Sabtu, 22 Mei 2010

Eps.11 Danjuga & Makaia dalam: "Anjing Menyambut Majikan" #2

“Terus kenapa mereka beralih ya?”, tanya Danjuga.
“Era rock dan alternatif berakhir di penghujung 90an, semangat-semangat musikalitas modern yang sophisticated emang sempet meletup beberapa saat, tapi karena nggak bisa mengena ke masyarakat yang terlalu luas, dengan cepat booming mereka di wilayah mainstream memupus dan tersingkir di wilayah indie lagi. MTV Indonesia mulai nyampah, majalah-majalah remaja makin less educated, radio-radio anak muda merombak ulang terminologinya soal apa yang keren karena kehabisan selera akan humor cerdas bersamaan dengan matinya Lupus, dan.. Sheila on7 akhirnya muncul!”.

“Woooow! Sotoy!”, ganggu Danjuga.

Tapi Makaia cuek, menurutnya kali ini giliran ia mengoceh, karena jelas, dia yang anak band, bukan Danjuga yang filsuf karbitan ngasal itu.

“Lalu tibalah era reformasi! Kebebasan media yang gegap-gempita, era DVD bajakan dan boom internet, setelah kesuksesan Sheila on7, muncul pula Peter Pan, yang disusul Radja, nah, menurut gua jembatannya terletak di antara Peter Pan menjelang ke Radja, di mana orang-orang generasi yang lebih muda dari luar Jakarta mulai meninggalkan Dangdut untuk mencoba musik pop-rock, dengan catatan, bahwa tema dan penggunaan variasi kata dalam lirik-liriknya malah lebih misikin dari Dangdut!”.

“Ha? Maksudnya?”, tanya Danjuga.
“Yah.. you coba peratiin baik-baik, tema musik Dangdut itu luar-biasa kaya, dan lebih detil pula, misal nih, tentang gali lubang-tutup lubang, tentang istri yang mandul, tentang begadang, tentang suami yang nggak pulang-pulang, judi, dan banyak tema percintaan yang diceritakan dengan sangat apik dan dramatis, di sana kadang muncul keterangan soal waktu, tempat, penjelasan soal status sosial, menjadikan Dangdut truly-madly folk!”.

“Bener juga Mak, gua peratiin kosa kata dalam lirik lagu-lagu band-band kacrut itu udah kayak templates aja, itu-itu lagi yang dipake, bosen banget! Temanya juga… hadoooohhh!”.

“Itungan yang gampang nih Dan..”, lanjut Makaia. “Kita tau kalo Naff itu sangat kePadi-Padian, dulu Padi boom banget kan? Dan yang laku itu emang Padi, bukan jiplakannya yang bernama Naff, menandakan selera kita masih ‘di jalan yang benar’, sementara sekarang?”.

“Shit! Naff yang laku!”.
“Itu gambaran yang mudah soal degradasi selera pasar Dan!”.

Danjuga lalu menopang dagunya denga kepalan, ia memberi tanda ke Makaia supaya lanjut.

“Singkat kata, media mengumbar janji bahwa siapapun bisa sukses asal mau mengadaptasi dan menjalani budaya urban yang belum matang itu, siapapun kalo mau, bisa jadi artis, bisa jadi rockstar, nah, you liat lah, band-band yang nongol di Dahsyat!”.

Danjuga mengusap alsinya, kemudian berkata.

“Ada beberapa orang yang menganggap bahwa musik Country adalah Dandutnya Amrik, gua punya perumpamaan selanjutnya bahwa Pop-rock Melayu adalah ‘Hip-Hopnya kita’.. gimana?”.

“Kok?”, tanya Makia tak mengerti.
“Istilah ‘alay’ itu mungkin bisa disamakan dengan istilah ‘nigger’, tapi bukan merujuk pada diskriminasi ras, melainkan kepada diskriminasi kelas sosialnya. Di buku tentang ideologi media dan Hip-hop sebagai kontra hegemoni.. akh! Gua lupa judulnya! Hmm.. ya, di situ diceritakan bahwa awalnya, Hip-Hop itu bukan hanya tentang musik dan pesan-pesan vulgar lewat produk-produk budaya urban Afro-amerika kontemporernya, namun juga tentang muda-mudi kulit hitam yang menciptakan suatu ruang berekspresi di ranah publik lewat show dan konser musik, di mana mereka bisa berkumpul bebas dengan sesama, dari situ aja, sudah membentuk sebuah suara perlawanan terhadap hegemoni.. nah, gua melihat kesamaan fenomena macam itu dengan acara macam Dahsyat, konser-konser Slank dan Iwan Fals, pertandingan Persija..”.

“Di mana orang-orang kalah..”, sambung Makaia. “Youth of Jakarta, yang nggak bisa menikmati kota mereka karena alasan ekonomi, bisa mengekspresikan diri mereka sebebasnya!”.

“Yoi Mak, sekarang bayangin aja, malam minggu aja kita suka pusing mau ke mana, di Jakarta itu nggak ada yang nggak mahal, lha? terus mau ke mana? In the contrary, Dahsyat bukan hanya gratis masuk, kita malah bisa diupah! Nonton Persija ongkosnya beberapa puluh ribu doang! Kalo jadi mereka juga, gua akan ‘balas dendam’ saat bersenang-senang, sekarang.. mereka dicap dengan sebutan baru.. alay..”.

Danjuga dan Makaia mulai sepakat, bahwa dibalik ringannya kata ‘alay’, terdapat makna yang sangat memuakkan dan.. kuno.

“Kita yang nyaman-nyaman aja menggunakan istilah alay, mungkin di bawah sadar menyerah dengan kondisi kesenjangan yang ada sekarang..”.

“Yoi..”, sambut Makaia. “Kayak kita punya solusi aja, buat menjadikan alay sebagai non-alay.. “.
“Dan tanpa punya solusi atau usaha nyata untuk merubah keadaan itu, sementara suka menggunakan istilah yang seolah merendahkan dan menciptakan tembok, maka kita menyetujui adanya ketimpangan, kita ternyata masih segitu feodalnya, kita ternyata belum jauh berkembang sejak merdeka.”.

“Jadi jangan mimpi ya, bisa jadi negara maju? Haha..”. Makia tertawa miris.

Keduanya lalu terdiam, kecut sekali rasanya di dalam benak.

“You know Dan.. ada beberapa hal yang sebenernya ringan, tapi kok rasanya beraaaaaaat banget buat dibahas..”, ujar Makaia. “Pembantu.. apa mereka makan di satu meja dengan kita?”.

Danjuga tersenyum kecut.

“Kita masih perlu belajar banyak Mak.. semoga kita dikasih kesempatan untuk merubah tata-cara feudal warisan mak-bapak kita, bahwa suatu hari kalo udah punya rumah sendiri, kita akan mulai menerapkan kesetaraan dengan saudara kita orang Indonesia, makan semeja dengan pembantu, memberi mereka kamar yang sama baiknya dengan kita, dengan AC yang juga kita nikmati kesejukannya..”.

Makaia meringis.

“Kenapa Mak? Apa ide gua terlalu ekstrim buat lu?”.
“Banyak yang akan berpendapat begitu Dan.. “.

Danjuga tersenyum.

“Wajar sih..”, kata Danjuga. “Bahkan banyak orang yang masih perlu diajari untuk berlaku sopan terhadap pembantu mereka. Manggil pembantu teriak-teriak; “Biiiii!!”. Katro. Nyuruh-nyuruh tanpa ucap terimakasih, dan kalo pulang naik mobil.. “Tiiiin-tiiiin!!”, lalu pembantunya tunggang-langgan nyamperin pager buat buka pintu, udah kayak anjing nyambut majikannya.”.

Makaia tersedak.

“Ay baru sadar juga Dan!”.
“Apa?”, tanya Danjuga.
“Gua di rumah itu sebenranya cuma numpang, yah.. itu kan rumah bo-nyok ay, tapi pembantu kita, dia kerja di situ.. ay jadi mikir ulang aja.. antara dia yang kerja, dan kita yang cuma numpang di rumah orangtua...”.

Danjuga tersenyum.
Makaia menggelang-gelengkan kepala.

“Ay punya temen, dia mengeluh saat pulang dari Singapur, katanya mengalami penghinaan dari petugas airport setelah tahu bahwa temen ay orang Indo.. mungkin.. kita harus berkaca juga dari situ.. kita nggak suka direndahkan dan ingin dianggap setara dengan warga negara lain di dunia, tapi perilaku kita di negara kita sendiri? Sama pembantu, sama mereka yang disebut ‘alay’, kadang sama Cina, sama suadara-saudara kita sendiri.. man.. shit man!”.

Danjuga mengangguk.

“Sebelum kita berhasil menghargai sesama Indonesia, jangan harap kita akan dihargai negara lain.. dan demi Tuhan.. gua harap kita nggak perlu dijajah lagi untuk bisa jadi satu.”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar