Jadi lu pikir gua cuma program virtual? Gua sebenernya nggak punya perasaan? Nggak punya ‘kehidupan sungguhan'?”. Danjuga mengomel sambil memakai sarung, belum mandi karena nganggur, dan sebagai pemandangan latar; TV dengan gambar game Tekken dalam keadaan ‘pause’. “Lu stress berat ya abis diputusin?”.

Makaia tersenyum sinis.

“Hmm.. okay..”, ujarnya pelan. “Ay juga cuma bercanda kok.. sudahlah.. jangan dipikirkan, ay juga tau kalo you bakal bilang begitu.. iya-iya, ay percaya, tenang, nggak usah ngotot, hei sesama ma-nu-si-a-hahaha..”.

Makin nyeleneh raut muka Makaia, makin sebal Danjuga.

“Lu bilang tadi ditelepon, lu disebut apa? Self-centered bastard? Ini jauh melampaui istilah itu.. hmm..”.

Makaia seperti tengah Manahan tawa, kalau bukan Danjuga, ia pasti sudah direkomendasikan ke psikiater.
Danjuga tak habis akal, ia pernah beberapa kali mencoba ngobrol dengan orang gila, dan ia tahu caranya agar ‘nyambung’, yakni dengan menyamakan persepsinya. Dengan kata lain, Danjuga harus menjadi ‘gila’ dulu.

“Baik Makaia.. kami menyerah..”, ucap Danjuga perlahan. “Kau tahu rahasia kami.. Kau, tahu terlalu banyak..”.

Makaia terperanjat.

“Shit!”.
“Kini program harus disudahi.. kau adalah produk gagal, manusia adalah proyek gagal!”.
“Tu-tunggu!!”, Makaia ketakutan.
“Kau masih ingin main bukan? Maaf saja.. semua sudah terlambat!”.
“Mam-mama..”.
“Mama?”, tanya Danjuga datar. “Karakter yang kau sebut ‘mama’ itu bukan sungguhan Makaia, kau tahu itu kan?”.

Danjuga tak menyangka Makaia bakal setakut itu, yang kemudian tiarap di lantai dengan kedua telapak tangan menutupi telinganya.

“Terakhir lu bilang; ‘Im gonna play this role so well..’, tai kucing..”, sindir Danjuga.

Tak terjadi apapun, Makaia bangkit dengan sekujur tubuh dibasahi keringat.

“Kalo lu mau mikir kayak gitu ya silakan..”, kata Danjuga. “Tapi selesein dulu dong kontraklu, mainin film ini dengan totalitas! Bego!”.

Makaia mematung, ia berkedip-kedip seperti orang senewen, lalu minta ijin untuk numpang sholat di kamar Danjuga.

Danjuga menyiapkan secangkir kopi & semangkuk camilan eksperimental, gabungan antara nachos & lado kentang buatan ibunya. Ia pikir Makaia mungkin membutuhkan sedikit ‘kasih-sayang’ teman di hari buruknya ini.

Makaia keluar dari kamar Danjuga dengan wajah yang masih basah oleh air wudhu & kedua mata menerawang.

“Ilusi..”, gumanya. “What am I thinking?”.

Danjuga tersenyum menanggapi perkataan Makaia.

“Well dear friend, lu nggak sepenuhnya salah kok..”.
“What?”, Makaia melirik Danjuga penuh arti. “Maksud you? C’mon.. give me a break already. I’m sorry man..”.
“Nggak Mak, gua serius.. semua perkataan ‘ngaco’ lu barusan ada benernya..”.

Makaia diam, ia menunggu.

“Buddha mengajarkan bahwa semua yang ada di dunia fana ini adalah ilusi belaka, makanya di Agama Buddha sangat ditekankan agar kita nggak terikat dengan materi, karena itu cuma ilusi! Ini terdengar sangat nggak enak, tapi bahkan keluarga & orang-orang yang kau kasihi pun termasuk ilusi!”.

“Cih..”, Makaia tersenyum sinis. “Biar you bilang itu tanpa mengurangi rasa hormat terhadap mereka pun, susah untuk nggak mengurangi ‘nilai’ mereka di mata you Dan. Bener-bener nggak enak kedengerannya..”.

“Bagi sebagian orang memang rasanya terlalu egois, menjadi biksu atau biarawati itu mungkin dirasa sangat egois; mengejar pencerahan diri dengan meninggalkan semuanya.”. Danjuga melanjutkan. “Banyak orang yang menganggap, bahkan Siddharta Gautama adalah figur egois yang mencari terang dengan mengabaikan tugasnya sebagai calon raja, suami & ayah.”.

“Muhammad bisa tuh.. nggak meninggalkan keluarga demi pencerahan..”, komentar Makaia.
“Boleh aja sih dibandingin..”, balas Danjuga. “Tapi inget, nggak ada yang sempurna, masing-masing dari mereka punya kelebihan dalam ceritanya. Yah.. Buddha bisa menyelesaikan ceritanya tanpa perang penuh darah seperti ceritanya Nabi Muhammad kan?”.

“Tipikal Danjuga..”, ucap Makaia. “Selalu pengen jadi oposisi..”.

Danjuga tertawa.

“Well.. Mak.. kalo kita balik lagi, semua yang kita omongin ini adalah ilusi, jadi percuma untuk menjadi fanatik terhadap suatu ilusi..Lu tau apa yang bakal kita dapat kalo berusaha mengejar ilusi?”.

“Sakit hati & penderitaan..”.
“Wuiddih! Cepet juga jawabannya?”.

Makaia mendaratlkan pantatnya di sofa, merenungkan sesuatu.

“Persis keadaan ay sama dia..”.
“Sama dia?”, tanya Danjuga.
“Bilasaja..”.
Danjuga tersenyum. “Ooh.. si mantan super lu itu?”.
“You tau kan kayak apa perasaan ay sama Bilasaja?”
“Kalo dari sebuah adegan di mana lu hampir melompat keluar dari bus yang tengah berpacu kencang sih.. Ya, rasanya gua tau.”.

“Ilusi.. Itu yang ay kejar.. berharap menemukan orang yang sama lewat kedua mata itu..”. Makaia memegangi kepalanya. “Tapi dia bukan lagi orang yang sama, bukan seperti orang yang pernah sayang sama ay selama setahun sebelumnya, matanya seperti lubang hitam yang menghisap semua harapan ay.. Bilasaja yang dulu itu sudah mati, dan gobloknya, ay tetep berusaha mencari dia lewat ‘sosoknya yang sekarang’, yang nggak lagi ay kenal..”.

Danjuga mendengarkan, meski ia sudah dengar curhat Makaia tentang Bilasaja beribu kali sebelumnya.

“Ay tau rasanya, tau bener..”.

Danjuga mengambilkan kopi & camilan untuk kawannya seraya berkata. “Lihat.. dulu lu bilang, lu bisa lihat Tuhan lewat mata Bilasaja..”.

“Dia memang sumber inspirasi..”.
“Bahkan sampe sekarang pun dia masih ngasih lu inspirasi..”.
“Lewat perih?”.
“Dan bisa lebih mengerti kehidupan dari sisi yang lain lagi.. Well.. masih untung dia diambil orang, gimana kalo dia diambil Tuhan?”.

Makaia menerima cangkir kopi & mangkuk camilan, ia taruh di pangkuannya dan berujar. “Ay nggak tau deh gimana itu rasanya..”.

“Nggak mungkin lu tau kalo belom kejadian bener. Cewek gua Yangpula, dia yang pernah ngerasain itu..”

Makaia nampak terkejut.

“Yangpula?”.

Danjuga mengangguk lalu duduk di sebelah Makaia.

“Pacar dia yang sebelumnya, meninggal dikeroyok. Belom puas bikin dia babak-belur, mereka menghantam dadanya dengan sepeda motor sampe hancur.. Gua merinding cuma dengan ngebayangin, gimana Yangpula harus ikut ngubur pacarnya dulu..”.

Makaia meradang.

“Ngentot!”, desisnya. “Kenapa orang-orang itu?!”.

Danjuga diam, ia tak menanggapi umpatan Makaia.
Makaia mengehmbuskan nafas panjang sebelum menyeruput kopi suguhan Danjuga, ia kemudian berkata, “Jadi malu ay, kalo inget betapa cengengnya ay dulu, karena ditinggal Bilasaja..”.

Danjuga tersenyum kecil sebelum menyambung, “Harusnya gua yang lebih malu lagi karena pernah berpikiran kotor..”.

Makaia memandangi wajah kawannya, bertanya-tanya tanpa kata.

“Gua pernah mikir, kalau saja dia nggak meninggal, Yangpula tentu nggak bakal sama gua hari ini..”.

Makaia mengerenyitkan dahi seperti pantatnya tertusuk jarum pentul.

“Apa ini yang disebut hikmah?”, tanya Danjuga. “Kadang gua mempertanyakan, apa cara kerjaNya yang misterius bisa selalu kita benarkan?”.

“Kalau pun benar semua itu ilusi..”, timpal Makaia. “Semua rasa itu bukanlah bohongan..”.
“Ya.. rasa itulah maksudnya..”.
“Merasakan cinta? Itu kan yang you bilang tempo hari?”.
Danjuga mengangguk.

Makaia lalu mencoba mencicipi camilan ala Danjuga; nachos-lado kentang, lidahnya yang menari, tapi otaknya ikut berusaha mencitra.

“Asing.. nggak umum, tapi lumayan lah.. Yang ay bingung, kalo semua ini ilusi, jadi yang bener apa dong?”.

Danjuga berangsur kembali terlihat segar.

“Yang nyata adalah Si Boss lah.. isn’t that obvious?”.
“Alah! Udah tau ay, you bakal jawab begitu.. so tipikal you!”.
“Semua agama juga kayaknya bilang begitu deh, bahwa kehidupan sesungguhnya dimulai justru setelah kita mati! Syekh Siti Jenar bahkan bilang kalo menjalankan syariat itu nggak diperlukan dalam kehidupan yang sekarang, tapi malah berlaku di kehidupan selanjutnya!”.

“Owallah!”, seru Makia. “Aneh banget! Bukannya seharusnya kita malah mestinya bebas kalo udah ‘lewat’?”.

Danjuga tampak seperti menahan tawa, sesuatu yang amat tak disukai Makaia, karena artinya Danjuga punya argumen ‘seru’ yang bakal mematahkan anggapan-anggapan Makaia.

“Apa iya bebas?”, tanya Danjuga. “Kalo semua bebas mah, ya nggak ada dong yang namanya neraka?”.

“Maksud ay bebas itu ya.. udah abis, selesai gitu!”.
“Jadi nggak ada lagi jalan untuk memperbaiki amal? Nggak ada lagi kesempatan?”.
“Oy! Kesempatannya udah ada! Dan beberapa orang nggak memanfaatkan kesempatan mereka!”.

“Jadi cuma sampe situ kasih-sayangNya?”.
“Doa anak-anaknya bisa bantu!”.
“Kalo seseorang itu nggak punya siapapun? Taruhlah penjahat sebatang-kara yang kejam tak-berampun, nggak ada yang mendoakan, justru ribuan yang mengutuk?”.

“Ada neraka sebagai wahana purgatory! Yang akan menyucikan dia!”.
“Bukankah semua pemain fim pasti akan mendapatkan fee mereka? Meski peran yang mereka mainkan itu ‘karakter antagonis’?”.

“Mother-father! Maksud you apaan sih?! Ini kopi masih panas Dan! Mau ay guyur you! Jangan bikin kesal pria yang sedang patah hati ya! Bunuh diri aja bisa, apalagi bunuh orang!”.

Danjuga mengangkat kedua telapak tangannya sejajar dengan wajah.

“Ampun!”, serunya sambil cengengesan. “Gua cuma mempertanyakan sistem sosial di akhirat kelak!”.

“Gila you! Di akhirat kok ada sistem sosialnya?”.
“Emang sih kita nggak pernah diajarin mata pelajaran sistem sosial akhirat, tapi dari yang bisa kita dapet lewat ajaran agama kan jelas emang ada yang macam begitu. Bahkan digambarkan adanya stratifikasi sosial di paling ujung kisah kita nanti!”.

“Ha?”. Makaia makin bingung.

Danjuga mengambil secarik kertas & menggambar sebuah piramid.

“Lihat, pembagian kasta penghuni surga & neraka ini deh..”, ujar Danjuga. “Bahkan sampai sini pun masih ada pembagian kasta buat kita lho.. nggak asik bener!”.

Di kertas itu tergambar sebuah piramid ‘tingkatan sosial’ sederhana ala Danjuga:
1. Higher Heavens
2. Lower Heavens
3. Upper Infernos
4. Lower Infernos

“Dan di paling bawah.. kalo lu percaya, ada yang namanya ‘Eternally Citizens of Hell’! Uuuwwiihh! Syerrremm..!”.

Mangap Makaia melihat gambar Danjuga, mengapa tak pernah ia pikirkan sebelumnya?

“Coba, menurutlu kenapa bisa begini keadaannya?”, tanya Danjuga pada Makaia.
“Mungkin memang Tuhan memberi kita masing-masing tempat yang ‘pantas’?”.
Danjuga mengangguk kemudian melancarkan pertanyaan lagi. “Tapi bisa nggak kita naik level kalo udah sampe situ? Maksud gua dari ‘Lower Heavens’ ke ‘Higher Heavens’?”.

Makaia garuk-garuk dagu lalu menjawab, “Hmm.. kayaknya nggak bisa lah ya? Lagian kalo ay udah dapet satu ‘flat’ di surga, itu juga udah sukur, pake mau naik tingkat segala?”.

“Lu percaya kalo setelah ‘masa hukuman’ di neraka selesai, orang bisa naik ke surga?”, tanya Danjuga lagi.

“Ya, bukannya emang begitu ya?”.
“Lha? Yang di neraka aja bisa naik ke surga, kenapa yang di surga nggak bisa naik ke surga tingkat lebih tinggi?”.

“Aduuh..”, keluh Makaia. “Ya mungkin harus berbuat baik dulu kali!”.
“NAH!”, seru Danjuga mendadak, mengejutkan Makaia. “Persis yang dibilang Syekh Siti Jenar! Kalo di surga menjalankan syariat dengan baik maka kita bisa naik ke surga yang lebih tinggi gitu? Hahaha!”.

“Bangsat!”, umpat Makaia. “Iya deh.. you menang lagi..”.
“Eits! Gua belom selesai.. masih banyak pertanyaan yang mesti lu jawab Mak!”.
“Jiah! Ngapain ay jawab kalo tiap kali salah melulu? Tiap kali ditepis melulu? Kalo bener pun, you bakal muncul dengan jawaban yang sama-sekali beda! Setan!”.

“Duuh.. ngambek nih ye?”, goda Danjuga. “Ya udah, nggak gua terusin deh..”.

Tapi Makaia tak tahan, ia harus akui, ini memang menyenangkan.

“Lanjut deh, buruan!”.

Danjuga tersenyum senang sekaligus menahan geli melihat kawannya yang memang mudah
terpesona oleh banyak hal.

“Gua pengen tanya.. apa di surga masih ada batasan-batasannya? Atau kita bebas melakukan apapun? Melampiaskan hasrat yang nggak bisa kita salurkan di bumi? Gimana tuh Mak?”.

“Aduuuhh.. gimana ya? Kalo gua sih pengennya bebas!”.
“Dalam penggamabaran surga, terutama yang dirangsang adalah yang dekat dengan perut & selangkangan, selanjutnya hasrat kita akan harta & takhta. ‘Kita akan dijanjikan berpuluh bidadari sexy! Sungai susu mengalir tanpa henti! Istana di mana kita adalah satu-satunya raja di sana, blahblahblah.. Gua sih kurang yakin deh, apa kita nggak bakal bosen ya? Man! Kita hidup di tempat itu selama-lamanya! Setelah 10.000 tahun, apa bakal semenyenangkan saat pertama?”.

“Mungkin ‘rasa bosan’ akan dihapus?”, Makaia mencoba.
“Buat gua, rasanya kok terdengar seperti ‘jalan pintas’ karena kurangnya kreatifitas dalam mempackage surga sebagai eternal amusement park ya?”.

“Akh kalo begitu mungkin surga itu ya.. sebebasnya keinginan kita ya? Gimana cara kita biar nggak bosen ‘selama-lamanya’ tinggal?”. Makaia menatap langit-langit. “Di seratus tahun pertama ay pengen jadi rockstar legendaris yang manggung sambil melayang, disaksikan penghuni surga lain. Seratus tahun berikut ay pengen menjalani petualangannya Frodo di Lord of the Rings! Terus..”.

“Oke.. oke..”, potong Danjuga. “Terus apa batesan-batesan dari keinginan liar kayak gitu?”.
“Ya nggak ada lah! Orang udah di surga, masih juga ada batesan, percuma dong beramal baik di dunia?”.

Danjuga lalu diam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kenapa you?”.
“Ck,ck,ck.. jadi ini yang disebut ikhlas karena Allah?”, cibir Danjuga. “Gua curiga, jangan-jangan orang-orang alim itu bertaqwa & beramal saleh karena mengharapkan ‘yang nggak-nggak’ di surga kelak..”. Ia merubah suaranya, alisnya ia naikkan sedemikian rupa. “Ah, aku sih biar masih muda, nggak akan melakukan sex bebas kayak orang-orang sesat itu.. biar nanti aku bisa ngewe sepuasnya sama puluhan bidadari! Hiye-he-he-heh! Atau.. Ah, aku sih sering-sering ngasih sodakoh ke orang miskin, biar nanti dijadikan orang paling tuajirrr di seluruh surga! Atau.. kenikmatan duniawi sih aku jauhin, biar nanti di surga aku lampiasin gila-gilaan!”.

“Sumpah you najis banget tau nggak?”, ujar Makaia. “Emang gila you ya?”.
“Lu bilang nggak ada batesannya? Gua nggak ngebayang betapa chaosnya keadaan surga kalo begitu policy yang diterapkan..”. Danjuga kini mengerenyitkan dahinya seraya melanjutkan penggambarannya soal surga chaotic. “Gimana kalo ada yang pengen mindahin semua yang di neraka ke dalem surga? Gimana kalo ada yang iseng pengen surga hancur-lebur? Gimana kalo ada yang mau membunuh Tuhan?”.

“Stop!”, sembur Makaia. “Kebangetan you! Tuhan itu Maha Kekal! Dia nggak bisa dibunuh!”.
“Kalo ada yang minta dijadikan Tuhan? Dengan seluruh ciptaan alternatifnya sendiri?”.
“Oke! Surga ada bates-bates tertentunya deh!”.

Makaia tersengal meski bukan dia yang paling banyak bicara.

“Mak..”, ujar Danjuga pelan. “Maksud gua.. gimana seandainya, surga itu nggak seperti yang kita inginkan? Gua cuma mencoba melihat kenyataan bahwa imajinasi & keinginan manusia itu hampir nggak ada batasnya.. ada istilah ‘in your wildest dream’.. kita ini lebih rakus dari babi yang paling rakus, dan saat kita sampai di keadaan utopis di mana katanya semua keinginan dijanjikan akan terwujud, maka..”.

“Dear Lord Danjuga! Kalo kita sampai di surga kelak.. elemen-elemen buruk kita akan dihapus! Dan kita akan menjadi sebaik-baiknya keberadaan!”.

“Jadi kita akan kehilangan freewill kita? ‘onderdil’ kita akan dipereteli? Keluwesan kita akan dikurangi? Kita akan jadi malaikat?”.

“Nah!”.
“Kalo nanti lu masuk surga Mak.. lu pengen satu rumah sama siapa?”, tanya Danjuga.
“Ya sama keluarga ay lah!”.
“Yang akan lu jadikan permaisuri dalam istanalu siapa?”.

Makaia tersipu, yang terbayang dalam kepalanya sudah tentu mantan supernya.

“Yah.. Mungkin si Bilasaja..”.
“Itu kalo dia mau!”, kata Danjuga, membuat Makaia melotot. “Kalo dia maunya sama cowoknya yang sekarang gimana?”.

Kalau bukan dalam keadaan sadar, Danjuga sudah pasti dihajar wajahnya oleh Makaia.

Sudah biasa bagi Makaia, kalau Danjuga menanyakan sesuatu, lalu mementahkan jawaban apapun yang dilancarkan Makaia. Tapi kali ini Makaia menganggap Danjuga agak keterlaluan..

“Sekarang ay balik tanya sama you Dan!”, Makaia hampir sampai di batas sabar. “Maksud you apa nih? Kalo mau ngajak ribut yuk di luar! Baru juga kelar lebaran.. Gua curiga, jangan-jangan you yang lagi depresi karena ditinggal keluarga you pada mudik!”.

Danjuga berusaha keras menahan tawa, nyaris ia gagal.

“Makaia kawanku..”, ujarnya. “Gua cuman pengen ngajak lu mikir lagi lebih jauh.. karena mungkin saja, hasrat lu yang paling besar justru nggak terkabul.. Semua orang punya doa masing-masing, banyak di antara doa itu adalah permohonan untuk ‘disatukan’ kembali dengan mereka yang terkasih; Anak, istri, suami, orangtua, teman, kekasih.. lalu bagaimana kalo nggak ada keselarasan di antara keinginan-keinginan tersebut?”.

Makaia diam, amarah belum sebelumnya padam.

“Taro lah ada tiga jiwa perempuan surga yang pengen lu jadi suami surgawi mereka, terus siapa yang bakal memenangkan lu? Apa kau akan diduplikasi? Atau digilir? Atau akan diadakan sebuah sayembara memperebutkan Makaia? Gimana dengan keinginan si Makaia sendiri? Kalo kita akan jadi seperti malaikat flat yang nggak punya emosi, yah.. kemungkinan besar kita tak akan lagi menginginkan apa yang dulu kita mohon-mohon semasa hidup..”.

Makaia tersenyum nynyir seraya berkata, “Now! Membicarakan surga itu seharusnya menyenangkan! Tapi ngomongin surga sama you itu parah banget rasanya tau nggak? Bisa bikin orang terarah jadi atheis!”.

“Mungkin ada bagusnya juga sih.. Karena menurut gua, setulus-tulusnya manusia, salahsatu yang teratas adalah ketulusan para atheis! Mereka nggak mengaharapkan surga atau embel-embel pahala kala berbuat baik! “.

“Yeah.. mereka berbuat jahat karena nggak percaya ada neraka juga?”, timpal Makaia.
“Gua pikir lebih baik daripada berbuat jahat justru demi Tuhan & satu petak tanah di surga!”. Danjuga mengusap dahinya agak keras seperti sedang diserang nyeri. “Orang-orang yang mabuk dan merasa paling benar.. mereka yang bakal paling kecewa jika nanti masuk surga, saat ketemu lagi dengan orang-orang yang mereka kutuk, orang-orang yang ‘harusnya masuk neraka’.. Mereka bakal bilang, ‘Betapa tidak adilnya? Kenapa mereka masuk surga juga?’.. Aneh.. justru surga yang mereka idam-idamkan, menjadi neraka bagi hati & pikiran mereka yang tak puas..”.

“Dan..”, seloroh Makaia. “You bisa bikin orang takut buat masuk surga.. Orang takut mati sebagian karena takut neraka, siapa juga yang suka? Sebagian karena terlalu cinta dunia. Tapi kalau sampai orang takut mati karena khawatir surga mungkin malah akan ‘menyiksa’ mereka? Sepertinya nggak ada harapan ya?”.

“Well..”, Danjuga beringsut ke arah kipas angin listrik di dekat TV lalu menyalakannya. “Tak perlu khawatir lah.. yang penting kan nggak masuk neraka..”.

Angin menghembus rambut Danjuga.

“Yah.. kebanyakan orang pasti udah takut duluan sama neraka dan mikir seperti itu..’, sambung Makaia. “Mereka nggak bakal sempet lagi mempertanyakan seperti apa surga kelak?”.

Danjuga tertawa kecil lalu berkata, “Tau nggak kayak apa? Kayak gembel diciduk lalu dikasih pilihan; ‘Mau dipenjara atau ditempatkan di rumah susun pemerintah?’. Secara psikologis orang punya kecenderungan memilih yang kedua. Tapi seperti apa keadaan rumah susun yang dijanjikan?”.

“Beberapa orang bilangnya sih Dan; ‘Sudah, tak perlu tanya, ada hal-hal yang sebenarnya tak perlu kau pertanyakan!’… Payah tuh.. budak-budak ‘budaya bisu’..”.

“Masalahnya ya..”, sambung Danjuga lagi. “Ini bukan lagi masalah hidup & mati, ini masalah kita akan hidup selamanya di satu tempat.. Lu tau kan Mak, seperti apa yang disebut ‘selamanya’?”.

“Ya nggak ada ujungnya..”, jawab Makaia. “Teruuuuuuuuuuuuuuuuuuuuus
sssssssssssss……”.

“To be an immortal in this planet could be so much painful. But to live forever in an eternal sky where there’s no pain at all, could be even worse..”. Danjuga bersyair.

“We human, wasn’t build to live in such utopian state. And from any myths of our beginning, no one of them are conflictless. That’s not only because we do love conflicts, conflicts too, are within our blood from the very beginning..”, Makaia menyambung syair Danjuga.

“Akan sangat berbahaya..”, kata Danjuga. “Kalau makhluk mencinta konflik macam kita ditempatkan di sebuah lingkungan semacam surga, bisa rusak!”.

“Kan ay bilang sebelumnya, kalau kita bakal dijadikan sebagus-bagusnya makhluk!”.
“Hmm..”, Danjuga mengelus-elus dagunya. “Apa untuk jadi yang seperti itu harus dicelup ke neraka dulu? Pasang satu orang yang hampir sempurna menjalankan amalnya di dunia, dia udah punya free pass ke surga, tapi kan dia masih punya ‘bakat’ bosan, pikiran jahil.. apa kalo gitu artinya dia perlu dicelup juga di neraka sebelum masuk ke surga? Atau nanti aja lah, kalo pikiran-pikiran aneh itu muncul baru dicelup ke neraka?”.

Makaia tertawa.

“Mana ada yang kayak gitu! Udah masuk surga pake dicelup lagi ke neraka!”. Makaia geleng-geleng kepala, ia pikir Danjuga mungkin sudah mulai agak bodoh.
Dia tak tahu saja kalau itu jebakan batman.

“Yang dibersihin di neraka itu ya dosa-dodsanya.. tapi ‘pengurangan kemerdekaan’ mah itu udah otomatis!”.

Danjuga tersenyum, seketika Makaia sadar merasa ‘terjebak’. Hanya saja ia tak tahu terjebak soal apa.

“Kalo ‘penyucian’ otomatis itu bisa dilakukan..”, ujar Danjuga pelan menanjak. “Berarti keberadaan neraka tidak relevan lagi!”.

“Kenapa begitu?!”.
“Kalo yang calon surga bisa otomatis disucikan, kenapa yang calon neraka nggak otomatis disucikan juga? Itu Nggak adil. Menurut gua kalo udah begitu, maka menjalani masa hukuman di neraka sudah tidak diperlukan lagi. Kalo udah seperti malaikat, ngapain juga dihukum kan?”.

“Hey Danjuga!”, seru Makaia. “Bagaimanapun, dosa di masa hidup itu nggak hilang biarpun suatu jiwa sudah ‘dirubah’. Ibaratnya, seorang pembunuh boleh amnesia, tapi korbannya tetep mati kan? Apa dengan penghapusan ingatan, suatu tindak kejahatan bisa di-undo?”.

“Apa penyucian itu harus dilakukan hanya dengan penyiksaan?”.
“Wah-wah.. ini maksudnya apa ya?”.

Danjuga diam, ia duduk di karpet dengan kepala tertunduk. Butiran keringat perlahan muncul di dahinya.

“You kenapa you? Kayak tiba-tiba cepirit gitu?”, tanya Makaia khawatir. “Apa jangan-jangan busyet you?”.

“Busyet?”, tanya Danjuga.
“Dari bahasa Sunda, ‘busyiat’ artinya ‘sungguh-sungguh-trully berak di celana’!”.

Danjuga tertawa keras, dari keadaan gundah, Makaia menariknya mendadak ke suasana yang lain.

“Ya udah..”, ujar Makaia lagi. “Terus kenapa you begitu gundah e?”.

Danjuga menelan ludah seperti menelan gumpalan lumpur pekat.

“Ini lebih berat ngomongnya dari yang terbayang sebelumnya.. Seperti ngaku abis bunuh orang rasanya..”.

“Apa sih?”,tanya Makaia makin penasaran.
“Gua nggak percaya ada neraka..".

Makaia sulit untuk menganggap Danjuga serius ketika ia berkata tak percaya adanya neraka.

“Waktu SMA ay pernah kenal seorang anak yang berusaha keras untuk jadi edan..", ujar Makaia. "Segala macam yang aneh-aneh dia masukin ke paru-paru & perut, bahkan ke pembuluh darahnya. Ada pula yang berusaha keras jadi bad boy, memperbanyak jam terbang ribut, perawanin anak orang, sama kebut-kebutan. Satu lagi, ada yang berusaha keras untuk keliatan ‘edgy’, ada yang bilang dirinya atheis, ada yang hanyut sama Marilyn Manson dan bilang dirinya Anti-Kristus, ada yang bahkan memuja alien. Ay menemukan satu lagi model begitu tepat di depan ay, tapi dengan wujud orang dewasa..”. Makaia memegang bahu kiri Danjuga. “You nggak perlu bilang yang aneh-aneh untuk mendapatkan perhatian, lagian nggak usah ngomong apa pun you udah terlihat cukup aneh kok..”.

“Gua serius Mak..”. Danjuga menepis tangan Makaia dari bahunya. “Gila lu, ngapain gua cari perhatian dengan begini?”.

“Ya you stop lah ngomong yang nggak-nggak! Bentar lagi jangan-jangan you bilang kalo you bisex lagi? Atau malah bilang suka sama anak kecil?”.

“Kok lu menyetarakan perbedaan pandangan ekstrim dengan penyimpangan sexual? Bisex masih oke ya.. tapi fedofil?”.

“Jadi you serius? Nggak percaya surga & neraka?”.
“Hei! Gua percaya ada surga!”.
“Percaya surga tapi neraka nggak?”. Makaia bingung. “Doesn’t make any sense man!”.
“Oke, kalo nggak mau gua sebut surga, pakailah istilah lain; Nirwana atau keadaan Moksa!”.

Makaia diam, ia masih berusaha mencerna jalan pikiran Danjuga.

“Orang yang bilang nggak percaya Tuhan tapi takut sama setan tentu kedengeran lucu, tapi kita bisa saja percaya Tuhan tanpa percaya setan. Begitupula, menurut gua, nggak akan timpang meski kita percaya Tuhan tanpa percaya adanya neraka..”.

“Kenapa gitu?”, tanya Makaia. “Kan semuanya harus ada ‘keseimbangan’; jahat-baik, terang-gelap, surga-neraka..”.

“Terus lu mau menyandingkan Tuhan dengan siapa?”.
“God.. vs.. Satan?”.

Danjuga tertawa lebar.

“Itu sama sekali nggak sepadan Mak! Semua memang harus seimbang.. semua harus ada pasangannya, harus ada lawannya. Tapi kalo kita bicara ‘Tuhan’, kita akan mentok di situ.. karena Dia adalah absolut, Dia adalah ‘equilibrium’ itu sendiri!”.

Makaia mulai paham, itu terlihat dari matanya yang melebar.

“Satu orang pernah bilang ke gua, neraka harus tetap ada untuk menjaga keadaan equilibrium semesta. Tapi neraka suatu hari akan kehilangan fungsinya, kala semua ‘terpidana’ selesai menjalani masa hukuman. Lalu setelah itu apa? Karena bagi gua nggak mungkin Tuhan mampu menghukum satu jiwa pun dengan vonis ‘terbakar di neraka jahanam selama-lamanya..’”.

“Sebab Dia begitu Pengasihnya?”, sambang Makaia.

Danjuga mengangguk setuju.

“Dengar.. kalo lu perhatiin omongan gua yang jauh sebelum ini, gua pernah bilang, semua aktor akan diupah, meski itu peran antagonis sekalipun. Jangan bilang mereka cuma meninggalkan hal yang buruk dengan permainan peran tersebut, karena..”.

“Ya..”, ujar Makaia. “Mereka adalah para penggelap ‘kamar’..”.
“Kamar gelap tempat kita tinggal menunggu ‘Dia Sang Pembawa Lampu’..”, lanjut Danjuga.
“Tapi sori Dan..”, potong Makaia. “Ay tetep sulit menerima ‘ketiadaan neraka’.. Gimana mungkin kejahatan-kejahatan yang kadang ‘gila-gilaan’ itu nggak mendapatkan ganjaran yang pantas?”. Giginnya bergemeletuk, beradu antara geraham atas & bawah. “Sedikit terdengar seperti ‘peringanan pikiran’ bagi mereka yang terlalu takut membayangkan neraka, yang malas untuk beramal & membenarkan kelakuan buruknya hanya dengan menganggap; di akhir nanti cuma surga yang menunggu, Kita bisa melakukan seenaknya? Absurd!”.

“Nah, lu bisa bayangkan kan? Gimana jadinya kalo di dalam kitab suci cuma dijanjikan surga.. tanpa neraka untuk ‘rambu’ pengancam..”.

“Nggak Dan!”, Makaia seperti tiba-tiba meletup. “Tega-teganya you berpikiran seperti itu!”.

Danjuga terkejut.

“Bayangkan mereka yang anak perempuannya diperkosa di depan mata!”, luap Makaia. “Bayangkan mereka yang direnggut hak-haknya oleh pihak yang lebih berkuasa! Bayangkan teroris-teroris bedebah itu! Bayangkan seseorang yang seumur hidupnya menderita karena fitnah! Bayangkan genosida! Bayangkan para produsen & pengedar drugs! Bayangkan perasaan cewek you Yangpula, waktu tahu pacarnya dikeroyok & mati karena dadanya dihantam motor! You bisa ngomong gitu karena you nggak pernah ada di posisi mereka!”. Makaia menatap Danjuga tajam, sesaat ia merasa jijik dengan sahabatnya. “Jika Tuhan Maha Pengasih, Tuhan akan mengasihi mereka yang terzalimi dengan menghukum para pendosa itu dengan layak! Jika Tuhan masih mengampuni mereka, semoga Dia bisa mengampuni diriNya sendiri..”.

Makaia menyudahi kalimatnya dengan gemetar pelan di seluruh tubuh. Ia baru sadar sudah mengatakan hal yang tak terbayangkan.

“Astaghfirullah.. Ngomong apa ay barusan?”.

Danjuga menunggu beberapa saat, lalu tersenyum ke arah Makaia.

“Sejak awal, ini bukan cuma ‘seperti apa pendapat Danjuga’, tapi juga ‘bagaimana pendapat Makaia’. Karena masing-masing dari kita nggak akan benar-benar sama di kepala & di hati, meski seagama pun, apa masing-masing umat bakal seluruhnya sepakat sebegitu persisnya? Keimanan itu adalah suatu hal yang sangat pribadi, bahkan kadang.. terlalu pribadi untuk dibagi.. Tiap kita adalah self-centered bastards & self-centered bitches jika menyangkut yang namanya ‘iman’..”.

Makaia menerbitkan senyum, meski kecil, ‘bunyinya’ menggaung melingkungi ruang.

“Lu mau tau apa yang dibilang Yangpula soal para pengeroyok cowoknya dulu?”, tanya Danjuga ringan.

Makaia melempar pandang teduh.

“Suatu malam, di pelukan gua..”, Danjuga bercerita. “Yangpula menangis deras, dia bilang dia teringat sama pacarnya.. Dia mengeluhkan; “Betapa sulitnya untuk menjadi seorang yang kuat..”. Gua bilang, “Nggak perlu..”. Tapi Yangpula bersikeras, ia ingin menjadi orang kuat bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk dia yang telah pergi, ia bahkan ingin menjadi lebih kuat dari yang pernah ia pikirkan. Yangpula bersikeras, ia mendoakan para pengeroyok itu, agar Tuhan mengampuni dosa mereka, agar Tuhan melimpahi mereka dengan kebahagiaan, mengajari mereka cinta-kasih, agar mereka bisa mengajarkan itu pula kepada anak-anaknya kelak.. “.

Makaia terpaku setengah percaya mendengar cerita Danjuga tentang Yangpula. Sementara Danjuga tak tahan menahan air matanya.

“Kalo memang benar nggak ada yang namanya neraka, kalo lu nggak punya lagi alasan untuk takut..”, imbuh Danjuga. “Apa lu bakal melakukan kejahatan?”.

Makaia berpikir.

Selain neraka di ujung sana, apa lagi yang mencegah kita untuk melakukan keburukan?
Pertanyaannya.. apa kau mampu?

Tuhan Maha Pemaaf, itu sudah jelas, tapi apa kau mampu memafkan dirimu sendiri?
Danjuga percaya ketiadaan neraka, kenapa ia tak berbuat seenaknya?

Danjuga bukan orang yang takut dengan Tuhan, setelah kematian nanti, tak ada yang bisa menakutinya lagi, ia bukan orang yang takut, ia cuma orang yang bersyukur dan ingin terus bersyukur selama ia mampu. Bersyukur baginya adalah menjaga segala yang baik yang Tuhan limpahkan. Sederhana saja.

Suatu malam dalam hening ia pernah membayangkan, karena cuma itu yang bisa ia lakukan untuk menggambarkan sebuah adegan panjang, yang begitu indah, tentang bagamana semua ini berakhir..





Eps.5# Danjuga & Makaia dalam: "Pertanyaan Colongan"

Buka puasa hampir tiba, Makaia baru saja kelar latihan bersama bandnya, ia lalu langsung meluncur ke rumah Danjuga, sampai di sana ternyata kawannya itu tak ada di rumah.

"Kang Danjuga lagi nganterin pacarnya pulang..", lapor Mas Kalauya, pembantu rumah Danjuga. "Mas Makaia tunggu aja dulu bentar..".

Makaia menyesal tak menelepon Danjuga lebih dulu, ia kini terpaksa menunggu.

"Kalo cabut sekarang.. macetnya pasti gila-gilaan! menghambat proses evolusi ay banget!", ujarnya dalam hati.

Makaia lalu menyalakan komputer Danjuga, ia membuka situs ini-itu sebelum akhirnya muncul pertanyaan dalam kepalanya, pertanyaan yang tak bisa ia jawab sejak dulu. Ia mengetik pertanyaan itu di sebuah forum, ia berharap bisa mendapatkan beberapa petunjuk segera.

"Kenapa kita diciptakan? Apa maksud dari kehadiran kita di bumi?".

Tak membutuhkan waktu terlalu lama bagi Makaia untuk mendapatkan respon orang-orang. Makaia tersenyum, tak banyak memang, itu karena mungkin banyak orang yang sama bingungnya. Terutama bagi anak-anak Adam yang hidup di zaman modern seperti dirinya, yang semestanya memang telah terbelah-belah sejak awal dilahirkan.

Sewaktu lahir ia dibisikkan azan, lalu diajari agama sedari dini, bagaimana dunia ini penuh keajaiban yang fantastis, kisah nabi-nabi, wali-wali, orang-orang tercerahkan yang mampu menunjukkan kekuasaan Tuhan secara spektakuler, dan fenomena-fenomena ghaib yang bukan hanya harus dipercaya, tapi juga diimani sepenuh hati.

“Ke mana yang macam itu hari ini?”, Makaia seringkali menanyakan hal itu pada dirinya sendiri. “Apa zaman kemukjizatan sudah lewat? Modernisasi kah yang membunuhnya?”.

Zaman memang selalu berubah, tapi bukankah dunia yang didiami Makaia, Nabi Musa & sunan-sunan masih tetap sama? Bumi yang ini-ini juga! Di masa sulitnya, Makaia sering berujar pada dirinya sendiri.

Makaia & banyak orang mungkin tak sadar tengah dilanda kebingungan, kekecewaannya mengendap di dasar hati terhadap dunia yang jauh sekali seperti cerita-cerita orang tua & guru-gurunya di sekolah Islam. Ia & saudara-saudarinya harus mencari tahu sendiri tentang dunia, belajar sendiri. Kadang.. ia sampai di tempat yang salah, ia merasa bersyukur bahwa ia masih bernafas panjang hingga hari ini, banyak dari kawan-kawan masa kecilnya yang terperosok jatuh ke dalam kegelapan, beberapa dari mereka bahkan ada yang tak bisa hidup sampai hari ini.

Di rumah peraturan begitu ketat, mempertanyakan perintah orang tua seringkali dianggap sebagai indikasi ‘durhaka’. Makaia kesal, apa orang-orang tua itu tak tahu ada apa di luar sana? Apa-apa saja yang anak mereka bisa dapat dengan mudah? Mereka pikir masa ini lebih enak dibandingkan masa mereka tumbuh dulu. Makaia harus tak setuju, justru di masa inilah, di persimpangan abad 20 & 21 inilah, bahaya-bahaya yang laten memakai topeng begitu cantik, janji-janjinya sulit untuk disangkal, apalagi bagi mereka remaja-remaja dengan jiwa berapi-api.

Saat lepas, anak-anak ini seperti peluru liar, habis-habisan, mereguk yang tak bisa mereka peroleh di rumah.

Jangan minum, jangan hirup, jangan telan, jangan kotori dirimu, jangan ikut-ikutan jadi jagoan, jangan pakai, jangan ini, jangan itu.. Masalahnya tidak sesederhana itu!

Tempat yang didiami kita sekarang seperti sebuah film gado-gado, di mana para pemain manusia disandingkan dengan karakter animasi 2D & 3D.. seperti sebuah lukisan pop art dengan berbagai aliran gaya di dalamnya.. Dunia modern yang masih diliputi kepercayaan mistis, dua kutub tradisionalisme dan modern barat menarik kita.. globalisasi yang tak siap kita jelang & membuat semuanya begitu kaget.

Apa yang kita dengar di rumah, apa yang kita dengar di sekolah, apa yang agama bilang, apa yang ingin dilihat tetangga, apa yang ingin dilihat teman-teman kita, bagaimana para pemimpin mengarahkan kita, apa yang media bilang? Yang terakhir itu membuat kita harus mendengarkan pendapat ‘dunia’ juga..

Kita menjalani adegan-adegan dalam hidup sambil setengah bingung, lalu tak lagi yakin.. apa maksud dari keberadaan kita?

Makaia melihat respon dari Servo.. dari sisi religius dia bilang, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah/pemimpin di muka bumi,baik itu pemimpin untuk dirinya sendiri,maupun orang lain. Ada pula sebuah ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk menyembah penciptanya, ada pula ayat yang menyatakan bahwa manusia merupakan sebagian tanda-tanda kebesaran Yang Maha Pencipta.

Dari sisi subjektif Servo sebagai penghuni bumi, manusia diciptakan untuk 3B:
-Ber-Ibadah...
-Ber-Senggama
-Ber-Karya

Ibadah merupakan perwujudan hubungan komunikasi manusia dengan Penciptanya. Senggama merupakan perwujudan hubungan 'ideal' antar sesama umat manusia. Karya merupakan sifat hakiki sang Pencipta yang diturunkan kepada manusia untuk mengisi & menjadi misi hidupnya di bumi,sebelum kembali berpulang pada-Nya.

"Wala Tughoyyir, Hatta Yughoyyir... 'Tak akan ada perubahan, sebelum dilakukan perubahan’.”, kata Servo. “Sepenggal lirik diatas mungkin bisa membantun Makaia dalam menemukan jawaban kenapa manusia diciptakan: 'Untuk membuat Perubahan'. Semoga Makaia mendapat pencerahan... x).”.

Iqbal menyatakan, ia pun masih sebingung Makaia, sementara Haryo, sempat membuat Makaia sedikit bergidik dengan jawabannya.

"Kenapa kita diciptakan? Apa maksud dari kehadiran kita di bumi? Untuk melihat bahwa kita jualah yang akan menghancurkan dunianya sendiri.”, kata Haryo.

Ia bertanya balik pada Makaia, tentang ke mana sebenarnya kita menghamba.

“Kepada The Force kah? kepada sesama mahkluk kah? atau kepada sesuatu yang lebih abstrak, seperti pekerjaan!”.

Disusul pula oleh Dini, yang menganggap tiap manusia memiliki misi masing-masing.

“Masa' manusia dilahirkan hanya untuk sebuah fase yg membosankan seperti:
Lahir-TK-SD-SMP-SMA-KUliah
-Kerja-Nikah-Punya anak-Ngurus anak-Mati...... apakah hanya itu maksud manusia dilahirkan?”, tanyanya.

Terakhir Rizki ikut membuat Makaia bingung dengan berkata, “Untuk menjadi budak Tuhan..”.

Yang terakhir membuat Makaia agak gemas. Jika maksud dari penciptaan kita dilandasi dasar yang negatif macam begitu, apa kita punya harapan?

“Minta dipukul nih orang!”, dumal Makaia.

Ia membaca lagi respon Haryo & Dini, membuatnya mengerutkan kening sambil gigit jari. Telah lama ia gundah soal masa depan, mulai menggeser sedikit-demi-sedikit arah meriam cita-citanya, dari anak band yang bebas ke sebuah sosok suami & ayah dengan pekerjaan yang lebih ‘baik’. Makaia melihat satu-per-satu kawannya menikah & punya anak, ibunya di rumah pun sudah mulai menanyakan soal itu meski tidak secara intens.

Dulu ia berpikir untuk tak akan pernah menikah & punya anak.. kini umurnya terus bertambah, justru masa depan makin membuatnya takut, apa ia akan kesepian di hari tua jika tak memiliki istri & anak-cucu? Sementara seorang kawannya yang juga musisi mengatakan bahwa ‘berkeluarga’ artinya membuang ‘impian besar’. Karakter Siau Hi Ji dalam komik Impeccable Twins mengatakan, “Perkawinan adalah penjara bagi seorang lelaki.”.

Bagi banyak orang jadi kepala rumah tangga sekaligus jadi musisi adalah hal yang hampir mustahil, apalagi zaman sekarang, kecuali bagi mereka yang benar-benar beruntung & mereka yang cukup hebat, those chosen ones.. Makaia bertanya pada diri sendiri, “Am I good enough at this? Or is it my future lay on something else? While music is the only shit where my heart & soul wants to be with..”.

Makaia jelas tak ingin menghamba pada sesama manusia, apalagi pada pekerjaan, karena jika itu yang terjadi, “Sia-sia aja gua dengerin Lennon & Morrissey!”, nilainya. “Sia-sia aja gua jadi seorang Muslim!”.

“Tapi bukan berarti berkeluarga bukan cita-cita besar kan?”.

Makaia terkejut mendengar pertanyaan tersebut, dekat sekali dengan telinganya.

“Wuanjrot youuu!!”, seru Makaia pada Danjuga yang ternyata sudah berada di belakangnya entah sejak kapan. “Ngagetin aja you!”.

Danjuga terenyum. “Pertanyaan di tempurung kepalalu bener-bener nggak ketahan ya Mak?”.
“Yangpula undah you anterin pulang?”, tanya Makaia sambil setengah tersipu.
“Sampai dengan selamat di rumahnya..”, jawab Danjuga.
“Terus kapan you lamar dia?”.

Pertanyaan itu membuat Danjuga salah tingkah tanpa menjawab sepatah kata pun.

“You bisa jawab pertanyaan yang canggih-canggih dengan jawaban sotoy yang kedengeran canggih, tapi jawab pertanyaa simple kayak gitu ngak-ngek-ngok you!”.

Makaia tertawa lebar hampir menetes liurnya, puas sekali.

“Topik pernikahan bukan topik yang nggak menyenangkan, tapi butuh energi ekstra untuk diomongin.. dan gua baru bermacet ria..”.

“Ya.. ya.. bebisaan you aja itu mah..”, ledek Makaia. “Tapi you mau kan nikah sama Yangpula?”.

Danjuga duduk di sebelah Makaia, matanya memandangi screen CPU seraya menjawab, “Gua sayang bener sama yang satu ini, gua pikir, bahkan kalo harus ngebuang cita-cita gua pun, gua rela.. Pastilah gua pengen nikah sama Yangpula. Cuman sama dia gua pengen membuang hari-hari terakhir gua di bumi manusia..”.

“Ya-haaaay! Yang barusan katro banget! Taik! Geli gua!”.
Danjuga memicingkan mata ke arah Makaia. “Sialan, kayak nggak pernah kesamber ‘petir’ aja lu!”.

“Emang beda kalo ngucapin dari mulut sendiri, jelas lebih enak dibanding denger dari mulut orang lain!”. Makaia masih geli. “Tapi serius? You rela ngebuang impian you demi dia?”.

“Ya.. dia itu lah, impian gua Mak. Emang jijay sih kedengerannya, tapi, yang namanya cinta itu bisa dalam sekejap mata…”.

“Ah ngerti ay!”, potong Makaia. “Tema ini berat karena mengandung suatu unsur ‘kengerian’..”.
“Kengerian?”.
“You pasti ngeri membayangkan ‘kemungkinan’ kehilangan Yangpula kalo ternayata you nggak mampu membayar ‘harga’ untuk hidup sama dia.. jadi orang yang ‘tepat’ untuk Yangpula..”.

Danjuga tersenyum penuh siratan-siratan.

“Ay rasa si Dini itu bener..”, sambung Makaia. “Kita memang punya misi masing-masing..”.
“Dan tujuan kita dilahirkan ditentukan oleh sadar atau nggaknya tiap individu atas perannya masing-masing..”, lanjut Danjuga. “Ada yang bisa tercerahkan dengan kesadaran yang spesifik seperti itu, ada pula yang butuh penjelasan lebih epic lagi.. Dan gua liat si Servo ini yang ngasih jawaban ke elu dalam skala yang lebih ‘grand’.”.

“Tapi yang seru si Haryo juga bilang tuh Dan..”, ujar Makaia. “Kita dilahirkan untuk menyaksikan bumi ini runtuh oleh ulah kita sendiri!”.

“Yoi Mak, menurut gua, Tuhan pasti udah merancang akhir dunia sejak awal, manusia lah yang akan jadi eksekutornya. Itu udah kodrat kita. Kalo di film The Matrix, si agent Smith bilang.. ‘Manusia itu paling mirip sama virus; makin banyak-makin merusak, dan itu nggak terelakkan!’”.

Makaia mengerenyitkan dahi, ia nampak kurang setuju. “Seandainya kita hidup secara harmonis dengan alam gimana?”.

Danjuga menggeleng. “Itu kabar buruknya Mak, karena gua pikir itu mustahil! Alam ini selalu mampu mencari cara untuk menciptakan keseimbangan.. tapi manusia bergerak terlampau cepat.. apa alam bisa mengimbangi mereka? Gua sih ragu..”.

Danjuga menyalakan rokoknya. “Bayangin Mak.. Planet Bumi ini ukurannya begitu besar dibandingkan jika seluruh kepala manusia bumi disatukan.. kita dulu mikir.. sesuatu sebesar Bumi nggak mungkin lah bisa kita sakitin, tapi lihat hari ini.. seperti virus malaria yang ukurannya mikroskopik mampu membunuh satu manusia, kita pun ternyata mampu merusak sebuah planet besar, kita bahkan mungkin mampu membuatnya mati.. Cuma manusia Mak, bukan makhluk lain, cuma manusia yang diberi ‘kemampuan’ macam begitu sama Tuhan..”.

“Tapi Dan..”, Makaia dengan muka sedih. “Bukan cuma itu kan peran manusia?”.
Danjuga berdiri dari duduknya, ia meregangkan otot-ototnya yang kaku-pegal. “Gua setuju banget sama Servo soal beribadah, bersenggama & berkarya. Secara hakiki memenuhi dharma kita Hablumminallah-Hablumminannas, proses pemenuhan terhadap raga-jiwa-ruh..”.

“Apa bedanya juga antara jiwa sama ruh?”, tanya Makaia.
“Jiwa pasti lu udah tau kan.. sama aja seperti yang kita sebut ‘arwah’. Energi/chakra yang punya kesadaran & identitas tersendiri. Danjuga punya arwah sendiri, Makaia pun punya arwah sendiri, keduanya berbeda dengan ciri masing-masing. Energi yang dinamakan ‘jiwa’ itulah yang akan pergi meninggalkan raga mati kita kelak..”.

“Energi ya?”, tanya Makaia sambil gigit kuku di ibu jarinya.
“Kita suka liat tuh di program-program fenomena arwah buatan Amerika, para ‘ghostbuster’ itu dilengkapi alat pengukur elektromagnetik untuk menditeksi keberadaan hantu gentayangan.. Gua pikir yah.. masuk akal juga sih gadget canggih begitu digunakan untuk mencari suatu hal yang sifatnya ‘ghaib’ macam hantu, soalnya—balik lagi keThe Matrix, kaum robot kan menggunakan listrik yang ada/dihasilkan tubuh kita sebagai batere mereka.. “.

“Nah, kalo ruh?”, tanya Makaia lagi.

Danjuga menelan ludahnya berat, seperti ada biji rambutan tersangkut di lehernya.

“Ruh, atau kalo orang Hindu menyebutnya sebagai ‘Atman’.. adalah unsur prana illahiah yang sama di tiap makhluk.. seperti digambarkan dengan istilah ‘force’ di film Star Wars.

“Force itu kan semacam kekuatan yang dipunya para Jedi & Sith, buat bikin kontal musuhnya, atau semacam ajian berbentuk listrik dan shockwave?”, ujar Makaia sambil menirukan gerakan-gerakan ala ksatria Jedi.

“Tapi kan Mak..”, Danjuga menyambung. “May the force be with you!”.
“Ha?”.
“Maksudnya selain ada ungkapan ‘Your force are weak in you!’, ada juga ungkapan yang lebih populer: May The Force be with you!' Maksud dari ungkapan itu apa kalo lu pikir?”, tanya Danjuga menggoda. “The Force, seperti si Haryo bilang, adalah penamaan terhadap Tuhan di semesta Star Wars!”.

Makaia mengerenyitkan dahi. “Ay bener-bener nggak tau ke mana jalannya penjelasan you!”.
“’The Force’ adalah ‘Tuhan’..”, kata Danjuga gemas. “Tapi masing-masing Jedi atau Sith bisa menggunakan force pula.. berarti yang mereka gunakan semacam..”.

“Energi Tuhan?!”, sambar Makaia. “Gitu?”.
“Kurang lebih begitu!”, seru Danjuga seperti lega akhirnya kawannya itu mengerti. “Jadi kalo jiwa itu adalah ‘elu’, maka ruh atau atman adalah..”.

“Tuhan?!”.
“Yang bercokol dalam ‘elu’ dan makhluk lainnya tanpa terkecuali!”.
“Youuuu!! Syekh Siti Jenar you!”, Makaia menunjuk-nunjuk. “Ntar Wali Songo bangkit lagi dari kubur buat menggal kepala you! Make piso mentega! Terus mayat you berubah jadi anjing!”.

“Terus terang ya my dear friend..”, Danjuga menunjukkan lagi mata ‘samurainya’. “Gua emang ngerasa banyak banget kesamaan pikiran dengan orang itu.. bahkan sebelum gua baca apa pun tentang dia, ada beberapa hal di kepala gua tentang ketuhanan yang mirip banget sama pemikiran dia.. Jadi kalo lu lebih jauh lagi menghina dia..”.

Makaia gemetar melihat tatapan Danjuga.

“Please comrade.. don’t kill me..”.
“Lebay lu nyet..”, ujar Danjuga. “Mau gua lanjutin lagi nggak nih?”.
“I-iya deh.. apa kata pak samurai aja..”.
“Balik lagi ke ruh atau atman.. yang adalah Tuhan dalam diri kita..”.
“Ay tetep serem ngebayangin itu Dan.. terus terang deh.. ay nggak bisa boongin diri sendiri kalo yang satu ini.. I mean.. how could you? Bilang kalo Tuhan ada di dalam diri kita masing-masing? Jadi Tuhan itu banyak banget dong? Dan kita punya Tuhan pribadi dalam tiap individu?”.

“Ya.. lu sendiri percaya kalo Tuhan ada di mana-mana?”, danjuga melengos sebal. “Kenapa dia nggak bisa ada di dalem kita? Di dalem kau, aku, mak-babah lu, kucing lu, ikan mas gua..”.

Makaia tidak pernah segelisah ini dalam bincang-bincangnya bersama Danjuga, ia ngeri membayangkan betapa kawannya itu sudah sampai di bagian bahwa di dalam tiap manusia ada Tuhan. Perutnya merasa agak mual.

“Lu mau gua stop aja apa gimana?”, tanya Danjuga. “Gua nggak mau abis ini kita malah jadi musuhan..”.

Makaia diam, ia garuk-garuk kepala memandangi kawannya. Danjuga menghembuskan nafas.

“Selain Siti Jenar, ada dua orang lagi yang ajaran ‘sesatnya’..”.

Danjuga tersenyum kala menyebut kata ‘sesat’. “Mempengaruhi cara pandang gua terhadap ketuhanan.. yang satu adalah sufi Persia bernama Mansur Al-Hallaj, yang dihukum mati secara brutal karena bilang; ‘Akulah kebenaran, Anna Al-Haqq!’. Yang satu lagi.. Jalaludin Rumi.. hmm.. bentar yak Mak..”.

Danjuga kemudian mendekati rak bukunya di sebelah TV, ia nampak mencari-cari sesuatu.

“Nah!”, serunya kala mengangkat sebuah buku. “Buku syairnya Jalaludin Rumi!”.

Danjuga lalu membuka halaman-halaman buku syair tersebut.

“Ini-nih.. syair Rumi favorit gua Mak.. baca dah!”. Danjuga memperlihatkan sebuah halaman penuh tulisan berwarna biru tua pada Makaia.


AKU ADALAH KEHIDUPAN KEKASIHKU

Apa yang dapat aku lakukan, wahai umat Muslim?
Aku tidak mengetahui diriku sendiri.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Majusi, bukan Islam.
Bukan dari Timur, maupun Barat.
Bukan dari darat, maupun laut.
Bukan dari sumber alam, bukan dari surga yang berputar,
Bukan dari bumi, air, udara, maupun api;
Bukan dari singgasana, penjara, eksistensi, maupun makhluk;
Bukan dari India, Cina, Bulgaria, Saqseen;
Bukan dari kerajaan Iraq, maupun Khurasan;
Bukan dari dunia kini atau akan datang: surga atau neraka;
Bukan dari Adam, Hawa, taman Surgawi atau Firdaus;
Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak.
Baik raga maupun jiwaku: semuanya
adalah kehidupan Kekasihku ...

Makaia tersenyum begitu habis membacanya, ia memandang ke arah Danjuga seolah ada mau.

“Apa lu?”, tanya Danjuga galak. “Pasti mau minjem? Kagak ada! Baca di sini aja! Yang kemaren aja belom lu balikkin!”.

“Dan..”, ucap Makaia pelan. “Dia menggambarkan Tuhan secara keren banget!”.
“Kalo gua bilang.. dia itu terbakar api cinta kepada Tuhan sampe gosong-song-song!”.

Keduanya tertawa membayangkan bagaimana seorang kakek tua berwajah timur-tengah terbakar sambil berlarian.

“Lanjut!”, seru Makaia semangat. Danjuga bingung melihat temannya itu tiba-tiba berubah segar kembali.

“Musisi emang musti dipancing sama yang berbau seni macam begini dulu ya?”, ledek Danjuga. “Ya.. Siti Jenar & Mansur Al-Hallaj, keduanya dianggap menyebarkan ajaran yang sesat, tapi dari pandangan lain, bukan itu alasan kenapa mereka dihukum, tapi karena keduanya telah menyebarkan ajaran yang ‘eksklusif’ tahap ekstasi selevel ‘Ma’rifat’.. itu terlalu canggih buat kebanyakan orang, yang malah bisa salah tangkep nantinya. Bagi yang lain, itu bisa dianggap indikasi ‘mempertuhankan diri’, bisa juga malah bikin orang terjerumus dalam kondisi ‘zhadab’; kegilaan berlebihan terhadap Allah! Karena itu ajaran ini nggak boleh sembarang disebar-luaskan, soalnya man! Baru dipikirin aja udah berat bukan-maen kan?”.

Makaia mengangguk setuju.

“Bukan berarti kita ini Tuhan karena nganggep kita mengandung ‘Dia’..", kata Danjuga. "Sebenernya malah, kalo gua sih ya mikirnya, justru kita & seluruh alam semesta itu berenang di dalam ‘Dia’ Yang Maha Luas, hingga tiada satupun yang tertinggal, semua terkena dan nggak akan mampu menghindar.. bahkan gua lucu membayangkan seorang atheis yang ogah percaya Tuhan tapi nggak berdaya apa-apa karena bagaimanapun Tuhan tetap ada bahkan di dalam dirinya..”.

“Iya-ya..”, Makaia menyambung. “Seperti satu orang yang bilang; ‘Dalem perut gua tuh nggak ada yang namanya usus!’. Tapi gimana dong? Ya emang ada gitu loch!”.

Danjuga menunjukkan ekspresi jijik mendengar ‘gitu loch’ dari mulut Makaia.

“Yah.. intinya mah.. terserah orang apa mau melihat antara dirinya & Tuhan itu terpisah, atau dirinya & Tuhan itu satu..”, jelas Danjuga.

Makaia memegangi dadanya, dirasakannya jantung berdegup lebih cepat.

“Indah sekali..”, pikirnya. “Di dalam tiap Transformer ada ‘Allspark’, dan di tiap ‘kita’ adalah ‘Dia’..”.

Danjuga dalam hatinya berharap-harap cemas, meski ia yakin, Makaia memiliki pikran & hati yang luas. Danjuga berharap Makaia kini tidak merasakan apa pun kecuali ‘lebih dekat lagi dengan Allahnya’, kekasih sejati semua-semua.

Molekul, atom.. jika kita bisa menemukan bahan ‘terdasar’ dari segala hal, titik terkecil yang mempolakan segala sesuatu.. Dialah yang akan kita temukan.. sebagaimana sinyal-sinyal digital adalah bahan baku apa pun yang bisa kau temukan lewat komputeramu..

Danjuga ingin sekali diam dan menunggu reaksi selanjutnya dari Makaia, tapi ia tak sabar.

“Gua malah mikir yang mungkin bisa bikin lu lebih ‘marah’ lagi..”.
“Ha? Apaan tuh?”, Makaia penasaran.
“Huff.. gua mikir.. kita semua ini adalah Dia yang menitis, ‘membelah diri’ lewat identitas jiwa & raga..”.

“Manifestasi?”.
“Semacam itulah.. dan oleh jiwa & raga, pula masing-masing dari kita terhalang terhadap kesadaran ‘sempurna’. Gua menyebutnya; ‘sudut pandang fana’. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu, ‘tembok penghalang’ itu bisa menipis.. Dalam cerita Mansur Al-Hallaj, di hari-hari terakhir ia justru memohon agar hidupnya segera diakhiri agar ‘tembok’ itu hilang..”.

“Apa ini bikin you & ay jadi ma’rifat Dan?”, tanya Makaia dengan nada bimbang.
Danjuga tersenyum. “Gua pikir, kita jangan berusaha mengemban sesuatu yang nggak bisa kita topang.. apa sih yang kita tahu? Nggak ada apa-apanya Mak! Gimana kalo kita sombong & takabur? Kita malah jadi jauh dariNYa.. kita akan merasa paling benar, kalo dengan sesama manusia aja kita bikin tembok satu-sama-lain? Gimana mau deket sama Dia?”.

“Bangsat!”, seru Makaia tiba-tiba.
“Ada apaan Mak?”, tanya Danjuga cemas. “Sakit lu?”.
Mata Makaia menerawang. “Ay pernah bertanya-tanya dulu.. sebenernya, ‘takdir’ itu ditentukan oleh manusianya sendiri atau sudah digariskan oleh Tuhan?”.

“Astaga dragon..”, gumam Danjuga yang dengan cepat menyadari apa yang dipikirkan kawannya.

“Dari pembicaraan kita ini, semuanya bisa jelas, bahwa takdir memang ditentukan Tuhan..”
“Tapi Tuhan ada dalam diri kita..”, sambung Danjuga. “Maka..”.
“Maka ‘kita’ lah yang menentukan takdir!”, sambar Makaia pasti.

Keduanya saling menatap.

“Yahuuuu!!”, seru Danjuga & Makaia.

Mereka saling mengadu telapak tangan dengan wajah girang, seperti habis menang lotere.

“Merdeka!”, seru Makaia.
“Hidup demokrasi!”, sambut Danjuga, yang tak lama meluncur ke arah dapur untuk mengambil sesuatu di kulkas.

“Kalo bukan bulan puasa, gua akan menuntut bir atau a-mer, tapi karena bulan puasa, marilah kita kurangi luxury kita..”, ujar Danjuga sambil menyodorkan segelas coca-cola dengan es melimpah. Mereka berdua lalu toast, mengadu gelas satu-sama-lain sebelum menyeruputnya dengan suara keras.

“Ach! Kafeinnya!”, desis Danjuga.
“Ach! Gulanya!”, balas Makaia. “Menjalar ke mana-mana!”.

Mereka menyeruput sedikit demi sedikit minuman mereka, begitu tandas, Makaia kembali tak mau tenang.

“Edan!”, keluhnya. “Kita ngalor-ngidul nggak karuan lagi Dan! Kalo menurut you.. apa dari tujuan & maksud kita diciptakan?”.

Danjuga tersenyum simpul seraya sadar bahwa kawannya itu mudah sekali dililit rasa penasaran.

“Gua sih ragu..”, kata Danjuga. “Apa yang gua bilang ini penting.. karena gua rasa sih, lu udah tau sendiri, ditambah lagi masukan-masukan dari kawan-kawan lu di dunia maya..”.

“Karena ay pengen tau pendapat you!”, ujar Makaia bernada jengkel. “Udah buru da-ah!”.
“Hmm..”, danjuga memulai. “Tujuan kita ada di sini adalah sekedar merasakan cinta.. dan pada akhirnya cuma itulah yang akan menjadi penting..”.

Makaia menyimak.

“With grace we shall suffer, with grace we shall recover, there by the grace of God.. itu sepenggal syair Manic Street Preachers.. Buat gua, artinya bahwa kasih Tuhan bukan cuma bisa membuat kita senang, tapi juga bisa bikin kita merana, meski begitu, dengaan kasihNya pula kita akan dipulihkan.. Di Hindu kita kenal Siwa sang Dewa Pelebur, ia bekerja agar Brahma bisa mencipta kembali, bahwa Siwa menghancurkan & merusak, agar yang baik-baik bisa tumbuh. Itu mengajarkan bahwa Tuhan, bahkan kala Dia menimpakan petaka pun, Dia melakukannya dengan segenap cinta terhadap kita..”.

Makaia menyandarkan tubuhnya di kursi, perkataan Danjuga terdengar seperti musik di telinganya, mengalun perlahan.

“Ajaran Nasrani mengatakan, ‘kalo pipi kananmu ditampar, kasih pipi kirimu’.. Itu keren banget man! Dan pengorbanan Kristus dalam penyaliban untuk menebus dosa manusia itu adalah penggambaran yang luar-biasa, tentang betapa cintaNya tiada berujung.. Betapa kalau perlu, Yang Maha Kuasa pun rela untuk lahir sebagai manusia dan menjalani perih tiada tara demi kita..”.

Hati Makaia bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. Terakhir menonton film Passion of The Christ, ingatnya, ia menangis seperti bocah perempuan.

“Ada alasannya..”, Danjuga melanjutkan. “Kenapa di awal melakukan sesuatu kita diajari untuk mengucapkan Basmallah.. Karena itulah juga awal dari penciptaan segalanya, karena Tuhan memulainya dengan ‘Maha Kasih & Sayang’, karena itulah yang seharusnya paling kita cari & harapkan, karena Tuhan ingin kita pun melakukan segala hal diawali & didasari dengan kasih-sayang. Dia adalah Cinta, yang menyempil & meliputi apa pun..”.

Danjuga mengambil nafas, jantungnya pun berdebar, ia berusaha agar tidak menitikkan air mata.

“Allah mengambil kebanggaan, Dia mengambil orang yang kita kasihi karena Dia mencintai kita.. Dia menggelapkan ‘ruangan’ ini agar ketika Dia datang membawa ‘lampu’, maka kita akan berkata, ‘Terimakasih Ya Gusti, Kau selamatkan kami dari kegelapan, betapa indah cahaya yang Engkau bawa, sebab itu dia tak menciptakan segalanya sempurna & terang-benderang sejak awal, kalau ya? Apa ngaruhnya sebuah lampu di kamar yang udah terang duluan?”.

“And all of this are His Exhibition ..”, sambung Makaia. “Sebuah pesta pameran karya-karyaNya.. dan kita ada di sini karena memang Dia undang.. untuk berapresiasi, untuk experiencing love..”.

“Siapa yang akan membuat lagu tentang indahnya langit kalo bukan manusia?’, ujar Danjuga.
“Siapa yang bakal begitu penasarannya ada apa di seberang samudera kalo bukan kita?”, sahut Makaia.

“Siapa yang akan mengucap syukur kala makan malam siap?”
“Siapa yang akan menghargai benda mati bernama emas segitu tingginya?”.
“Siapa lagi yang akan selalu mengkritik karya-karyaNya?”.
“Siapa lagi yang bakal mencoba melukis seperti apa wajahNya di dinding goa?”.
“Siapa lagi kalo bukan kita? Yang karena kebingungannya, selalu minta petunjukNya?”.
“Siapa lagi kalo bukan kita? Yang ogah mengakui keberadaanNya,tapi ikhlas memberi kebaikan tanpa mengharapkan surga? Yang tanpa sadar malah mewakili kebaikanNya di dunia..”.

“Siapa lagi kalo bukan kita? Yang mengolah gandum jad bir?”.
“Cuma kita yang begitu repot isi kepalanya..”.

Danjuga & Makaia akhirnya sama-sama terdiam sambil terenyum, bersyukur karena telah diikutsertakan dalam film yang berjudul ‘Kehidupan’.

“I’m gonna play this role so well!”, seru Makaia dalam hati.

May The Force be with you all!

Jumat, 18 September 2009

Bocah lelaki bersandar di kuda

Design yang gua ambil dari salahsatu lukisan di rumah gua ini, gua pilih karena mencitrakan sebuah kasih sayang yang universal..

Cinta bukan untuk hanya sesama manusia, tetapi yang lebih luas lagi, bisa saja lintas spesies.

Bocah itu memejamkan mata, apa ia tertidur?
Bocah itu menyandarkan kepalanya? Atau berusaha mendengarkan sesuatu menggunakan 'karna'nya?
Mungkin dengan memejamkan mata ia bisa melihat lebih jelas, lebih luas..
Jika kita mendengarkan sesuatu lekat-lekat, apapun itu.. maka kita bisa mendengar suaraNya..
Lewat nafas kuda kita bisa mendengar suara kehidupan, bagaimana Sang Maha Pencipta menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, bagaimana Dia menciptakan segala sesuatu dengan cinta yang tak terukur..

Lalu perhatikan bagaimana kuda itu menoleh & memperhatikan si bocah yang nampak begitu nyaman.. Kuda itu mungkin mengerti..
Ia tak bisa bahasa lisan kita, namun bahasa non-verbal justru memiliki jangkauan yang lebih luas.. apa kita bisa menyampaikan perasaan kita kepada seekor hewan?
Jawabannya kau bisa tahu sendiri, apalagi yang pernah punya hewan piaraan di rumah.
Jangankan hewan, sebuah benda mati sekalipun bisa kita curahkan kasih-sayang.. yang kita urus sepenuh hati, yang kita rindukan & cari gelagapan saat 'ia' tak ada di tempat..

Kasih sayang, harapan yang ia timbulkan, dan proses pemecahan misteri kehidupan.. itu yang diwakili oleh gambar ini..

Shalommualaikum!