Sabtu, 22 Mei 2010

Eps.11 Danjuga & Makaia dalam: "Anjing Menyambut Majikan" #1

Haha! Anjing! Dasar alay-alay!”, seru Makaia seraya muncul dari pintu, mengejutkan Danjuga yang tengah sebuk mengerjakan tugas kuliahnya di laptop. “Tau nggak Dan, tadi ada SMS nyasar ke HP ay, dan bahasanya man! Anjing! Mungkin warga Saturnus dia.. ‘L d mna, ma bkn W C Bwekazzie’. What the fuck! Alay-alay! Hahaha!”.

Danjuga mengerenyitkan dahi, itu ungkapan halus bagi kawannya bahwa ia merasa agak terganggu, tapi Makaia tidak bisa diharapkan mengerti tanda macam begitu, ia terus mengoceh.

“You know.. harus ay akui, mbak-mbak sekarang makin cakep man! Liat mbak-mbak mall, kadang tukang pulsa, mereka seolah berevolusi, yang kalo diem nggak bakal ketauan, tapi pas ngomong? Wahaaa! Baru ketauan! Sementara cowoknya, makin ganteng kagak, makin norak iye!”.

“Udah?”, tanya Danjuga memotong. “Puas lu Mak?”.
“Ha?”.

Makaia bingung atas reaksi Danjuga.

“Udah puas belom? Ngata-ngatain mereka? ALAY-ALAY itu? yang sering nongol di Dahsyat, yang demen pake baju ‘skater’, atau kemeja flannel dengan tulisan besar di dada? Yang dengerinnya ST12 sama Kangen?”.

“Apaan sih you Dan? Reaksi itu..”.

Danjuga menghembuskan nafas, ia lalu menyalakan rokoknya.

“Terus terang ye Mak, gua kurang suka mendengar dan menggunakan kata ‘alay’, entah kenanya di elu apaan, tapi buat gua, itu terdengar merendahkan.”.

“Well.. they deserves it..”.
“Sekarang gua tanya, kenapa? Karena bahasanya norak? Karena suka centil sama cewek-cewek? Mereka yang nggak pernah mengeyam pendidikan seperti lu, terus lu harapin bakal bertingkah atau berpikir sophisticated macam lu? Kayaknya kurang adil deh Mak. Atau karena musik mereka? Gaya mereka?”.

Makaia diam, ia samasekali tak menyangka kawannya akan bereaksi macam begitu.

“Alay itu definisinya apa sih Mak? Yang bisa gua prediksi, saat lu tau definisinya apa, lu bakal malu sendiri.”.

“Tunggu deh Dan..”.
“Coba kita liat sekarang..”, Danjuga tetap lanjut. “Muka melayu, berpendidikan minim, selera seni rendah, sering nongol di Dahsyat atau konser Slank dan Iwan Fals, kalo Persija tanding suka berbondong-bondong ngerusuh, oh.. satu lagi ya jangan lupa.. mereka miskin.. gitu?”.

“Dear God Dan..”.
“Shame on you..”.

Wajah Makaia memerah, ia merasa agak terpojok.

“You kerasukan ya?”, tanyanya. “Kenapa jadi ay yang dibombardir begini?”.

Danjuga menarik nafas, yang keluar dari mulut dan hidungnya adalah asap nikotin.

“Karena banyak dari kita yang suka menggunakan ‘kata itu’ dan menganggapnya lumrah, bukan berarti kita harus ikut-ikutan arus kan Mak?”, tanya Danjuga, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Gua nggak setuju untuk ikut menganggapnya asik untuk dipakai, gua keberatan dengan ‘nilai’ yang ada di balik penggunaannya. Lu nyadar nggak sih, apa yang kita perbuat itu hanya menciptakan tembok pemisah? Dan dengan kenyataan bahwa definisi alay itu melibatkan pula unsur diskriminasi kelas sosial-ekonomi, hanya bikin gua malu, sangat-sangat malu..”.

Makaia termenung mendengarkan tiap kata Danjuga, meski begitu, dalam hati ia sedikit senang, mungkin ini adalah perbincangan ‘berat’ selanjutnya dengan sang sahabat.

“Alay-alay itu saudara kita sendiri Mak.. mungkin terdengar klise ya?”.
“Nggak kok Dan, you bener, sangat-sangat bener.. ay minta maaf ya..”
“Sebenernya nggak perlu minta maaf ke gua Dan, tapi rasa menyesal itu bagus sih.. ck.. alay itu macam istilah ‘nigger’ buat saudara kita sendiri.. “.

“Alay kan.. singkatan dari ‘anak layangan’..”.
“Yah.. ‘Aborigin’, kata itu datang dari ‘Ab-Origin’, ‘Ab’ di sini sama seperti yang dipakai dalam ‘Abnormal’.. nah, lu tebak sendiri maksudnya apa.. Mirip juga dengan pemakaian istilah ‘Bushman’ untuk orang pribumi Kalahari di Afrika Selatan..”.

“Oh, orang-orang yang di film ‘God Must Be Crazy ya?”.
“Nah.. yang satu itu artinya orang semak..”.
“Lha? Terus?”.
“Bukan karena arti kata secara harfiahnya Mak yang jadi soal, tapi kekuatan merendahkan yang ada di balik istilah itu sendiri yang taik.”.

“Terus apa yang kita pelajarin selama ini? Demokrasi? Persamaan & kesetaraan derajat? Mana? Terserah orang mau bilang gua lebay, kalo mereka sebut orang-orang itu alay, maka gua pun lebih baik jadi alay daripada mereka yang hipokrit macam begitu!”.

“Shhht.. Dan..”, Makaia melekatkan jari telunjuk di bibirnya. “Jangan segitu kerasnya dulu, ide you mungkin masih terlalu hard buat mereka yang terbiasa berpikir seperti.. yah.. seperti ay..”.

“Iya, gua ngerti sih Mak, sorry ya, tiba-tiba aja gua meletup saat lu dateng sambil bengak-bengok begitu..”.

Makaian cemberut.

“Emang, selalu ay yang jadi tumbal target awal you!”.

Danjuga tertawa bersahutan dengan Makaia.

“Gimana ya kalo.. ehm.. misalnya gua ditakdirkan jadi..”
“Alay?”, sambung Danjuga, membuat Makaia tersipu malu sambil mengangguk.
“Well..”, Danjuga menyentuh-nyentuh dagunya sendiri. “Terus terang, gua sangat bisa bilang, bahwa setengah dari yang gua punya sekarang, lebih dari setengahnya tinggal gua nikmatin sejak gua lahir, maksud gua, buyut gua dulu orang terpelajar di desa, kakek gua pengusaha sukses, mak gua juga orang terpelajar yang berkecukupan, lalu lahir gua, Danjuga, cowok Jakarta kelas menengah yang bisa menikmati akses informasi cukup dan sekolah di institusi pendidikan yang secara nasional oke.. saat lu membandingkan diri dengan mereka yang nasibnya nggak lebih baik dari lu, apa yang bisa dibanggain coba?”.

“Well.. sebagian orang mungkin suka begitu biar ngerasa diri mereka lebih baik aja, karena mungkin nggak ada lagi yang bisa dibanggain dari dirinya sendiri selain ‘nasib mujur’.. itu tamparan buat diri ay juga lho..”.

Danjuga tersenyum.

“Suatu hari.. di panas yang terik..”.
“Sadiiiiss… pujangga kita rupanya..”, ledek Danjuga.

Makaia memberi isyarat biar Danjuga tenang, ia lalu melanjutkan, “Suatu hari di panas terik, ay naik bus ke sebuah perumahan elit di daerah Pluit, niatnya, mau janjian sama temen-temen kampus di sports center, di sana ada kolam renang di pinggir pantai, ada pool bilyard, ada restoran dilengkapi bar, ach.. asoy lah pokoknya.. tapi saat ay masuk lewat gerbang depan perumahan, dua orang satpam memandang ay dengan tatapan curiga, dari atas-ke bawah-ke atas lagi untuk memastikan. Si satpam yang mukanya melayu sama kayak ay, bertanya; “Mau ke mana?”. Ay lalu jawab; “Mau ke sports center pak.”. Diam sebentar si satpam songong, kemudia bertanya lagi sinis; “Mau apa?”.”.

Makaia lalu menampakan wajah kesal komikal.

“Ya mau apa lagi di sports center?! Mau buang limbah nuklir?! Mau ngebangkitin mayat Lenin?!”.

Danjuga cekikan membayangkan tiap hal yang diilustrasikan kata-kata sobatnya.

“Itulah!”, lanjut Makaia. “Itulah titik di mana ay bisa merasakan perasaan ‘orang-orang kalah’ yang ‘dengan sangat menyesal ay hina tadi’! The fuck with it man!”

Mereka berdua lalu terdiam sesaat sebelum Danjuga tersenyum.

“Sebenarnya sangat menarik untuk membahas fenomena ini, well.. the history of alay if we may say.. dari mana mereka datang? Karena kita biasa menggunakan istilah ‘anak kampung’ untuk merujuk ke kelompok sosial yang kurang-lebih sama.. gua pikir keberadaan mereka mulai ‘mengganggu’ karena media lokal kita telah dipenuhi oleh mereka.”.

Makaia mengangguk.

“Bisa nggak sih kita bilang kalo sejarah kebangkitan mereka dimulai sejak reformasi?”.
“Reformasi?”, tanya Danjuga.
“Yah.. kita kan udah pernah mengalami era 90an Dan, dan kita bisa liat tuh, jaman itu, belum ada tuh band-band macam Radja atau ST12, yang dulu mewakili kelas menengah ke bawah urban Jakarta adalah musik Dangdut, dan kalo yang sudah beralih ke musik rock, mereka mendengarkan banyak rock Malaysia, rock barat macam Guns n’ Roses, dan tentu saja jangan lupa, Iwan Fals dan Slank!”.

“Hmm.. ya.. gua inget!”.
“Paling nggak Dan, selera musik mereka dulu, menurut gua lebih baik, dan buat cowok-cowoknya, sangat manly!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar